Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menguji Kredibilitas MURI dengan Karangan Bunga untuk Ahok-Djarot

1 Mei 2017   00:03 Diperbarui: 1 Mei 2017   12:26 4195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suka tidak suka, karangan bunga untuk Ahok-Djarot telah menjadi sebuah fenomena tersendiri. Bukan hanya di DKI Jakarta, bukan hanya di Indonesia, tetapi, sampai mendunia!

Betapa tidak, inilah peristiwa langka yang baru pertama kali terjadi di dalam suatu pemilu (pilkada DKI), di Indonesia, bahkan di dunia, ketika bukan pemenang pemilu yang mendapat ucapan selamat ramai-ramai dari rakyat yang memilihnya, tetapi justru yang kalah di dalam pemilu yang mendapat ucapan simpatik, pemberi semangat, dan terima kasih yang diwujudkan dalam bentuk ribuan karangan bunga yang luar biasa banyaknya.

Kabar terkini, saat tulisan ini dibuat dikabarkan karangan bunga untuk Ahok-Djarot yang meluap di Balai Kota DKI sampai merambat ke lapangan Monas itu telah mencapai lebih dari 7.000 buah! (liputan6.com).

Beberapa media asing pun meliput fenomena langka, dan baru pertama kali terjadi di dunia itu, seperti yang dapat dilihat dari video di bawah ini:


Sebagaimana dilaporkan oleh Liputan6.com, ternyata awal dari datangnya ribuan karangan bunga membanjiri Balai Kota DKI itu berasal dari beberapa orang pendukung Ahok, yang berinisiatif secara secara sendiri-sendiri, maupun kolektif mengirim karangan bunga sebagai tanda simpatik dan dukungan moril kepada Ahok-Djarot yang dianggap telah berprestasi tinggi saat memimpin Jakarta, tetapi kalah di Pilgub DKI (karena pihak lawan yang menggunakan isu SARA, terutama agama, dan ancaman-ancaman kepada warga DKI untuk tidak memilih Ahok: masuk neraka, jazad tidak disholati, dan lain-lain), dan dengan sangat sportif dan rendah hati menerima kekalahan tersebut (meskipun sesungguhnya telah dizalimi).

Mereka mengirim beberapa karangan bunga pertama kali pada 26 April 2017, lalu memotretnya, dan berbagi lewat grup WhatsApp-nya. Tak terduga, foto-foto  karangan-karangan bunga itu kemudian menjadi viral di media sosial, lalu menjadi berita di media berita daring, yang membuat foto karangan bunga untuk Ahok-Djarot itu menjadi semakin deras arus viral-nya.

Dari situlah kemudian mengundang spontanitas masyarakat pendukung Ahok-Djarot lainnya, terutama warga DKI Jakarta untuk ikut serta mengirim karangan bunga lagi buat Ahok-Djarot, yang dalam tempo hanya 4 hari sudah melampui jumlah 7.000 buah itu.

Dengan kondisi demikian adalah aneh jika MURI (Museum Rekor-Dunia Indonesia) milik Jaya Suprana tidak memberi penghargaan rekor MURI kepada Ahok-Djarot dan para pendukungnya atas terjadinya fenomena langka tersebut, meskipun tentu saja mereka semua tidak mengharapkannya.

Tidak ada alasan bagi Jaya Suprana/MURI untuk tidak memberi penghargaan MURI tersebut, sebab semua kriteria yang diperlukan telah dipenuhi fenomena tersebut, kecuali jika Jaya Suprana yang nota bene anti-Ahok, dan salah satu pendukung utama Anies-Sandi hendak mencampuaradukkan kepentingan politiknya dengan penghargaan rekor MURI.

Menurut  situs Muri.org, kriteria suatu karya atau peristiwa dapat dimasukkan dalam rekor MURI (dengan sendirinya berhak mendapat penghargaan dari MURI) sebagai “Yang Paling”, atau “Yang Ter ...” adalah sebagai berikut:

1. Yang Paling Pertama: Segala sesuatu yang belum pernah dilakukan ataupun belum pernah ada di Indonesia. Bisa berupa kegiatan, bisa juga berupa penemuan atau alat;.

2. Yang Paling/Ter:Segala sesuatu yang bersifat superlatif, bisa berupa benda dengan ukuran tertentu, ataupun berupa kegiatan dengan jumlah peserta tertentu, dsb;

3. Yang Unik:  Segala sesuatu yang unik, diluar kebiasaan yang ada dan belum pernah dilakukan oleh orang lain;

4. Yang Langka: Sesuatu yang jarang ada atau mempunyai keistimewaan tertentu.

Menurut saya untuk fenomena langka ribuan karangan bunga untuk Ahok-Djarot itu memenuhi syarat empat kriteria tersebut di atas, terutama kriteria kedua sampai ketiga, sehingga tak ada alasan dari MURI untuk mengatakan peristiwa itu tidak bisa masuk MURI karena tidak memenuhi satu pun empat kriteria tersebut di atas, kecuali memang Jaya Suprana/MURI telah mencampuradukan keberpihakan politiknya dengan pemberian penghargaan MURI tersebut. Karena Jaya Suprana anti-Ahok, dan dia adalah salah satu pendukung utama Anies-Sandi, maka akan rugi jika MURI harus mengakui fenomena tersebut sebagai suatu rekor yang layak mendapat penghargaan MURI.

Nama Ahok-Djarot bisa semakin bersinar, padahal mereka yang kalah, sebaliknya Anies-Sandi menjadi redup, padahal mereka yang menang.

Apalagi tempo hari di masa kampanye Pilgub DKI, Jaya Suprana/MURI telah memberi penghargaan MURI kepada calon wakil gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, atas prestasinya berhasil melakukan blusukan ke 1.000 titik di wilayah DKI Jakarta dalam tempo satu bulan. Pemberian penghargaan tersebut dilakukan di Ciracas, Jakarta Timur, Kamis (19/1/2017), diserahkan langsung oleh Jaya Suprana sebagai Ketua Umum kepada Sandiaga Uno.

Ditinjau dari segi etika, sebenarnya pemberian penghargaan MURI itu kurang pantas, karena pemberi penghargaannya adalah pendukung utama Anies-Sandi, dan dilakukan di dalam masa kampanye, bahkan saat acara pemberian penghargaan itu dilakukan, panggung acara dipenuhi dengan atribut-atribut kampanye pasangan nomor urut tiga: Anies-Sandi.

muri-sandi-590617e908b0bd790f24268c.jpg
muri-sandi-590617e908b0bd790f24268c.jpg
Di balik prestasi Sandiaga Uno bisa blusukan ke 1.000 titik di wilayah DKI Jakarta hanya dalam tempo satu bulan sehingga diberi penghargaan rekor MURI itu, sebenarnya memunculkan pertanyaan: Jika dalam tempo sesingkat itu, Sandiaga bisa blusukan ke-1.000 titik, per titiknya ia memerlukan waktu berapa menit untuk bisa cukup benar-benar hadir untuk mendengar suara hati rakyat dengan sungguh-sungguh? Sangat mungkin sebagian besarnya hanya melintas, numpang lewat, setor muka, di titik-titik blusukannya itu.

Kalau hanya blusukan seperti itu saja Jaya Suprana merasa Sandiaga Uno layak mendapat penghargaan rekor MURI, sangat aneh jika fenomena ribuan karangan bunga untuk Ahok-Djarot itu malah dianggap tidak memenuhi kriteria MURI.

Akan menjadi tidak aneh, jika memang ternyata Jaya Suprana dengan MURI-nya itu sudah terkontamidasi kepentingan politik sebagaimana saya sebutkan di atas. Semoga saja tidak demikian adanya.

Jika memang demikian adanya, maka MURI bisa kehilangan mukanya, jika kelak justru Guinness World Record yang pertama kali memberi penghargaan rekornya kepada Ahok-Djarot dan pendukungnya atas terjadinya peristiwa yang telah menjadi fenomena langka tersebut. *****

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun