Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti (kini Duta Besar Indonesia untuk Tunisia) beberapakali pernah mengatakan bahwa (mantan Gubernur DKI Jakarta) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sangat menguasai segala macam problem di DKI Jakarta, mulai dari yang paling besar sampai dengan yang paling kecil: "Ahok menguasai segala macam problem Jakarta sampai ke sekrup-sekrupnya", katanya.
Pernyataan Ikrar itu tak berlebihan, Gubernur Ahok memang begitu menguasai dan dapat mengatasi berbagai permasalahan besar Ibu Kota seperti masalah banjir dengan revitalisasi sungai-sungai, relokasi pemukiman liar dan kumuh ke rusunawa; pemukiman yang manusiawi dan higinis, masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial, dengan berbagai programnya seperti Kartu Jakarta pintar (KJP) dan KJS (Kartu Jakarta Sehat), untuk memenuhi otak, perut, dan dompet warga DKI Jakarta; kemacetan dengan penyediaan infrastruktur dan transpostrasi massal yang nyaman dan murah, penanganan masalah sampah, polusi udara, Â kemacetan, pengendalian tata ruang untuk warga yang hendak rileks bersama keluarga seperti RPTRA-RPTRA, dan sebagainya.
Masalah-masalah kecil pun dikuasainya, yaitu masalah-masalah pribadi dan keluarga warga DKI Jakarta yang berkaitan dengan kebijakan Pemprov DKI Jakarta, seperti antara lain yang tercermin dari setiap pagi ia dengan sabar dan tekun menerima langsung setiap pengaduan warga yang antri di teras Balai Kota, termasuk hal-hal sepele: dengan sabar dan gembira menerima setiap permintaan warga untuk foto bersama.
Demikian juga dengan perhatiannya terhadap rakyat kecil yang mengundangnya di acara-acara pernikahan mereka, setiap Sabtu, Ahok selalu menyediakan waktunya untuk memenuhi undangan-undangan tersebut.
Sebaliknya dengan Gubernur DKI Jakarta yang sekarang, Anies Baswedan, masalah-masalah kecil warga, ia tak sudi mendengarnya langsung apalagi sampai mengatasinya, pengaduan-pengaduan warga yang biasa diterima langsung oleh Ahok, semuanya dilimpahkan ke kelurahan masing-masing warga, sehingga ia tak mungkin menguasai masalah-masalah kecil tersebut.
Warga pun apatis, sehingga memilih lebih baik tak usah mengadu, daripada membuang waktu percuma. Warga pun kembali ke masa susah berhubungan dengan birokrasi.
Mega Proyek Enam Ruas Tol Dalam Kota
Salah satu kasus yang menunjukkan ketidakpahaman Anies Baswedan terhadap permasalahan DKI Jakarta adalah ketidaktahuannya tentang status sebenarnya dari mega proyek enam ruas tol dalam kota sepanjang 69,77 kilometer.
Enam ruas tol itu terdiri dari Semanan-Sunter sepanjang 20,23 kilometer, Sunter-Pulo Gebang 9,44 kilometer, dan Duri-Pulo Gebang-Kampung Melayu 12,65 kilometer. Kemudian, Kemayoran-Kampung Melayu 9,6 kilometer, Ulujami-Tanah Abang 8,7 kilometer dan Pasar Minggu-Casablanca 9,16 kilometer.
Anies mengatakan mega proyek tersebut awalnya merupakan kewenangan Pemprov DKI Jakarta, tetapi, keluhnya sembari menuduh, setelah ia dipastikan menang Pilkada DKI Jakarta 2017 dan menjadi Gubernur, Pemerintah Pusat tiba-tiba mengubah status mega proyek itu menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN), supaya ada alasan Pusat mengambil-alih kewenangan terhadap mega proyek itu dari tangan Pemprov DKI Jakarta, apalagi di saat kampanye Pilkada dahulu ia telah berjanji akan membatalkan pembangunan mega proyek itu.
Ia pun menduga, pengubahan status mega proyek itu menjadi PSN secara tiba-tiba itu dikarenakan ia yang menjadi Gubernur. Dengan kata lain, secara tersirat Anies hendak sekali lagi menuduh Pemerintah Pusat melakukan pengambil-alihan mega proyek karena tidak suka kepadanya, dan takut ia membatalkan mega proyek itu.
"Kampanye kami selesai 15 April. Kami menang. Lalu proyek ini diambil alih oleh Pemerintah Pusat melalui Perpres Perubahan Nomor 58 Tahun 2017, tanggal 15 Juni 2017," kata Anies di Tanah Abang, Jakarta Pusat, 3/7/2018.
Ia mengakui, saat berkampanye ia menyatakan tidak akan meneruskan proyek enam ruas tol dalam kota itu. Anies mempertanyakan apakah penolakannya itu mempengaruhi pengambilalihan proyek dari Pemprov DKI ke Pemerintah Pusat.
"Apakah ada hubungannya karena gubernurnya baru waktu itu dan gubernurnya berpandangan tidak usah meneruskan proyek enam ruas jalan tol, lalu ini naik jadi program strategis nasional? Kita lihat aja," ujarnya.
Tuduhan Anies Baswedan itu membuat Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono terheran-heran, karena memang untuk proyek jalan tol adalah kewenangan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang berada di bawah Kementerian PUPR, jadi memang sejak awal merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Kok ini Gubernur tidak tahu, malah seenaknya main tuduh?
"Kalau urusan tol pasti urusannya dengan Badan Pengatur Jalan Tol, pasti dengan Kementerian PUPR. Enggak ada saya ambil alih, memang urusannya begitu," tegas Basuki (Kompas.com, 14/7/2018).
Mega proyek enam ruas tol dalam kota tersebut sudah ditenderkan sejak 2013, atau sejak Gubernur Sutiyoso, yang dibagi dalam enam tahap rencana pembangunannya, dan ditargetkan selesai pada 2022.
Pada 2013 telah ditetapkan pemenang lelangnya, yaitu konsorsium yang terdiri dari 12 perusahaan, yang meliputi BUMN dan swasta. Di antaranya PT Pembangunan Jaya Toll, PT Pembangunan Jaya, PT Jakarta Propertindo, PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama Tbk, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Jaya Real Propertindo Tbk, PT Jaya Land, PT Pembangunan Perumahan Tbk, PT Wijaya Karya Tbk, PT Hutama Karya, PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk, dan PT Adhi Karya.
Pada Januari 2014, mega proyek ini bersama dengan proyek-proyek infrastruktur lainnya, termasuk MRT telah mendapat sertifikat analisis dampang lingkungan (amdal) yang ditandatangani oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD).
Pada 25 Juli 2014 dilakukan penandatanganan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) Enam Ruas Jalan Tol Dalam Kota dan Kesepakatan Bersama antara BPJT - PT. Jakarta Tollroad Development dengan Pemprov DKI Jakarta yang diwakili oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Terkait hal ini Presiden Jokowi, pada tanggal 8 Januari 2016 menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Di dalam Perpres tersebutlah mega proyek pembangunan enam ruas tol dalam kota tersebut di atas dimasukkan di dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).
Proyek pembangunan jalan tol itu bukan wewenang Gubernur DKI Jakarta, jadi bagaimana bisa dia berjanji di kampanyenya itu bahwa jika ia menjadi Gubernur ia akan menghentikan proyek itu?
Bukti tak terbantahkan bahwa setelah menjadi Gubernur selama 10 bulan pun Anies masih tidak menguasai permasalahan-permasalahan Ibu Kota terlihat dari pernyataannya yang bernada mengeluh dan menuduh terhadap Pemerintah Pusat tentang mega proyek enam ruas tol dalam kota itu.
Anies menuduh proyek itu tiba-tiba dijadikan PSN, supaya Pusat bisa mengambil-alih proyek itu dari tangan Pemprov DKI Jakarta, karena yang jadi Gubernur itu dia. Karena Pemerintah Pusat (Jokowi) sentimen kepadanya, maka proyek itu diambil-alih darinya, disamping juga karena takut dia memenuhi janjinya menghentikan mega proyek itu.
Padahal pembangunan jalan tol bukan wewenangnya Gubernur DKI Jakarta, dan mega proyek itu sudah dijadikan Proyek Strategis Nasional sejak 2016 dengan Keppres Nomor 3 Tahun 2016, tanggal 8 Januari 2016, lalu dipertegaskan lagi pada 15 Juni 2017, dengan Kepres Nomor 58 Tahun 2017.
Presiden Jokowi menerbitkan Keppres Nomor 58 Tahun 2017 ini agar proyek-proyek yang termaktub di Keppres tersebut, termasuk mega proyek pembangunan enam ruas jalan tol di DKI Jakarta itu segera dapat dikerjakan.
Hasilnya, setelah sempat mandek sejak  penandatanganan PPJT-nya pada 25 Juli 2014, tahap pertama pembangunan mega proyek jalan tol dalam kota itu, ruas Semanan-Sunter dan Sunter-Pulo Gadung,  sudah mulai dikerjakan.
Ketua Tim Pelaksana Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Wahyu Utomo mengatakan, proyek ini akhirnya masuk ke dalam PSN lantaran peruntukannya yang strategis dan memiliki urgensi tinggi. Selain itu biaya investasinya juga memenuhi syarat dikatakan proyek prioritas, mencapai Rp 42 triliun.
Dengan anggaran mencapai Rp. 42 trilun itu, mungkinkah mega proyek itu merupakan proyeknya Pemprov DKI Jakarta?
Maka, terlihatlah, reaksi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan itu pun tampak mengelikan, tak terima proyek itu mulai dikerjakan tanpa melibatkan dia sebagai Gubernur, Anies un mengeluh dan menuduh Pemerintah Pusat sengaja secara tiba-tiba menetapkan mega proyek itu sebagai Proyek Startegis Nasional supaya ada alasan mengambi-alih dari kewenangananya.
Begitulah jika Gubernur tidak menguasai permasalahan Ibu Kota, sampai tidak tahu bahwa sejak 2016 mega proyek itu sudah ditetapkan sebagai Proyek Strategis  Nasional, dan tidak tahu pula bahwa pembangunan jalan tol bukan kewenangan Gubernur, tetapi bersikap seolah-olah adalah "Gubernur Republik Indonesia".
Permasalahan yang segede mega proyek itu dia ia tidak bisa melihatnya, bagaimana dengan persoalan-persoalan kecil rakyat, yang di era Ahok dibawa langsung ke hadapan Gubernur, kini dilimpahkan ke kelurahan-kelurahan, menjauh dari sang Gubernur?
Kasus mega proyek enam ruas tol dalam kota ini hanya merupakan salah satu contoh kongkrit ketidakmampuan Anies menguasai permasalhaan Ibu Kota, contoh lain yang jauh lebih kecil adalah bukti tentang ketidakmampuan dia menyelesaikan rehabilitasi pembangunan trotoar sepanjang Sudirman-Thamrin yang panjangnya hanya sekitar 5 km. Alhasil proyek trotoar itu pun dipastikan baru akan selesai setelah Asian Games 2018 usai, atau Oktober 2018.
Karena tak mampu mengejar target harus selesai sebelum Asian Games 2018 dimulai (18/8/2018), akhirnya untuk sementara trotoar di kawasan itu pun hanya dicat saja.
Anies juga ditenggarai tak menguasai banyak masalah di Ibu Kota. Untuk itulah ia merasa perlu membentuk Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Â dengan jumlah anggota maupun anggaran yang jumbo, yakni 74 orang, dengan anggaran untuk gaji mereka sebesar Rp. 28 miliar (bandingkan TGUPP di era di era Ahok yang hanya 9 orang, dengan anggaran hanya Rp. 2,5 miliar).
Selain diduga untuk membalas budi untuk beberapa anggota tim suksesnya di masa Pilkada DKI Jakarta 2017 yang diangkat sebagai ketua dan anggota TGUPP ini, juga diharapkan 74 anggota TGUPP ini bisa membantunya menutupi ketidakpahamannya terhadap masalah-masalah DKI Jakarta.
Pembentukan TGUPP sendiri juga menunjukkan ketidakpahaman Anies tentang keberadaan TGUPP itu, selain dari PNS Pemrpov DKI Jakarta, ia juga merekrut beberapa orang ahli yang bukan PNS, yaitu beberapa anggota tim suksesnya di Pilkada dKI 2017 sebagai ketua dan anggota TGUPP, dan bersikeras membayar gaji mereka semua dari APBD.
Ketika Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan tidak boleh menggunakan sepenuhnya APBD untuk membayar gaji TGUPP-nya itu, Anies ngambek, mengeluh, mengadu dan curiga kepada Mendagri telah mempolitisasi TGUPP-nya, karena tidak suka kepada dia, maka melarang TGUPP-nya itu dibayar gajinya dari APBD. Ia mengatakan, kenapa di era Jokowi dan Ahok, gaji TGUPP bisa dibayar dari APBD, kenapa TGUPP Anies tida boleh. Ada apa ini?
Anies tak paham, di era Jokowi dan Ahok, ada anggota TGUPP yang dibayar dari APBD, tetapi itu dikarenakan anggota TGUPP-nya berasal dari PNS Pemprov DKI juga, yaitu dari  mantan kepala dinas yang tak punya jabatan (non-job), dengan pertimbangan karena mereka punya pengalaman dan keahlian. Daripada tidak ada jabatan, maka diberdayakan untuk mengawasi serta memberi masukan.
Di era Ahok, ada beberapa anggota TGUPP yang direkrut dari luar (bukan PNS), terhadap mereka Ahok membayar gajinya dari dana operasional gubernur yang diterimanya setiap tahun.
Anies yang tidak paham, yang banyak juga anggota TGUPP-nya yang direkrut dari luar (bukan PNS) seperti dari bekas anggota tim suksesnya di Pilkada DKI 2017, mau seluruh anggota TGUPP yang jumbo itu seluruhnya dibayar dari APBD.
Saat pihak Kemendagri-nya memberi petunjuk kepada dia (ikut jejak Ahok) membayar anggota TGUPP-nya itu dari dana operasional yang diterimanya setiap tahun itu, Anies seolah-olah pura-pura tidak mendengarnya. Sampai sekarang pun kita tidak tahu dana operasional gubernurnya digunakan untuk apa saja.
Ironisnya dengan jumlah jumbo baik anggota, maupun anggarannya yang diambil dari APBD, TGUPP itu pun tak mampu memenuhi ekspektasi Anies tersebut. Sampai hari ini belum tampak hasilnya. Bahkan, Partai Gerindra yang sebelumnya gigih membela keputusan Anies membentuk TGUPP, kini mengakui bahwa tim jumbo anggota dan anggarannya itu kinerjanya mengecewakan dan wajib dievaluasi.
Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPRD DKI Iman Satria mengatakan, sejak dibentuk Januari 2018, TGUPP belum terlihat hasil kerjanya. Malahan, ada bagian TGUPP yang tampaknya sama sekali tak berfungsi alias makan gaji buta.
Tak perlu heran dengan TGUPP yang jumbo anggota, jumbo anggarannya, tapi kinerjanya nyaris tidak terdengar, betapa tidak mereka pun bekerja tanpa target! Karena lebih banyak motifnya hanya balas budi ketimbang orang-orang yang berkompeten.
Alhasil Anies pun menjadi Gubernur tanpa pengetahuan yang cukup terhadap berbagai persoalan Ibu Kota. Maka terjadilah rangkaian kasus konyol yang mempertunjukkan ketidakmampuan Anies dalam memahami dan mengatasi aneka problem Ibu Kota.
Data Salah tentang Anggaran LRT
Kita seharusnya tak perlu heram dengan ketidakmampuan Anies itu, mengingat ia juga pernah memberi data yang salah tentang anggaran pembangunan LRT di Jakarta dan Palembang kepada Prabowo Subianto.
Prabowo yang terlanjur dengan penuh semangat berapi-api menuduh pemerintahan Jokowi telah melakukan mark-up besar-besaran di proyek LRT itu sehingga menjadi termahal di dunia harus menanggung malu, karena ternyata data yang disodorkan Anies itu keliru.
Menyedihkan sekali, sudah berapi-api menuduh pemerintahan Jokowi korup, ternyata salah besar datanya. Entah data apa yang diberikan Anies kepada Pabowo itu, yang jelas biaya pembangunan LRT di Jakarta dan Palembang bukan yang termahal, masih ada pembangunan LRT di negara lain yang jauh lebih mahal. Yang terpenting adalah setiap pembangunan LRT itu tidak bisa dibandingkan apple to apple begitu saja, karena semua tergantung dari setiap spesifikasi dan topografi yang dilewati LRT tersebut.
Menutup Kali Item dengan Kain Waring
Contoh terbaru yang membuktikan ketidakmampuan Anies mengatasi permasalahan DKI Jakarta adalah mengenai cara dia menutup malu kepada peserta Asian Games 2018 yang akan menginap di Wisma Atlet.
Di samping Wisma Atlet itu ada kali yang namanya Kali Item yang kerap dipenuhi sampah dan menyebarkan bau tak sedap, apalagi jika berhembus angin kencang.
Tak mau bersusah-payah jauh-jauh hari membersihkan kali tersebut dan mencegah sampah masuk ke sana lagi, Â Anies pun memutuskan mengatasinya dengan menutup kali tersebut dengan kain waring berwarna hitam sepanjang 689 meter dan lebar 20 meter, atau sama dengan luas pandangan orang dari Wisma Atlet itu ke Kali Item tersebut.
Dengan kain waring hitam itu Anies berharap kelak tamu-tamu Asian Games yang berada di Wisma Atlet kelak tidak akan bisa melihat kotornya Kali Item tersebut dengan sampah, dan dengan kain waring juga diharapkan dapat menghalangi menyebarnya bau busuk dari kali tersebut.
Menghalangi pemandangan sampah di kali itu pasti bisa, tetapi apakah mungkin bau tak sedap bisa dihalangi dengan cara begitu? Sangat diragukan. Bahkan bisa jadi pemasangan kain waring hitam itu kelak akan menimbulkan masalah baru yang tak kalah memalukan, yaitu jika turun hujan lebat dalam waktu lama tentu berpotensi akan merusak kain waring itu, sehingga akan menimbulkan persoalan baru yangbisa jadi lebih memalukan lagi, yaitu saat kain waring itu tak kuat menahan beban air hujan yang diserapnya lalu jatuh dan masuk kali yang dipenuhi sampah.
Hal ini diakui sendiri oleh Kasubbag Kepegawaian Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Supriyono, yang mengatakan, pemasangan kain itu mengakibatkan turap yang telah dicat warna-warni sebelumnya jadi tak terlihat. "Memang programnya tidak bareng, setelah kita lakukan pemagaran dan sebagainya itu, ternyata Gubernur memerintahkan untuk ditutup dengan jaring, ya jadi mau enggak mau kayaknya ini agak kurang berfungsi."
Rupanya dalam mengatasi permasalahan Kali Item itu dengan menutupnya dengan kain waring hitam supaya sampah-sampah yang berada di permukaannya itu tidak terlihat, Anies Baswedan menerapkan benar peribahasa: "Menyapu sampah ke bawah karpet". *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H