Beberapa hari lalu, juru bicara tim pemenangan calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylvia Murni, Rico Rustombi, membuat pernyataan bahwa bagi Agus-Sylvi program kerja itu tidak penting, yang penting masyarakat tahu kalau calon pimpinan mereka orang yang baik.
"... Program (kerja) kayaknyaenggak terlalu penting, yang penting masyarakat tahu kalau calon pemimpin mereka orangnya baik. Kayak saya lihat kamu, kayaknya kelihatan baik, bukan orang jahat, begitu," kata Rico.
Setelah mendapat banyak kritikan, Rico mengeles dengan mengatakan bahwa orang salah mengerti maksudnya, dia tidak bermaksud mengatakan program kerja tidak penting bagi Agus-Sylvia. Apa yang dia sampaikan itu adalah pendapat warga di lapangan tentang calon pimpinannya, bukan pendapat dari Agus-Sylvia. Bagi Agus-Slyvia program itu tetap merupakan hal yang penting.
"Bukan berarti program kerja benar-benar tidak penting. Maksudnya, saya cuma menyampaikan pendapat warga di lapangan yang ada bilang mereka tidak mementingkan program. Pendapat yang sama juga dilontarkan peserta diskusi tadi yang dihadiri Mas Agus," kata Rico (24/11).
Memanfaatkan Ketidaktahuan Warga?
Pertanyaannya, kalau memang itu sekadar pendapat warga, kenapa tidak dibilang sejak awal? Sudah mendapat kritik baru bilang, warga yang bilang begitu. Lagipula, kalau benar warga yang punya pandangan seperti itu, seharusnya kan dibetulkan?
Seharusnya, warga diedukasi bahwa program kerja calon gubernur DKI Jakarta itu sangat penting disampaikan di saat kampanye, agar warga bisa mengetahui apakah yang akan dikerjakan untuk kepentingan mereka, untuk membangun Jakarta oleh calon gubernur itu jika ia terpilih.
Tapi, yang terjadi tampaknya justru kubu Agus memanfaatkan kurangnya wawasan warga mengenai pentingnya program kerja itu, dan kebetulan sekali Agus yang nol pengalaman di pemerintahan, yang tidak punya apa-apa yang bisa diandalkan selain nama besar ayahnya itu, memang tidak punya program kerja hasil pemikirannya sendiri yang bisa diandalkan. Bekalnya hanyalah menjual tampangnya yang memang ganteng dan gagah itu.
Dari situlah agaknya yang membuat juru bicara tim pemenangannya itu mengeluarkan pernyataan bahwa bagi Agus-Sylvia, programkerja itu tidak penting, yang penting bisa menjual tampang dan pencitraan kepada warga. Itu sudah cukup membuat warga terperdaya, lalu kelak memilihnya. Selanjutnya, bagaimana? Itu urusan nanti saja.
Agus Yudhoyono Tak Paham Visi dan Misinya Sendiri?
Buktinya, beberapa kali ketika wartawan menanyakan program kerja, visi dan misinya, jawaban Agus selalu mengambang, termasuk ketika di acara Mata Najwa beberapa waktu lalu, saat ditanya lagi tentang program kerja, visi dan misinya sebagai calon gubernur DKI Jakarta, Agus hanya menjawab semuanya itu sudah dibicarakan dengan tim suksesnya, yang tidak dapat dijelaskan satu per satu.
Di acara Mata Najwa itu, Agus yang tak biasa menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis seperti yang dilontarkan oleh Najwa Shihab, terlihat beberapa kali gugup, dan menahan emosinya. Misalnya, saat Najwa bertanya kepadanya tentang dinasti keluarga yang diduga hendak dibangun ayahnya melalui dirinya, dalam kaitannya dengan diusungkan namanya sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Seandainya dia bukan putra SBY, apakah Demokrat dan SBY akan mengusungnya juga?
Itulah sebabnya yang membuat pemirsa televisi di rumah untuk pertama kalinya melihat narasumber Mata Najwa beberapa kali menyeruput hidanganwhite coffie “Luwak” di hadapannya. Sebelumnya, di Mata Najwa, rasanya kita tidak pernah melihat nara sumber Mata Najwa meminum hidangan kopi dari sponsor utama acara itu di saat sedangon air. Agus-lah nara sumber pertama yang melakukannya itu, sepertinya untuk menutupi kegugupan dan emosinya (lihat gambar di atas)
Karena tidak punya ide untuk menciptakan suatu program kerja orisinalnya sendiri, maka beberapa kali terlihat Agus Yudhoyono belopotan sendiri saat mau tak mau harus bicara tentang program kerjanya itu.
Sungguh mengerikan, anggaran Pemprov DKI Jakarta yang mencapai Rp. 60-70 triliunan itu dikelola oleh seorang pimpinan yang tidak mempunyai program kerja yang jelas.
Program Kerja yang Hanya Sarat dengan Materi
Janji-janji politik yang diajukan Agus pun sarat dengan “bagi-bagi duit” kepada masyarakat DKI Jakarta, karena rupanya bagi Agus inilah yang paling gampang dijanjikan untuk menarik warga memilihnya, daripada memikirkan program-program kerja DKI Jakarta yang lebih kongkrit yang ia sendiri kurang begitu memahaminya.
Kepada sejumlah warga DKI Jakarta yang ditemuinya saat melakukan blusukan Agus mengajukan tiga programnya yang semuanya melulu berupa pendistribusian dana segar langsung kepada masyarakat, yaitu: dana bantuan langsung sementara (BLS), dana bergulir, dan pemberdayaan komunitas.
Mungkin sekali ide ini di-copy-paste dan diedit dari program kerja ayahnya, Presiden SBY, yang dikenal dengan nama Bantuan Langsung Tunai (BLT) itu, yang di era Presiden Jokowi langsung distop itu, karena tidak mendidik rakyat untuk produktif, dan hanya menciptakan pencitraan diri bagi pimpinannya.
Agus secara spesifik menyebutkan nominal anggaran untuk tiga program tersebut. Misalnya BLS, Agus akan memberikan Rp 5 juta per keluarga miskin setiap tahun. Kemudian dana bergulir berupa uang Rp 50 juta per modal usaha.
Sedangkan mengenai pemberdayaan komunitas, akan diwujudkan dengan pembagian dana Rp 1 miliar per RW setiap tahun. Program tersebut untuk mengentaskan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan.
Dengan entengnya Agus mengumbarkan janjinya itu, tanpa memikirkan lebih lanjut bagaimana jika ia benar-benar terpilih, dan janji-janji itu harus direalisasikan, karena tentu itu menyangkut anggaran yang jumlahnya tidak sedikit, bagaimana mengawasinya dari potensi disalahgunakan (korupsi).
Tentang anggaran Rp. 1 miliar per RW se-DKI, misalnya. DI DKI Jakarta ada lebih dari 2.700 RW, jika tiap RW dikasih Rp. 1 miliar per tahun, maka Pemprov DKI Jakarta harus mengeluarkan anggaran sedikitnya Rp. 2,7 trilun per tahun.
Dana sebesar itu jika di tangan Ahok, pasti akan dipakai untuk kepentingan yang lebih kongkrit, seperti membangun rumah susun untuk warga miskin DKI Jakarta. Dengan Rp. 2,7 triliun itu Ahok bisa membangun 7000-an satuan rumah susun.
Itu baru anggaran untuk 2.700-an RW se-DKI, jika ditambahkan lagi dengan anggaran yang harus dikeluarkan pemprov DKI Jakarta untuk BLS Rp 5 juta per keluarga, dan Rp. 50 juta per modal usaha tersebut di atas, berapakah beban anggaran yang harus dipikul Pemprov DKI Jakarta lagi? Padahal manfaat, efektifitas, dan pengawasan penggunaannya pun akan sangat meragukan.
Menaikkan Gaji Guru Swasta
Saat menghadiri peresmian posko simpatisan pendukungnya di wilayah Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (25/11/2016), Agus Harimurti Yudhoyono membuat kekonyolan dengan menjanjikan bahwa jika ia terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta, ia akan menaikkan gaji guru di sekolah-sekolah swasta.
Kata dia, menaikkan gaji guru, baik negeri, maupun swasta merupakan salah satu komitmennya di bidang pendidikan.
"Kami tidak ingin guru negeri saja, tapi juga swasta. Karena cukup banyak anak kita yang sekolah di swasta," kata Agus.
Agus yakin alokasi anggaran untuk gaji guru di sekolah swasta akan didukung semua pihak dan mudah terealisasi asal bisa berkomunikasi dengan DPRD.
Saya terheran-heran saat membaca berita tentang janji Agus Yuhoyono yang akan menaikkan gaji guru di sekolah-sekolah swasta se-DKI Jakarta ini; sejak kapan Pemprov DKI berwenang mengatur gaji guru di sekolah-sekolah swasta? Apalagi, katanya, anggaran untuk menaikkan gaji guru swasta itu diambil dari APBD, yang ia yakin akan disetujui DPRD DKI!
Lagi-lagi yang bisa dijanjikan Agus hanya sarat dengan materi lagi.
Pemerintah pusat saja tidak pernah mencampuri urusan gaji guru-guru di sekolah swasta di seluruh Indonesia, ini kok ada calon gubernur DKI Jakarta yang menjanjikan jika ia terpilih, Pemprov DKI Jakarta akan menaikkan gaji guru-guru swasta?!
Emang-nya dia sudah tahu berapa rata-rata gaji guru swasta sekarang ini di DKI? Sudah bisa diperkirakan berapa besar dana yang dibutuhkan untuk mengalokasi dana untuk gaji guru di sekolah-sekolah swasra itu?
Membiayai gaji guru-guru negeri saja Pemprov DKI sudah kewalahan, kok, ini mau ditambah beban dengan menaikkan gaji guru swasta? Lagipula, mana sudi pemilik sekolah-sekolah swasta itu diintervensi Pemprov DKI soal gaji guru-guru mereka?
Kecuali, Pemprov DKI Jakarta sungguh-sungguh mau menanggung seluruh gaji guru swasta se-DKI sebesar janji Agus itu, jadi, pemilik sekolah tidak perlu lagi membayar sendiri gaji guru-gurunya. Siapa yang tidak mau?
Tapi, jelas, ini cuma janji banyolan, jadi semestinya tidak perlu ditanggapi.
Tak Sadar, Agus Mengkritik Ayahnya Sendiri
Saat menghadiri perayaan HUT Persija Jakarta ke-88 di Jakarta, Senin (28/11/2016), Agus Yudhoyono menyampaikan kritiknya kepada pemimpin yang tidak memperhatikan pembangunan sarana olah raga.
Ia mengatakan pemimpin seperti itu mempunyai pemikiran yang keliru, karena sarana olah raga merupakan hal yang sangat penting untuk memajukan olah raga, khususnya olah raga warga DKI Jakarta.
"Pemimpin yang tidak memperhatikan (pembangunan sarana) olahraga itu keliru karena melalui olahraga, Jakarta bisa dikenal," ujar Agus.
Saat berbicara itu, rupanya Agus lupa dengan proyek sarana olah raga Hambalang yang justru di masa pemerintahan ayahnya, Presiden SBY, terbengkalai, mangkrak, menjadi pusat olah raga hantu dan kuntilanak, membuang duit negara triliunan rupiah dengan percuma.
Itu hanya bisa terjadi jika pimpinannya punya pemikiran yang keliru mengenai pentingnya pembangunan sarana olah raga. Maka itulah, Indonesia pun menjadi kurang dikenal di kancah olah raga antarbangsa.


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI