Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK Harus Mengusut dan Memidanakan Penyembunyi Setya Novanto

21 November 2017   22:23 Diperbarui: 21 November 2017   23:33 3043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setya Novanto saat ditahan, di Gedung KPK, ia bisa berjalan sendiri, di wajahnya pun tidak ada luka apapun, hanya ada bekas memar (Tribunnews.com)

Sandiwara sakit parahnya Setya Novanto akibat dari kecelakaan Fortuner yang ditumpanginya menabrak tiang lampu di Jalan Permata Berlian I, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pada Kamis malam (16/11), berakhir pada Minggu malam (19/11).

Pada Minggu malam itu, sekitar pukul 23.00 WIB, di RSCM, KPK mengadakan konferensi pers; Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, didampingi Direktur Utama RSCM Heriawan Soejono dan Sekjen Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi, memberi keterangan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dari tim dokter IDI di RSCM, kondisi kesehatan fisik, maupun psikis  Setya Novanto dalam kondisi baik, tidak memerlukan perawatan inap di rumah sakit,  pasien (Setya) dinyatakan "fit to be questioned,", Setya sudah bisa diperiksa dan ditahan KPK untuk menjalani proses hukumnya.

Hasil pemeriksaan tim dokter IDI terhadap kesehatan Setya Novanto tersebut, secara tak langsung memastikan bahwa klaim pengacara Setya Novanto, Fredrick Yunadi, tentang kondisi kliennya yang dikatakan mengalami kecelakaan yang sangat parah, sehingga menderita cidera sangat parah, berdarah-darah, sampai pingsan, terancam geger otak, dan sebagainya itu, -- seperti yang diyakini masyarakat pada umumnya --, bohong semua.

Seperti yang diketahui, untuk memperoleh hasil pemeriksaan tentang kondisi kesehatan sebenarnya Setya Novanto secara obyektif, KPK telah meminta bantuan dari IDI untuk memeriksa kondisi kesehatan Setya Novanto, setelah ia dipindahkan dari RS Medika Permata Hijau ke RSCM, Jumat siang (17/11).

Tim dokter IDI di RSCM melakukan pemeriksaan kesehatan Setya Novanto secara intensif dari Jumat (17/11) sampai dengan Minggu (19/11) agar diperoleh hasil yang benar-benar maksimal, tidak diragukan lagi. Hasilnya itu diumumkan di konferensi pers tersebut. Tidak ada masalah fisik, maupun psikis pada Setya Novanto yang mengharuskan dia dirawat inap di rumah sakit.

"Tim dokter IDI menyatakan bahwa yang bersangkutan sudah tidak ada indikasi dilakukan rawan inap," demikian dinyatakan Direktur Utama RSCM, Heriawan Soejono, dalam konferensi pers tersebut.

Dari hasil pemeriksaan tim dokter IDI tersebut, KPK pun langsung memindahkan Setya Novanto dari RSCM ke Rutan KPK, pada Minggu tengah malam itu juga.

Setya Novanto pun dinaikkan di salah satu mobil KPK dengan keadaan sudah mengenakan rompi tahanan KPK yang berwarna oranye itu. Wajahnya kusam, perban yang awalnya menempel di sisi pelipis kirinya sudah tidak ada lagi. Tak ada luka atau bekas luka di sana. Yang hanya hanya bekas memar, dan rasanya belum pernah ada orang yang diperban karena memar.

Tidak kelihatan sama sekali ada luka di wajahnya itu (hal ini sudah terlihat pula ketika Setya dipindahkan dari RS Medika Permata Hijau ke RSCM), membuktikan pernyataan pengacaranya, Fredrick Yunadi yang mengatakan wajah kliennya itu sampai luka-luka terkena kaca (mobil), sungguh-sungguh merupakan suatu kebohongan.

Setya Novanto saat dipindahkan dari RS Medika Permata Hijau ke RSCM, Jumat siang (17/11/17), kedua pipinya tampak mulus, tidak seperti pernyataan pengacara Fredrick Yunadi yang mengatakan pipi Setya terluka terkena pecahan kaca mobil (Foto: Jawa Pos)
Setya Novanto saat dipindahkan dari RS Medika Permata Hijau ke RSCM, Jumat siang (17/11/17), kedua pipinya tampak mulus, tidak seperti pernyataan pengacara Fredrick Yunadi yang mengatakan pipi Setya terluka terkena pecahan kaca mobil (Foto: Jawa Pos)
Tiba di Gedung KPK sekitar pukul 23.40, dengan kondisi badan lemas dan wajah kusam karena stres berat, Setya didudukkan di kursi roda, lalu didorong ke dalam gedung KPK untuk diperiksa secara cepat dan dibacakan hak-haknya sebagai tersangka.

Sembilan puluh menit kemudian, Setya dibawa keluar ke lobi Gedung KPK, untuk keperluan liputan media. Saat itu ia sudah bisa berjalan sendiri, tanpa menggunakan kursi roda. Di wajahnya terdapat bekas memar, tapi tidak ada tanda-tanda benjolan sebesar bakpao, wajahnya juga mulus, tidak ada bekas luka sedikitpun. Sekali lagi sandiwara sakit parahnya Setya itu terkuak kebohongannya.

Sesuai dengan surat penahanan yang diterbitkan KPK, Setya mulai ditahan pada 17 November 2017, tetapi karena alasan sakitnya, ia dibantarkan di RSCM, dengan demikian masa pembantarannya selesai hari Minggu itu juga (19/11), sehingga masa tahanannya yang akan berlangsung selama 20 hari itu, mulai dihitung tanggal 19 November sampai dengan 8 Desember 2017. Dalam masa itu KPK sudah harus menyiapkan semua berkas dokumen untuk mulai menyidangkan Setya Novanto di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

Pihak Setya Novanto sudah mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, rencananya sidang praperadilan itu dimulai pada 30 November 2017. Kita sangat mengharapkan kali ini hakimnya benar-benar berintegrasi tinggi, anti-korupsi,  dan sungguh-sungguh memperhatikan tuntutan publik terhadap keadilan, yang pernah diruntuhkan hakim tunggal Cepi Iskandar di sidang praperadilan yang pertama, sehingga ia akan menolak gugatan praperadilan Setya Novanto tersebut. Biarlah Setya membela dirinya di sidang Tipikor kelak.

Kita sangat berharap KPK tidak akan berhenti pada penahanan Setya dan proses hukumnya. KPK diharapkan tidak berhenti pada "pengungkapan sandiwara kebohongan"  Setya Novanto, Fredrick Yunadi dan kawan-kawannya tentang cidera beratnya Setya Novanto tersebut, tetapi harus dilanjutkan dengan menyelidiki peristiwa-peristiwa ikutan sebelumnya, dan memeriksa orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Dimulai dari menghilangnya Setya Novanto sebelum KPK datang ke rumahnya, di Jalan Wijaya XIII Nomor 19, Jakarta Selatan,  untuk melakukan penjemputan paksa, pada Rabu malam (15/11), pukul 21.00.

Ketika Setya Novanto tidak memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka, tetapi datang di Gedung DPR untuk memimpin rapat paripurna, tim penyidik KPK sudah memantaunya.

Diketahui, Setya meninggalkan kompleks Parlemen itu pada pukul 20.00, bersama beberapa orang, termasuk pengawalnya. Ia tidak menggunakan Lexus LS460 berpelat RI-6 yang biasa ia tumpangi, tetapi menumpang di mobil Nisssan X-Trail pengawalnya. Rupanya dimulai dari sini Setya sudah mulai berupaya menghilangkan jejaknya dari pantauan tim penyidik KPK.

Sebab ketika masih di kantornya di kompleks DPR itu, Setya sudah mengetahui ia akan dijemput paksa KPK. Menurut sebuah sumber, saat sedang berdiskusi tentang kasusnya itu dengan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dan pengacara Fredrick Yunadi, di ruang kerjanya, Setya menerima telepon dari seseorang. Telepon itulah yang memberitahu kepadanya bahwa ia akan dijemput paksa KPK. Hal itu lalu diberitahukannya kepada Fredrich dan Idrus.

Jadi, dari sini sudah dapat diduga kuat bahwa rencana penjemputan paksa Setya oleh KPK itu sudah bocor sejak Rabu siang itu, dan hampir pasti kebocoran itu berasal dari orang dalam KPK.

Lalu berdatanganlah beberapa tamu penting di ruang kerjanya itu, antara lain Ketua Koordinator Bidang Kepartaian Golkar Kahar Muzakir, dan Bendahara Umum Golkar Robert Joppy Kardinal. Mereka berdiskusi tentang rencana KPK akan menjemput paksa Setya.

Semakin siang semakin banyak pengawal Setya Novanto yang datang, mereka seperti berantisipasi ingin melindungi Setya dari tim penyidik KPK yang akan menangkapnya itu. Mereka mengira Setya Novanto akan ditangkap KPK di kompleks Parlemen itu.

"Mereka bersedia berkorban untuk pimpinan DPR," ujar Fredrich sembari menunjuk beberapa pengawal Setya di Nusantara III (Majalah Tempo).

Jadi, Fredrich sejak Rabu siang itu juga sudah tahu, tim penyidik KPK akan melakukan penjemputan paksa terhadap kliennya itu. Maka, ketika ia berlagak terkejut dan pura-pura tidak tahu saat berada di rumah Setya, sesudah tim penyidik KPK datang, dan Setya sudah menghilang, itu jelas ia hanya bersandiwara saja.

Saat tim penyidik KPK menguntit rombongan Setya Novanto dari kompleks Parlemen pulang ke rumah pribadinya di Jalan Wijaya III, rupanya mereka termakan strategi Setya Novanto, sehingga lengah. Setya dan kawan-kawannya itu diduga sengaja memancing tim penyidik KPK mengikuti mereka ke rumah Setya. Tim penyidik KPK mengira Setya benar-benar pulang ke rumahnya. Sehingga mereka terus memantau dari luar sebelum memutuskan masuk ke rumah itu pada pukul 21.30 untuk menjemput paksa Setya. Saat itulah mereka baru merasa kecele, karena Setya yang mereka lihat sudah masuk ke rumahnya itu, ternyata sudah raib.

Istri Setya, Deisti Tagor, dan Fredrich Yunadi,  mengatakan kepada penyidik KPK bahwa Setya telah dijemput oleh seseorang, sebelum penyidik KPK tiba. Padahal sesungguhnya, Setyo keluar dari rumahnya itu lewat sebuah pintu rahasia yang tembus ke rumahnya lain, dari situlah ia lalu melarikan diri dibawa oleh seseorang.

Meskipun Setya menghilang, pada Kamis (16/11) siang, tim penyidik KPK berhasil melacak keberadaan Setya, dia bersembunyi di sebuah apartemen di daerah Kedoya, Jakarta Barat.

Menurut sumber informasi lain, dari tempat persembunyian itu, Setya minta bertemu dengan Presiden Jokowi yang saat itu berada di Istana Bogor, untukminta perlindungan. Upaya itu dilakukan sebanyak dua kali, pagi dan sore, tetapi gagal.

Jika informasi ini benar, patut diduga ada peran orang yang menjemput Setya di rumahnya itu. Itu berarti orang ini bukan orang sembarangan, setidaknya punya akses ke RI-1. Tetapi, karena Jokowi punya prinsip yang begitu teguh tentang kepatutan terhadap hukum, sudah pasti Jokowi menolak permintaan pertemuan tersebut. Apalagi, ketika itu status Setyo Novanto adalah buronan KPK. Namanya telah diminta KPK untuk dimasukkan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) ke Kapolri. 

Gagal bertemu dengan Presiden Jokowi, sore harinya, Setyo pergi ke kompleks DPR untuk bertemu dengan sahabat akrabnya yang juga wartawan Metro TV, Hilman Mattauch. Seto dan Hilman sudah bersahabat baik sejak Hilman menjadi ketua koordinator wartawan di kompleks parlemen (2014-2016).

Dalam kondisi seperti itu, dalam statusnya sebagai buron KPK, tentu saja pertemuan Setya Novanto dengan Hilman Mattauch itu bukan sekadar pertemuan antara dua sahabat. Tentu pertemuan itu merupakan pertemuan untuk menyusun rencana-rencana tertentu. Rencana-rencana untuk menyelamatkan Setya dari jerat hukum KPK.

Kebetulan, dari Metro TV telah menugaskan kepada beberapa wartawannya untuk berupaya keras menemukan Setyo Novanto untuk suatu liputan/wawancara eksklusif.

Posisi Hilman sebagai wartawan Metro TV itu penting bagi Setya Novanto, karena ia bisa memanfaatkan Metro TV lewat Hilman untuk  mempublikasikan pernyataan-pernyataan pembelaan dirinya kepada publik, sedangkan bagi Hilman, Setyo penting baginya karena adalah nara sumber yang sangat penting dan eksklusif untuk diwawancarai. Reputasinya bisa naik karena dialah satu-satunya wartawan yang "berhasil menemukan" dan mewawancarai  Setya Novanto yang sedang diburu KPK itu.

Wawancara eksklusif Hilman dengan Setyo live di Metro TV itu pun terlaksana, Kamis sore itu, sekitar pukul 18.00, di acara Prime Time News, melalui percakapan telepon.

Ketika itu belum diketahui Hilman sudah bertemu bahkan semobil dengan Setyo. Bahkan di wawancara eksklusif dengan Setyo itu ada indikasi Hilman hendak membuat orang mengira dia belum bertemu dengan Setyo, hanya baru bisa mengontak Setya lewat ponsel.

Hal ini terindikasi karena Hilman sempat berkata kepada penyiar di Metro TV yang bertanya kepadanya, kapan Setya Novanto akan menyerahkan diri ke KPK, Hilman menjawab: "Belum tau, belum tau saya, belum tau, ini beliau kebetulan lagi sedikit irit bicara. Jadi, nanti saya akan coba untuk menghubungi beliau lagi". Padahal diduga ketika itu Setya sudah semobil dengan dia.

Diduga Hilman sengaja menyembunyikan fakta bahwa ia saat itu sudah semobil dengan Setya Novanto, bahkan menyupiri sendiri Fortuner miliknya itu karena ia tahu apa yang dilakukan itu merupakan pelanggaran kode etik jurnalistik dan code of conduct Metro TV, yang melarang setiap wartawan Metro TV menggunakan mobil pribadinya membawa nara sumber.

Sampai pada terjadilah kecelakaan yang menghebohkan itu. Sekitar pukul 18.35,  Fortuner bernomor polisi B 1732 ZLO yang dikemudikan dan membawa Setya Novanto, dan seorang ajudan Setya, Reza,  menabrak tiang lampu di Jalan Permata Berlian I.

Namun, kecelakaan itu diragukan sebagai suatu kecelakaan murni. Diduga kuat kecelakaan itu merupakan suatu rekayasa sebagai modus agar Setya lolos lagi dari jerat hukum KPK, setidaknya sebagai strategi mengulur-ulurkan waktu, sebagaimana sudah berhasil dilakukan ketika dia diduga pura-pura sakit dan dirawat di RS Premier, Jatinegara, Jakarta Timur, September 2017.

Kecelakaan itu diduga sebagai suatu rekayasa, karena terdapat banyak keganjilannya, seperti kecepatan mobil yang diperkirakan oleh tim investigasi dari polisi dan Toyota Astra Motor hanya sekitar 30-40 km/per jam.

Dengan kecepatan rendah itu, diduga mobil sengaja dinaikkan di atas trotoar, menyerempet pohon lalu menabrak tiang lampu. Karena kecepatannya cuma sekitar 30-40 km/jam, maka tak heran tiang lampu itu pun tetap berdiri kokoh, tidak miring, apalagi sampai roboh. Padahal yang menabraknya sebuah mobil Fortuner yang berbadan besar.

Diduga kecepatan serendah itu dijalankan saat "kecelakaan" itu terjadi supaya tidak ada benar-benar teruka parah.

Kerusakan yang dialami Fortuner itu pun tidak bisa dikatakan parah, tidak seperti bualan Fredrich Yunadi: "Mobilnya hancur, cur, cur!"), hanya bagian bumperdan grill-nya -- yang memang paling gampang rusak --, yang penyok, lampu depannya tidak pecah, juga bagian bingkai lampu yang biasanya paling gampang patah, tetap utuh, kap mesinnya pun cuma rusak sedikit.

Airbag Fortuner itu juga tidak mengembang, padahal jika terjadi benturan keras, airbag itu pasti otomatis mengembang untuk melindungi sopir dan penumpangnya dari benturan keras.

Kerusakan seperti itu hanya mungkin terjadi jika kecepatan mobil Fortuner itu tidak lebih dari 40 km/jam.

Keganjilan lain, hanya Setya Novanto, yang duduk di jok tengah yang mengalami cidera, sedangkan Hilman Mattauch yang mengemudi mobilnya itu, dan Reza yang duduk di depan tidak mengalami cidera sedikit pun.

Sebuah mobil sedan hitam yang membawa Setya ke RS Medika Permata Hijau, diketahui sudah mengikuti Fortuner itu sejak keluar dari kompleks Parlemen, pemiliknya seorang pengurus Golkar. Diduga mobil sedan hitam itu memang disiapkan untuk membawa Setya ke rumah sakit.

Rumah sakit itu pun (RS Medika Permata Hijau) hanya berjarak sekitar 1 km dari tempat kejadian, seolah-olah "kecelakaan" itu memang sengaja dipilih dekat dengan rumah sakit itu.

Kondisi Fortuner yang menabrak tiang listrik, kerusakannya tidak terlalu parah (Tribunnews.com)
Kondisi Fortuner yang menabrak tiang listrik, kerusakannya tidak terlalu parah (Tribunnews.com)
Bandingkan dengan crash test safety pasengger, Toyota Fortuner, di bawah ini:


Di media sosial, beredar pula kabar bahwa di pagi harinya sebelum "Kecelakaan" itu terjadi,  satu lantai (ruang VIP) di rumah sakit Medika Pertama Hijau itu sudah di-booking oleh seseorang.

Informasi itu pertama kali disebarkandi Twitter oleh pemilk akun @komentrader, yang menulis bahwa pagi hari ia mendengar dari kerabatnya bahwa ada seseorang mem-bookingsatu lantai RS Medika Permata Hijau, sampai ia heran, apakah ada wabah. Ternyata, malam harinya  ia mendengar ada kecelakaan yang menimpa SN (Setya Novanto), dan dirawat di situ.

Cuitannya:

(Twitter)
(Twitter)
Ketika hal itu dikonfirmasikan ke pihak RS Permata Hijau, dokter Bimanesh Sutarjo, dokter yang merawat Setyo, membantah: "Kami seperti rumah sakit lain, tidak bisa di-bookingseperti restoran".

Padahal, kamar kelas dan VIP rumah sakit bisa saja di-booking, ketika memang ada pasien yang hendak dikirim ke rumah sakit itu untuk dirawat, misalnya pasien darurat, pasien dari luar kota, atau luar negeri, dengan membawa rujukan dokter.

Kenyataannya, setelah Setya Novanto dimasukkan di kamar VIP-nya, di lantai 3 rumah sakit itu, dokter Bimanesh Sutario memerintahkan mengsterilkan lantai tiga itu dari semua orang, termasuk wartawan, kecuali keluarga dan orang-orang dekat Setya. Bahkan ketika tim penyidik KPK mendatangi rumah sakit itu untuk mengetahui kondisi sebenarnya dari Setya, mereka juga sempat dipersulit, dihalang-halangi untuk bisa melihat Setya dari dekat secara langsung.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah pun mengatakan: "Pihak Rumah Sakit Medika tidak kooperatif!" (Koran Tempo).

Indikasinya, ketika tim penyidik KPK memerlukan keterangan dari dokter tentang kondisi kesehatan Setya Novanto, tidak ada dokter yang melayani mereka. Penyidik KPK juga tidak bisa menemui pengelola RS Medika Permata Hijau.

Ketika penyidik KPK hendak masuk kamar Setya, yang menyambut mereka bukan dokter atau suster, tetapi pengacara Fredrick Yunadi yang menghadang dan melarang mereka masuk ke kamar Setya, sembari menujukkan foto tulisan tangan larangan masuk ke ruang Setya dengan mengatasnamakan dokter Bimanesh Sutardjo.

Kepada penyidik KPK, Fredrich dengan lantang berkata: "Ratusan kali saya bilang tidak bisa! ... Silakan tunggu di lorong. Mau duduk, mau tidur, silakan!"

Sedangkan dokter Bimanesh pun terkesan menghindari tim penyidik KPK itu.

Kepada para wartawan yang hendak menanyakan perihal kondisi kesehatan Setya, Bimanesh enggan menjawab. "Sebentar, ya," kata dia, sembari berlalu.

Penyidik KPK pun dibiarkan "terlantar" di rumah sakit itu, mereka diizinkan masuk ke ruang perawatan Setya pada keesokan harinya,  sekitar pukul 06.10.

Febri Diansyah pun sampai mengeluarkan pernyataan tegasnya untuk mengingatkan siapa saja yang merintangi penyidikan Setya bisa dikenai pasal pidana karena melanggar Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. "Pasal itu menyebutkan, setiap orang yang mencegah, merintangi, atau menggagalkan penyidikan kasus korupsi bisa dipidana hingga 12 tahun penjara!"

Juru Bicara KPK itu rupanya curiga pihak RS Medika Permata Hijau, terutama dokter Bimanesh berpihak Setya Novanto, sehingga menghalang-halangi tim penyidik KPK ketika hendak melihat langsung Setya Novanto.

Dari sikap RS Medika Permata Hijau yang dianggap tidak kooperatif dengan tim penyidik KPK itulah yang membuat pimpinan KPK tidak mau mengambil risiko jika Setya dibiarkan tetap dirawat di sana, maka pimpinan KPK pun memerintahkan agar Setya segera dipindahkan ke RSCM. Rumah Sakit pemerintah yang lebih terjamin profesionalitasnya.

Jumat siang (16/11) Setya Novanto pun dipindahkan ke RSCM.

Setelah Setya "diamankan" di RSCM, KPK lalu meminta bantuan IDI dan tim dokter dari RSCM untuk memeriksa kesehatan Setya Novanto, apakah ia benar-benar sakit sedemikian rupa sampai tidak memungkinkan diperiksa dan ditahan KPK, ataukah sebaliknya.

Hasilnya sudah kita ketahui bersama, sebagaimana juga sudah diulas di bagian awal tulisan ini.

Dari sedangkan uraian dan ulasan tersebut di atas, terlihatlah beberapa misteri yang harus diungkapkan KPK, yaitu dugaan adanya pihak-pihak tertentu, baik yang sudah bisa diduga siapa mereka, maupun masih benar-benar misterius, yang telah membantu dan berperan penting dalam pelarian Setya Novanto, kecelakaan Fortuner yang menabrak tiang lampu yang diduga merupakan hasil rekayasa, sampai dengan dugaan adanya upaya menghalang-halangi kerja tim penyidik KPK di RS Medika Permata Hijau saat hendak melihat kondisi Setya Novanto yang sebenarnya.

Jika KPK berhasil mengungkap misteri-misteri tersebut, dan mengungkapkan siapa saja mereka, maka harus diikuti dengan tindakan hukum yang tegas terhadap orang-orang itu, karena tindakan mereka sudah tergolong tindak pidana "obstruction justice", yang diatur di  Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi:

Pasal 21

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Selain itu juga dapat dijerat dengan pasal pidana umum tentang orang yang menyembunyikan dan membantu seorang tersangka tindak pidana melarikan diri, yaitu Pasal 211 ayat 1 KUHP:

Pasal 211 (1):

(s.d.u. dg, UU N. 18 / Prp / 1960.) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

Barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh penjahat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun