Strateginya adalah supaya KPK menjadwal ulang pemanggilan mereka itu satu per satu lagi, sehingga waktu KPK terbuang percuma, dengan demikian sidang praperadilan itu bisa diteruskan karena KPK tak kunjung bisa menyelesaikan berkas perkara (karena menunggu pemeriksaan semua saksi  dan ahli meringankan itu komplit), maka KPK belum bisa melimpahkan berkas itu ke Pengadilan Tipikor, dan dengan demikian tentu saja persidangan pokok perkaranya belum bisa dimulai.
Namun, KPK juga tentu saja tidak naif untuk termakan strategi tersebut, KPK pun memutuskan tidak akan memanggil ulang para saksi yang tidak memenuhi panggilan tersebut, KPK juga tidak merasa perlu memanggil semua dari keempat belas saksi dan ahli meringankan itu untuk diperiksa. Beberapa saksi dan ahli meringankan saja sudah cukup memenuhi syarat lengkapnya berkas untuk diproses selanjutnya.
 KPK merasa sudah cukup memberi kesempatan dan mengfasilitasi para saksi dan ahli meringankan yang diajukan pihak Setya Novanto itu sesuai dengan ketentuan Pasal 65 KUHAP yang berbunyi:  "Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya".
Meskipun mengajukan saksi dan ahli yang menguntungkan tersangka merupakan hak tersangka/terdakwa, tetapi hak tersebut juga tidak boleh sampai menghalangi proses hukum terhadap tersangka/terdakwa, dalam hal ini tersangka Setya Novanto.
Hal tersebut sesuai dengan putusan MK dalam perkara Nomor 65/PUU-VIII/2010, yang menetapkan, meskipun merupakan hak tersangka, pemeriksaan saksi dan ahli yang menguntungkan tersangka tetap harus memperhatikan batas-batas kewajaran dan juga kepentingan hukum masyarakat yang diwakili negara. Pemenuhan hak tersangka/terdakwa itu tidak boleh menghalangi ditegakkannya hukum pidananya.
Diajukan sampai begitu banyaknya saksi dan ahli meringankan oleh pihak Setya Novanto, yang diikuti dengan banyak dari mereka diduga sengaja tidak memenuhi panggilan penyidik  KPK itu, dapat diketegorikan sebagai sudah melewati batas-batas kewajaran, maka patut diduga hal itu sengaja dilakukan untuk menghalangi/memperlambat proses hukum terhadap tersangka Setya Novanto.
Dengan demikian KPK dapat mengabaikankan kelanjutan dari pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan ahli meringankan itu, dengan menganggap pemeriksaan terhadap para saksi dan ahli meringankan itu sudah cukup memenuhi ketentuan Pasal 65 KUHAP itu.
Sedangkan strategi yang diduga dilakukan KPK dengan sengaja tidak hadir di awal persidangan praperadilan pada 30 November lalu, dengan alasan belum siap, tidak melanggar hukum acara pidana, karena memang tidak dilarang Undang Undang.
Adalah wewenang dari hakim praperadilan (Hakim Kusno) untuk menentukan jadwal ulang dari persidangan tersebut, yang telah ditetapkan, yaitu pada 7 Desember 2017.
Diduga KPK sengaja memasang strategi itu agar punya waktu untuk menyelesaikan berkas pokok perkara Setya Novanto itu, supaya sudah bisa dilimpahkan di Pengadilan Tipikor, dan segera dapat dimulai persidangannya, sehingga dengan demikian permohonan praperadilan Setya Novanto itu akan gugur. Di persidangan praperadilan nanti hakim akan menolak permohonan praperadilan itu karena sidang pokok perkaranya sudah dimulai.
Tampaknya strategi yang dijalankan oleh KPK itu akan berjalan mulus, dan itu pula berarti tamatlah riwayat Setya Novanto yang selama ini dikenal sebagai  "the untouchable",  karena dengan bukti-bukti yang sangat kuat tentang keterlibatannya dalam kasus mega korupsi KTP-el yang ada di tangan KPK, kita bersama KPK optimis kelak di persidangan Pengadilan Tipikor,  Majelis Hakim-nya akan mengvonis Setya Novanto terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, dengan vonis hukuman yang seberat-beratnya, mengingat statusnya sebagai Ketua DPR, dan selama ini dia sangat tidak kooperatif bahkan melawan saat ditangani KPK. *****