Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

La Nyalla Vs Prabowo: Hal-hal Menarik yang Perlu Dibahas

15 Januari 2018   18:35 Diperbarui: 15 Januari 2018   19:24 2490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perseteruan Ketua Umum KADIN Jawa Timur La Nyalla Mattalitti dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, -- dengan sendirinya dengan Partai Gerindra juga -- sedang panas-panasnya.

Pasalnya, La Nyalla menuduh, pada Desember 2017, Prabowo sendiri kepadanya secara langsung telah meminta dana sebesar Rp 48 miliar sebagai syarat agar Partai Gerindra mengusung dia sebagai calon gubernur Jawa Timur di Pilkada Jatim 2018. Uang sejumlah itu disebut untuk digunakan membayar saksi-saksi di Pilkada Jatim 2018 tersebut.

Selain syarat uang, La Nyalla juga diminta agar ikut mencari mitra koalisi partai lain, karena Gerindra sendiri tidak memenuhi syarat minimal jumlah kursi di DPRD Jatim untuk bisa mengusung sendiri calon gubernurnya (syarat batas minimal 20 kursi, Gerindra hanya 13 kursi di DPRD Jatim).

Prabowo memberi tenggat waktu. uang tersebut sudah harus disetor La Nyalla paling lambat pada 20 Desember 2017.

La Nyalla mengaku, ia bisa membayar uang sebesar Rp 48 miliar itu (bahkan katanya, ia sudah menyiapkan dana sampai Rp. 300 miliar), tetapi ia baru mau bayar jika Gerindra sudah secara resmi mendaftarkan dirinya sebagai calon gubernur di KPU Jatim (jadwal pendaftaran tersebut adalah dari tanggal 8 -- 10 Januari 2018).

Kemungkinan, ada kekhawatiran dari La Nyalla, uang sudah terlanjur disetor, Gerindra tidak jadi mencalonkan dia, dan uang itu tak bakal kembali lagi kepadanya.

Permintaan La Nyalla itu ditolak Prabowo, yang bersikeras uang Rp 48 miliar tetap harus dibayar La Nyalla paling lambat 20 Desember 2017, sedangkan La Nyalla tetap bersikeras uang itu baru ia mau serahkan setelah dirinya didaftarkan di KPU Jatim sebagai calon gubernur. Tidak ada kata sepakat, rencana pencalonan La Nyalla itu pun dibatalkan Prabowo, Prabowo pun sangat murka.

"Dia marah-marah. Marahnya seperti orang kesurupan. Pokoknya seperti bukan Prabowo Subianto lah," ujar La Nyalla.

La Nyalla pun tersinggung dan juga marah dimaki-maki Prabowo di hadapan anak buahnya seperti itu, "Saya dipanggil 08 (Prabowo) kok dimaki-maki. Prabowo itu siapa? Saya bukan pegawainya dia, kok dia maki-maki saya."

Ia mengatakan tidak memiliki bukti apa pun tentang permintaan uang dari Prabowo itu, "Tapi saya berani sumpah pocong," katanya.

La Nyalla pun menyatakan keluar dari Gerindra, dan tidak akan mendukung Prabowo Subianto lagi. Padahal sebelumnya keduanya mempunyai hubungan persahabatan yang sangat akrab. Di Pilpres 2014, di Jawa Timur, La Nyalla menjadi koordinator utama pendulang suara buat Prabowo.

Berbeda dengan La Nyalla yang mengaku tidak punya bukti atas tuduhannya itu, pengusaha Tubagus Daniel Hidayat yang merupakan Bendahara La Nyalla mengaku bahwa terkait pilkada serentak 2018 di Jawa Timur, oknum elit Gerindra berinisial M, dengan mengatasnamakan Prabowo terus-menerus meminta uang dan barang kepada La Nyalla melalui dirinya. Permintaan-permintaan itu dilakukan melalui komunikasi  WA (WhatsApp) pesan tertulis, maupun telepon, yang diminta mulai dari penyejuk udara (AC), biaya membangun dojo, mobil mewah Rubicon, sampai uang berjumlah hingga ratusan miliar. Menurut Daniel, di antara permintaan-permintaan tersebut ia punya bukti rekamannya (detik.com).

Jangan-jangan Memang Sejak Semula La Nyalla Tidak Akan Dicalonkan?

Pernyataan La Nyalla Mattalitti yang secara langsung menyerang Prabowo Subianto itu tentu saja membuat kubu Gerindra tidak terima. Mereka pun segera membantahkan melalui berbagai cara dan media. Bahkan katanya, akan menempuh jalur hukum, karena menganggap apa yang dituduhkan La Nyalla kepada Prabowo itu merupakan fitnah.

Saya meragukan Gerindra akan benar-benar menempuh jalur hukum dengan melaporkan La Nyalla ke polisi dengan tuduhan melakukan fitnah, karena langkah tersebut hanya akan membuang banyak enerji dan waktu, yang akan semakin memanaskan hubungan kedua belah pihak, dan kontraproduktif, karena bisa jadi justru akan memunculkan tuduhan-tuduhan baru disertai bukti terhadap Gerindra/Prabowo dari kubu La Nyalla yang diduga mengetahui banyak rahasia politik Prabowo.

La Nyalla disebutkan gagal dicalonkan sebagai gubernur Jawa Timur dikarenakan ia tak bisa mendapatkan mitra koalisi (terutama PAN dan PKS) supaya tercukupi batas minimal jumlah kursi gabungan parpol pengusungnya di DPRD Jawa Timur, Prabowo tidak pernah meminta mahar politik kepada siapapun bakal calon kepala daerah dari Gerindra, Prabowo selalu mengedepankan rekam jejak, prestasi, dan elektabilitas yang bersangkutan.

Bila alasannya, La Nyalla gagal mendapat mitra koalisi, maka sesungguhnya kesalahan tersebut bukan hanya dapat ditimpakan kepada La Nyalla, sebab bukankah juga menjadi tugas Gerindra sendiri untuk melakukan lobi-lobi politik untuk keperluan tersebut, bahkan jika dibandingkan dengan La Nyalla seorang, tentu Gerindra sebagai sebuah partai politik dengan pengaruh Prabowo seharusnya lebih bisa mempunyai power untuk keperluan itu.

Faktanya, akhirnya memang Gerindra  bergabung dengan PDIP bersama PKB dan PKS untuk mengusung pasangan calon  Saifullah Yusuf (Gus Ipul)-Puti Guntur Soekarnoputri.

Dilihat dari proses penentuan pilihan pasangan calon tersebut, kelihatannya sejak semula Gerindra tidak sreg dengan La Nyalla Mattalitti, kemungkinan besar karena ia bukan tokoh paling populer di Jawa Timur, dan elektabilitasnya pun tergolong rendah.

Pertanyaannya adalah jika dugaan itu benar,  kenapa Prabowo Subianto tetap saja bersikeras agar La Nyalla menyetor uang Rp 48 miliar itu sebelum tanggal 20 Desember 2017, dan menolak permintaan La Nyalla agar penyetoran uang itu baru akan dia lakukan jika Gerindra sudah secara resmi mendaftarkan dirinya sebagai calon gubernur di KPU Jawa Timur? Jangan-jangan memang, setelah La Nyalla setor, Gerindra tidak akan mencalonkan dia, dengan alasan tidak mendapat mitra koalisi, sedangkan uangnya tidak akan dikembalikan?

Mahar Politik, Antara Ada dan Tiada

Mahar politik di setiap pemilu nyaris selalu ada, tetapi memang sulit dibuktikan. Antara ada dan tiada. Hal itu bahkan dinyatakan sendiri oleh Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi. Dia mengatakan, mahar politik memang lazim terjadi, melanggar Undang Undang,  dan mencederai nilai-nilai demokrasi. Karena pencalonan bukan lagi berdasarkan kemampuan dan integritas seseorang, tetapi seberapa banyak uang yang bisa dia setor, dan seberapa banyak keuntungan yang bisa diberikan kepada parpol pengusung. Namun demikian, untuk membuktikannya memang sulit.

"Bagi kita itu kan memang fenomena yang selama ini ditengarai ada. Tapi, proses pembuktiannya sulit," kata Pramono, Jakarta, Jumat (12/1/2018).

KPU pun menyerahkan kepada pengawas pemilu dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum RI (Bawaslu) untuk mengusut praktik mahar politik.

Dampak buruk lain dari mahar politik adalah dengan biaya yang sangat besar yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah, tentu saja jika ia telah menjadi kepala daerah potensi untuk melakukan korupsi juga akan menjadi besar, karena ia butuh dana besar untuk mengembalikan dan balik untung dari mahar politik yang sudah dikeluarkan tersebut.

Untuk dikethaui, sejak KPK berdiri (2002), sampai sekarang,  sudah ada 78 kepala daerah yang diproses hukum, dari 92 kasus korupsi.

Jadi, jika mahar politik sudah lazim, tetapi sulit dibuktikan, sungguhkah Gerindra merupakan parpol pengecualian dari kelaziman itu, bahwa Gerindra sungguh benar parpol yang bersih dari segala macam bentuk politik uang, termasuk mahar?

Ingat kembali pengakuan Tubagus Daniel Hidayat, Bendahara La Nyalla tersebut di atas, yang mengaku di masa mendekati pilkada serentak 2018 di Jawa Timur, ada beberapa petinggi Gerindra, terutama yang berinisial M, yang telah meminta mahar politik kepada La Nyalla, di antara permintaan-permintaan itu ia punya bukti rekamannya.

Bantahan Gerindra

Di Kompas TV, Jumat (5/1/18) Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan, selama ini Prabowo Subianto tidak pernah meminta uang mahar kepada orang yang akan dicalonkan sebagai kepala darah dari Partai Gerindra. Kata dia, yang dilihat Prabowo selalu adalah integritas, rekam jejak, dan prestasi orang tersebut, bukan seberapa banyak uangnya.

Di Twitter, melalui akun resminya, @Gerindra membantah tuduhan La Nyalla kepada Prabowo itu dengan me-mention @Jokowi, @basuki_btp, @ridwankamil, @aniesbaswedan, dan @sandiuno, karena mereka semua pernah diusung Gerindra, dan katanya, tak ada satu pun dari mereka yang diminta mahar oleh Prabowo/Gerindra, sebaliknya justru Gerindra yang banyak keluar uang untuk mengusung mereka.

@Gerindra berkicau:  

Tidak ada mahar di @Gerindra. Apalagi mahar politik. Silakan konfirmasi langsung kepada pak @jokowi, @basuki_btp, @ridwankamil, @aniesbaswedan, dan @sandiuno yang pernah kami dukung dan berhasil menjadi kepala daerah.

twitter-gerindra-5a5c8f4bf133440db2259d02.jpg
twitter-gerindra-5a5c8f4bf133440db2259d02.jpg
Merespon kicauan @Geridra itu, Ridwan Kamil pun mencuit di akun Twitter-nya, membenarkan pernyataan @Gerindra bahwa ketika diusung Gerindra dan PKS di Pilwalkot Bandung 2013 ia tidak pernah diminta uang (mahar politik)

Twit admin @Gerindra ini benar. Saya bersaksi. waktu pilwalkot BDG, Pak Prabowo dan Gerindra tidak meminta mahar sepeser pun utk tiket pilkada. Hatur Nuhun. **Di pilgub Jabar ini kami berpisah, krn syarat menjadi kader partai yg tidak mampu sy penuhi.

twitter-ridwan-5a5c8fdd5e137310be328182.jpg
twitter-ridwan-5a5c8fdd5e137310be328182.jpg
Meski tanpa mahar, saat Pilkada Kota Bandung, Emil mengaku tetap mengeluarkan dana dari kantong pribadi untuk ongkos kampanye serta membuat alat peraga, seperti baliho dan poster.

Emil mengaku, saat Pilkada Kota Bandung 2013 lalu, dia harus merogoh kocek hingga puluhan miliar untuk modal kampanye.

"Biaya Pilwalkot sekitar Rp 10 miliar, kalau Pilgub belum dihitung," tuturnya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno juga membenarkan bahwa ia tak pernah diminta mahar politik oleh Prabowo/Gerindra, sedangkan mengenai biaya pilkada DKI Jakarta 2017 yang besar itu memang benar, tetapi itu dia tanggung dari uang pribadinya, yang mencapai Rp. 100 miliar lebih.

"Kalau politik itu memang berbiaya, kemaren kita menghabiskan lebih dari Rp 100 miliar. Jadi itu yang diinginkan sebetulnya oleh Gerindra jangan sampai saat kita udah mencalonkan, kita nggak punya pendanaan," kata Sandiaga.

Sandiaga mengaku telah melaporkan biaya pencalonannya ke KPK. Dia mengatakan apa yang dilakukannya juga diikuti oleh calon yang diusung Gerindra di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Sedangkan Gubernur Anies Baswedan yang tak punya modal uang, sebagaimana keahliannya mengotak-atik sinonim kata dan istilah juga ikut-ikutan berbicara, menyatakan pihaknya tak pernah membayar mahar politik kepada Gerindra untuk pencalonanannya di Pilkada DKI Jakarta, yang ada adalah membayar iuran saja.

"Biaya politik memang tinggi. Kami iuaran. Tidak ada mahar yang diminta," kata Anies, Jumat (12/1).

Dilansir dari laman resmi KPU Jakarta, berdasarkan hasil audit oleh auditor hasil seleksi, dana kampanye pasangan calon (paslon) nomor urut 1, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, tercatat Rp 68,967 miliar. Dana yang terpakai Rp 68,953 miliar.

Dana kampanye paslon nomor urut 2, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, Rp 60,190 miliar. Dana yang terpakai Rp 53,696 miliar. Hasil audit untuk paslon nomor urut 3, Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno, Rp 65,272 miliar dan dana yang terpakai 64,719 miliar.

Pada putaran kedua, Ahok-Djarot memiliki dana Rp 32,4 miliar dengan pengeluaran Rp 31,75 miliar. Anies-Sandi pada putaran kedua menghabiskan dana kampanye Rp 17,6 miliar.

Jika pengakuan-pengakuan tersebut di atas benar, bahwa mereka saat masih berstatus calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah telah menggunakan uang pribadinya mencapai puluhan miliar sampai dengan ratusan miliar untuk keperluan kampanyenya, pertanyaannya adalah apakah mereka benar-benar ikhlas padahal ada risiko sudah habis puluhan miliar sampai ratusan miliar, mereka ternyata tidak terpilih. Dan, jika terpilih, apakah mereka semua benar-benar tidak akan tergoda berupaya dengan segala cara untuk mengembalikan modal yang telah habis itu, sungguhkah mereka semua benar-benar total semata-mata mengabdi sebagai kepala daerah dengan gaji yang meskipun digabungkan selama lima tahun masa jabatannya tidak akan cukup menyamai dana pribadi yang telah dihabiskan untuk keperluan kampanye itu?

Sanksi UU Belum Bisa Diterapkan

Larangan politik uang (mahar politik) diatur di Pasal 47 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada:

Pasal 47

(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

(2) Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.

(3) Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(4) Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

(5) Dalam hal putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menyatakan setiap orang atau lembaga terbukti memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota dibatalkan.

(6) Setiap partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.

Kesimpulan dari ketentuan Pasal 47 tersebut di atas adalah:

- Parpol/gabungan Parpol yang terbukti menerima imbalan dari siapapun dalam proses pencalonan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah, maka Parpol/gabungan Parpol tersebut dilarang mengajukan calon/pasangan calon untuk Pilkada berikutnya di daerah yang sama;

- Jika terbukti ada orang atau lembaga memberi imbalan kepada Parpol atau gabungan Parpol dalam proses pencalonan Kepala Daerah-Wakil Kepala Darah, maka penetapan calon/pasangan calon tersebut dibatalkan.

- Parpol/gabungan Parpol yang terbukti menerima imbalan dalam proses pencalonan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah dikenakan denda sebesar 10 kali lipat dari imbalan yang diterima.

- Pembuktian adanya imbalan yang diberikan orang atau lembaga kepada Parpol/gabungan Parpol, dan bukti Parpol/gabungan Parpol telah menerima imbalan itu harus berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Menurut pakar  Hukum Tata Negara, M. Imam Nasef politik uang (mahar politik) yang dilarang oleh Undang Undang Pilkada sebagaimana tersebut di atas, terdiri dari dua jenis, yaitu:

Pertama, suatu imbalan khususnya dalam bentuk uang yang diberikan seorang calon kepada partai politik tertentu, dengan maksud agar parpol tersebut mencalonkan yang bersangkutan dalam Pilkada;

Kedua, mengacu pada sejumlah uang yang dipersiapkan untuk membantu biaya operasional keikutsertaan calon tertentu dalam suatu kontestasi Pilkada.

Pada jenis kedua inilah bisa saja ada pihak ketiga yang memberi memberi sejumlah uang yang dipersiapkan untuk membantu biaya operasional/kampanye (pengadaan baliho, spanduk, dan lain-lain) calon tertentu yang disamarkan menjadi bersumber dari uang pribadi calon tersebut.

Pada kasus La Nyalla vs Prabowo ketentuan Pasal 47 tersebut di atas belum bisa diberlakukan, sebab sekalipun seandainya tuduhan La Nyalla tersebut di atas benar (bahwa Prabowo telah meminta kepadanya mahar politik), penyerahan dan penerimaan mahar politik itu belum terjadi.

Pidato Prabowo Subianto

Perseteruan La Nyalla vs Prabowo Subianto tentang mahar politik, membuat di-viral-kannya pidato Prabowo Subianto yang rekam di You Tube. Dilihat dari spanduk yang digantung di panggung, pidato Prabowo itu dilakukan pada 23 Juli 2017, di acara halal bihalal di Pesantren Modern Al-Ishlah, Bondowoso, Jawa Timur.

Di pidatonya itu ada bagian Prabowo dengan jelas mengatakan, jika ada orang yang datang kepadanya, mengatakan keinginannya untuk dicalonkan sebagai gubernur, maka yang pertama kali dia tanyakan kepada orang itu adalah seberapa banyak uang yang dimiliki orang itu.

Silakan simak videonya, mulai menit ke-13:24.

Berikut transkripnya:

"Kalau ada yang mau jadi gubernur, datang ke saya, apa pertanyaan pertama yang akan saya tanyakan kepada dia? Apa pertanyaan? Saya tanya:ente punya uang nggak? Saya tidak tanya: Anda lulusan mana? Saya tidak tanya: Anda prestasinya apa? Saya tidak tanya: Anda pernah menulis buku apa? Saya tidak tanya: Anda mau jadi gubernur, pernah jadi bupati,nggak?, saya tidak tanya, pernah menjadi camat,nggak?, saya tidak tanya.

Yang saya tanya,  ente punya uang berapa?

Sedih saya, ada orang hebat, orang maju, orang pintar, orang berakhlak,nggak punya uang, banyak rekan-rekan saya, yunior-yunior sayanggak punya uang. Saya tahu pimpinan baik di TNI, saya tahu, Jenderal ini, Jenderal itu, luar biasa orang-orang ini!

Jenderal yangnggak korupsi, ya,nggak punya uang.Nggak punya uang. Benar!

Tahu, pensiunnya Letjen Bintang Tiga, pensiunnya berapa? Empat juta ..

Saya ketemu Ustad Salim, mantan Duta Besar lima tahun, mantan anggota DPR-RI, mantan Menteri, pensiunnya berapa? Empat juta Rupiah, saudara-saudara...

Ada yang mau maju, mau maju gubernur, saya tanya:ente punya uang? Kalau untuk jadi gubernur, minimal tiga ratus miliar, itu paket hemat. Pahe!

Untung kita, di Jakarta kemarin, dialah Sandi, punya duit-duit sedikitlah, iya, kan? Tapi, ada berapa orang kayak Sandi? ..."

Pidato Prabowo itu sendiri telah mematahkan argumen anak buahnya sendiri, seperti Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria, yang mengatakan, jika ada yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah dari Gerindra, Prabowo tidak pernah bertanya kepadanya berapa banyak uang yang dimilikinya.

Prabowo mengatakan, jika ada yang datang kepadanya, ingin mencalonkan dirinya sebagai gubernur, maka yang ditanyakan pertama kali kepada orang itu adalah berapa banyak uang yang dimilki orang itu. Tiga ratus miliar, menurut Prabowo adalah jumlah minimal, atau "paket hemat (pahe)" menurut istilahnya. Jadi, kalau bukan paket hemat, entah berapa besar yang harus dimiliki si calon.

Lalu untuk apa uang sebesar itu, apakah untuk disetorkan kepada Gerindra, kepada Prabowo, atau ongkos pencalonan dan ongkos pilkada yang harus ditanggung sendiri oleh si calon?

Di pidatonya itu juga, Prabowo menyinggung tentang Sandiaga Uno yang mau menyediakan uang pribadinya untuk pencalonan Anies dan dia di Pilkada DKI 2017. Menurut Prabowo, itu karena Sandi memang punya duit.

Nah, jadi, mungkin saja kepada orang yang punya duit banyak akan diminta partisipasinya, tetapi orang yang tidak punya banyak duit, tapi punya nama, punya elektabilitas tinggi, dia bisa diperalat, dia bisa dijadikan boneka, boleh dibebaskan dari kewajiban setor duit atau partisipasi dana itu. Nanti mungkin saja ada semacam subsidi silang, antara calon yang tak berduit dengan yang berduit banyak.


Dari pidato Prabowo tersebut, maka ada sinkronisasi dengan pengakuan La Nyalla Mattalitti bahwa ketika ia menyatakan diri kepada Prabowo keinginannya mencalonkan diri sebagai gubernur Jawa Timur dari Gerindra, Prabowo langsung memgemukakan perihal dana dalam jumlah besar yang harus ditanggung oleh La Nyalla, yaitu untuk setoran (pertama?) untuk uang saksi saja sebesar Rp 48 miliar, paling lambat harus disetor pada 20 Desember 2017 itu. Hal yang kemudian menimbulkan percecokan besar di antara kedua tokoh itu.

Bagian lain dari pidato Prabowo yang kontroversial adalah pernyataannya yang menyatakan keprihatinannya terhadap jenderal-jenderal berakhlak tetapi tidak punya uang, mereka tidak punya uang, menurut Prabowo karena tidak korupsi! Padahal, logikanya adalah justru karena berakhlak itulah mereka tidak korupsi meskipun hidup dengan sedikit uang atau pas-pasan.

Prabowo bilang:

"Jenderal yang nggak korupsi, ya, nggak punya uang. Nggak punya uang. Benar!"

Sedangkan Prabowo Subianto itu kan termasuk Jenderal yang sangat banyak uangnya alias sangat kaya, jadi, artinya ...? *****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun