Pedagang yang ingin mengirim barangnya melalui Tol Laut  menggunakan jasa perusahaan ekspedisi Tol Laut untuk mendapat kontainer. Perusahaan ekspedisi Tol Laut yang mencari kontainer dari Pelni untuk pedagang.
Tetapi Pelni sendiri belum mampu menyediakan jumlah kontainer Tol Laut sesuai dengan kebutuhan. Sering terjadi Pelni kehabisan kontainer di deponya di Surabaya.
Bila sudah demikian, perusahaan ekspedisi Tol Laut terpaksa menyewa dari pihak ketiga dengan tarif yang lebih mahal.
Padahal sebenarnya Pelni mempunyai cukup banyak kontainer kosong yang tidak dimanfaatkan. Kontainer-kontainer mubazir tersebut terlihat menumpuk di beberapa pelabuhan singgah Tol Laut.
Kapal Tol Laut yang kembali ke Tanjung Perak biasanya membawa kembali kontainer (kosong) dalam jumlah yang terbatas. Sebelum kapal sandar kontainer-kontainer itu sudah habis dipesan perusahaan-perusahaan ekspedisi Tol Laut untuk pengangkutan trayek berikutnya.
Entah apa yang menjadi dasar Pelni melakukan pembatasan muatan kontainer jauh di bawah kapasitas kapalnya itu.
Ada dugaan itu terkait dengan jumlah subsidi yang diterima Pelni pada setiap trayek. Semakin banyak jumlah muatannya, berarti semakin besar pendapatan yang diperoleh Pelni. Semakin besar pendapatan yang diperoleh Pelni akan mengurangi jumlah subsidi yang bakal diterima Pelni dari pemerintah.
Bila dugaan tersebut benar tentu berpotensi merugikan pemerintah. Anggaran subsidi yang bisa dihemat tidak terjadi karena adanya dugaan "strategi" Pelni untuk mendapat anggaran subsidi sebesar-besarnya.
Depo Kontainer Tidak Representatif
Depo Tol Laut Pelni yang berlokasi di Jalan Gresik Nomor 1, Surabaya, tidak representatif. Terlalu kecil untuk ukuran sebuah depo kontainer. Ditambah dengan proses bongkar muat yang lamban mengakibatkan sering terjadi antrian truk dan trailer yang sangat panjang dan lama. Sebuah truk menunggu muatan dibongkar dari pukul 10 pagi sampai dengan sore bahkan malam hari sudah merupakan hal yang biasa.