Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siapa Tokoh di Balik PAN yang Ikut Menjadi Inisiator Hak Angket?

25 Februari 2017   13:09 Diperbarui: 25 Februari 2017   13:33 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tanggal 14 Februari 2017,  empat fraksi di DPR RI, yaitu Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKS, dan PAN telah menandatangani inisiatif Hak Angket terhadap kebijakan Pemerintah (Presiden Jokowi) karena tetap mempertahankan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta aktif, padahal ia berstatus terdakwa yang diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.

Inisiatif Hak Angket tersebut sudah dibacakan oleh Wakil ketua DPR Fadli Zon pada 23 Februari 2017, yang artinya usulan tersebut akan dibahas di rapat paripurna DPR berikutnya (setelah reses), apakah Hak Angket tersebut akan dilaksanakan ataukah tidak.

Jika Hak Angket itu disetujui untuk dilaksanakan, maka DPR akan mulai melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Presiden Jokowi yang tidak menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta itu, yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Dari hasil Hak Angket itu, DPR akan menggunakan Hak Menyatakan Pendapat-nya, yang akan menyatakan apakah Presiden Jokowi benar telah melanggar Undang-Undang ataukah tidak dengan segala konsekuensi hukum dan politiknya.

Dengan demikian secara logika, seharusnya hanya parpol-parpol oposisi saja yang berinisiatif atau mendukung suatu Hak Angket terhadap Pemerintah/Presiden.

Jika PAN yang telah beralih dari oposisi menjadi parpol pendukung Pemerintah, tetap bersikeras hendak mempersoalkan kebijakan Presiden Jokowi, apalagi sampai mau menggunakan Hak Angket, maka sebaiknya PAN kembali saja menjadi partai oposisi. Konsekuensinya PAN juga harus segera menarik kembali dua kadernya yang telah bergabung dalam jajaran pemerintahan Jokowi. yaitu  Asman Abnur sebagai Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Sutrisno Bachir sebagai Kepala Ekonomi dan Industri Kreatif (KEIN).

Sebenarnya, Ketua Umum PAN sendiri, Zulkifli Hasan telah menyatakan PAN tidak setuju dengan usulan penggunaan Hak Angket terkait status Ahok tersebut, dan meminta kader PAN di DPR agar tidak ikut tanda tangan inisiatif Hak Angket itu.

“Kalau saya selaku Ketua Umum PAN, tidak Angket dulu sekarang ini. Kalau mau ya undang menteri, tanyakan. Kenapa masih masa kampanye sudah serah terima (Plt Gubernur ke Ahok),” kata Zulkifli Hasan saat konferensi pers di Media Center DPR RI, Kompleks Parlamen, Jakarta, Selasa (14/2) (Jpnn.com).

Namun, pernyataan Zulkifli Hasan itu tidak digubris para kader PAN di DPR, terbukti dengan mereka tetap saja bergabung bersama Fraksi Partai Gerindra, Demokrat, dan PKS untuk mempersoalkan kebijakan Pemerintah terhadap Ahok tersebut, dengan turut menjadi inisiator pengajuan Hak Angket itu.

Ketika ditanya, kenapa anggota DPR dari Fraksi PAN tetap ikut tanda tangan inisiatif Hak Angket itu, Zulikfli malah mengaku tidak mengetahuinya, karena belum menerima laporannya.

Inisiatif Hak Angket itu ditandatangani pada 14 Februari 2017, Mendagri Tjahjo Kumolo memberi penjelasan tentang sikap Pemerintah terkait status Ahok itu pada 22 Februari 2017, tetapi PAN bersama dengan Gerindra, PKS, dan Demokrat, tidak bisa menerima alasan Pemerintah tersebut, dan bersikeras meneruskan usulan penggunaan Hak Angket itu.

Pertanyaannya: kenapa perintah Zulkifli Hasan kepada kader PAN di DPR itu tidak digubris, bahkan mereka juga tidak melaporkan kepadanya tentang Fraksi PAN telah ikut menjadi inisiator penggunakan Hak Angket itu?

Suara Pembaruan edisi 21 Februari 2017, menulis di salah satu artikelnya mengenai kejanggalan sikap salah satu fraksi di DPR yang ikut menjadi inisiator penggunaan Hak Angket, padahal parpol-nya merupakan parpol pendukung Pemerintah.

Menurut Suara Pembaruan, mereka memperoleh informasi dari sumber yang bisa dipercaya, bahwa  hal itu bisa terjadi karena ada tokoh senior parpol tersebut yang meskipun sudah lama secara formal mundur dari kepengurusan partai, tetapi secara nyata ia tetap mengendalikan parpol-nya itu, sedangkan ketua umumnya sendiri tidak bisa berbuat banyak jika tokoh senior itu yang memberi perintah. Ibaratnya ketua umum itu hanya ketua umum boneka saja, jika sang tokoh telah bertindak.

Menurut informan Suara Pembaruan itu. manuver sejumlah anggota fraksi (PAN) sejatinya sudah ditentang sang ketua umum. Namun, ketua umum definitif kalah pengaruh dengan sang tokoh senior. Bahkan, dia kabarnya tak memiliki otoritas penuh dalam menentukan arah kebijakan partai. Justru tokoh senior dimaksud yang mendominasi keputusan strategis partai, dan dialah pula yang sebenarnya masih “the realketua umum,” yang memerintahkan PAN harus ikut menandatangani inisiatif Hak Angket itu.

Meskipun Suara Pembaruan tidak menyebutkan parpol mana yang dimaksud, tetapi dengan mudah kita dapat menebak bahwa yang dimaksud itu adalah Partai Amanat Nasional (PAN), karena di antara keempat parpol penandatanganan usulan Hak Angket itu, hanya PAN saja yang berada pada posisi parpol pendukung Pemerintah, tetapi juga justru bersamaan dengan itu mempersoalkan secara serius kebijakan yang telah diambil Presiden Jokowi itu.

Sedangkan mengenai tokoh senior yang meskipun sudah lama mundur dari kepengurusan partai, tetapi tetap masih mengendalikan partainya itu, termasuk yang memberi perintah ikut dalam inisiatif Hak Angket itu, siapakah dia?

Dugaan saya, dia adalah pendiri dan sesepuh PAN sendiri,  yang bukan lain adalah Amien Rais, salah satu tokoh yang sampai ke sum-sumnya sangat membenci Ahok, maupun Jokowi. Diduga dialah yang memberi perintah kepada para kader PAN di DPR, sehingga PAN pun ikut menjadi inisiator Hak Angket bersama dengan tiga parpol oposisi: Gerindra, PKS, dan Demokrat.

Dalam berbagai kesempatan Amien Rais saat berpidato, pernah mengekspresikan kebencian terhadap Ahok dengan berbagai julukan penghinaan untuk Ahok. Mulai dari sebutan, “sontoloyo”, “dewa kecil ingusan”, “dajjal”, sampai “antek asing,” umpatan bernuansa rasis kepada Ahok pun tidak jarang keluar dari mulutnya.

Ketika unjuk rasa besar-besaran yang bertajuk “aksi bela Islam” diselenggarakan pada 4 November 2016, Amien Rais juga turut di dalamnya, dan menjadi salah satu orator utama yang berteriak-teriak mengancam Presiden Jokowi, mendesaknya agar Ahok harus segera ditangkap dan dipenjarakan karena telah melakukan penistaan agama.

Dalam salah satu pernyataannya yang pernah diucapkannya, Amien Rais pernah juga mengultimatum Presiden Jokowi agar segera menahan Ahok, jika tidak mau,  dia akan memimpin rakyat pisah dari Indonesia.

"Jangan sampai saya yang akan memimpin semua rakyat Indonesia pisah dari Indonesia, bila Ahok tidak segera ditangkap," katanya ketika memberi sambutan dalam acara Resepsi Milad ke-107 Muhammadiyah Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya, Minggu, 20 November 2016 lalu (sumber).

Amien Rais masih bermimpi, mengira sosoknya masih seperti dahulu di era reformasi, ketika massa rakyat dan mahasiswa berhasil menyingkirkan kekuasaan Orde Baru. Saat itu publik dan media secara keliru mengira dia adalah seorang pahlawan reformasi dan demokrasi di Indonesia.

Sekarang, publik dan media sudah terbuka matanya, tahu siapa sesungguhnya seorang Amien Rais itu, yang tidak lebih dari seorang tokoh provokator, oportunis dan hipokrit sejati, yang pernah terlalu percaya diri (over confidence) pasti dipilih rakyat untuk menjadi presiden berbekal pada julukan yang pernah disematnya: “Bapak Reformasi dan Demokrasi Indonesia.”

Namun ketika tidak terpilih lewat pemilihan langsung presiden, malah mengatai rakyat sebagai baru belajar demokrasi, yang masih ingusan dalam berdemokrasi (tabloid Detik,di tahun 1990-an).

Mengenai ultimatumnya kepada Presiden Jokowi tersebut di atas, kita anggap saja sebagai suatu lelucon dari seorang kakek yang masih mengira dia adalah seorang pemimpin berkharisma tinggi di mata rakyat.

Mengingatkan kita juga kepada nazarnya yang pernah diaucapkan di masa Pilpres 2014, bahwa jika ada yang bisa membuktikan, bisa memperlihatkan kepadanya berupa kliping koran, rekaman, atau apa saja, yang membuktikan dia pernah mengatakan Prabowo Subianto harus di-mahmil-kan, maka ia akan berjalan kaki dari Yogyakarta ke Jakarta pergi-pulang.

Ketika ada yang memperlihatkan kliping koran Republika tentang pernyataannya itu, Amien Rais pun pura-pura tidak tahu, dan sampai hari ini tidak pernah menjalankan nazarnya itu. *****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun