Di acara Mata Najwa itu, Agus yang tak biasa menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis seperti yang dilontarkan oleh Najwa Shihab, terlihat beberapa kali gugup, dan menahan emosinya. Misalnya, saat Najwa bertanya kepadanya tentang dinasti keluarga yang diduga hendak dibangun ayahnya melalui dirinya, dalam kaitannya dengan diusungkan namanya sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Seandainya dia bukan putra SBY, apakah Demokrat dan SBY akan mengusungnya juga?
Itulah sebabnya yang membuat pemirsa televisi di rumah untuk pertama kalinya melihat narasumber Mata Najwa beberapa kali menyeruput hidanganwhite coffie “Luwak” di hadapannya. Sebelumnya, di Mata Najwa, rasanya kita tidak pernah melihat nara sumber Mata Najwa meminum hidangan kopi dari sponsor utama acara itu di saat sedangon air. Agus-lah nara sumber pertama yang melakukannya itu, sepertinya untuk menutupi kegugupan dan emosinya (lihat gambar di atas)
Karena tidak punya ide untuk menciptakan suatu program kerja orisinalnya sendiri, maka beberapa kali terlihat Agus Yudhoyono belopotan sendiri saat mau tak mau harus bicara tentang program kerjanya itu.
Sungguh mengerikan, anggaran Pemprov DKI Jakarta yang mencapai Rp. 60-70 triliunan itu dikelola oleh seorang pimpinan yang tidak mempunyai program kerja yang jelas.
Program Kerja yang Hanya Sarat dengan Materi
Janji-janji politik yang diajukan Agus pun sarat dengan “bagi-bagi duit” kepada masyarakat DKI Jakarta, karena rupanya bagi Agus inilah yang paling gampang dijanjikan untuk menarik warga memilihnya, daripada memikirkan program-program kerja DKI Jakarta yang lebih kongkrit yang ia sendiri kurang begitu memahaminya.
Kepada sejumlah warga DKI Jakarta yang ditemuinya saat melakukan blusukan Agus mengajukan tiga programnya yang semuanya melulu berupa pendistribusian dana segar langsung kepada masyarakat, yaitu: dana bantuan langsung sementara (BLS), dana bergulir, dan pemberdayaan komunitas.
Mungkin sekali ide ini di-copy-paste dan diedit dari program kerja ayahnya, Presiden SBY, yang dikenal dengan nama Bantuan Langsung Tunai (BLT) itu, yang di era Presiden Jokowi langsung distop itu, karena tidak mendidik rakyat untuk produktif, dan hanya menciptakan pencitraan diri bagi pimpinannya.
Agus secara spesifik menyebutkan nominal anggaran untuk tiga program tersebut. Misalnya BLS, Agus akan memberikan Rp 5 juta per keluarga miskin setiap tahun. Kemudian dana bergulir berupa uang Rp 50 juta per modal usaha.
Sedangkan mengenai pemberdayaan komunitas, akan diwujudkan dengan pembagian dana Rp 1 miliar per RW setiap tahun. Program tersebut untuk mengentaskan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan.
Dengan entengnya Agus mengumbarkan janjinya itu, tanpa memikirkan lebih lanjut bagaimana jika ia benar-benar terpilih, dan janji-janji itu harus direalisasikan, karena tentu itu menyangkut anggaran yang jumlahnya tidak sedikit, bagaimana mengawasinya dari potensi disalahgunakan (korupsi).