Saya tidak percaya dengan alasan pihak-pihak yang mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya Partai Perindo, yang kemudian diikuti oleh Jusuf Kalla (JK) sebagai pihak terkait dalam uji materi tersebut. Alasan mereka adalah demi kepastian hukum dan demokrasi karena ketentuan di dalam Pasal tersebut multi tafsir dan bertentangan dengan UUD 1945.
Padahal sesungguhnya merekalah yang membuat seolah-olah ketentuan tersebut multitafsir dan bertentangan dengan UUD 1945, agar bisa mengajukan uji materinya ke MK, dan supaya maksud sebenarnya bisa terpenuhi, yaitu supaya JK dapat menjadi wakil presiden untuk ketiga kalinya.
Pragmatisme politik itu semakin kentara ketika menjelang batas akhir pendaftaran capres -cawapres pada 10 Agustus 2018, Perindo dan JK sampai secara terang-terangan mendesak MK agar mempriorotaskan kasus mereka untuk dibacakan putusannya sesegera mungkin sebelum batas waktu tersebut berakhir.
"Mau pukul 10.00 WIB, silakan. Yang penting jangan sampai pukul 24.00 WIB," kata JK.
"Yang kita minta sesuai dengan konstitusi, sehingga Jokowi dalam mengajukan siapa yang menjadi wakil presidennya, sudah dengan legowo bisa dilaksanakan," ujar Kuasa Hukum Perindo.
Mendesak MK untuk memprioritaskan kasus mereka itu saja sudah merupakan sikap yang sangat tidak patut. MK adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung, yang independen, tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun, apalagi untuk memenuhi ambisi politik pihak-pihak tertentu.
Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, mengatakan, normalnya MK memutuskan perkara uji materi paling cepat satu bulan. "Jika dipercepat, berarti MK main politik." Sedangkan Perindo baru mendaftarkan permohonan uji materinya pada 10 Juli 2018, dan beberapa hari kemudian diikuti oleh JK, yang mengajukan diri sebagai pihak terkait.
Sedangkan Sekretaris Jenderal MK, M Guntur Hamzah menjelaskan bahwa  pada dasarnya tak ada batasan waktu bagi MK dalam uji materi sebuah undang-undang. Menurut Guntur, durasi penyelesaian perkara di MK cenderung bervariasi bergantung pada jenis perkara yang ditangani MK. "Kalau kita melihat data-data penyelesaian perkara itu ada rentang, ada bisa selesai dalam tiga bulan, ada bisa selesai hampir dua tahun. Jadi tergantung dari berat ringannya perkara yang ditangani oleh MK," katanya.
Alasan Perindo bahwa Pasal 169 huruf n Undang-Undang Pemilu itu bertentangan dengan UUD 1945 mengada-ada, sebab dengan sangat jelas Pasal 7 UUD 1945 juga menentukan hal yang sama. Sejatinya, ketentuan Pasal 169 huruf n itu dibuat berdasarkan Pasal 7 UUD 1945 tersebut. Â Adapun bunyi Pasal 7 UUD 1945 adalah: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Makna "sesudahnya dapat dipilih kembali untuk masa jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan" jelas dimaksud untuk membatasi masa jabatan presiden, maupun wakil presiden hanya paling banyak dua kali, baik berturut-turut, maupun tidak berturut-turut.
Alasan kuasa hukum JK lebih mengada-ada lagi, ia memaksa menafsirkan bahwa ketentuan tersebut hanya berlaku bagi presiden, tidak bagi wakil presiden, padahal dengan sangat jelas Pasal 169 huruf n Undang-Undang pemilu, maupun Pasal 7 UUD 1945 menyebutkan "presiden dan wakil presiden".
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H