Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pancasila Menurut FPI, dan Pancasila Menurut Sejarah

23 November 2016   23:17 Diperbarui: 24 November 2016   00:07 11189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ir. Soekarno (Bung Karno), penggagas lahirnya Pancasila, Proklmator Kemerdekaan RI (sumber: pusakaindonesia.org)

“Pancasila yang Asli adalah Piagam Jakarta”

Sebuah orasi Ketua FPI Rizieq Shihab, sekitar dua tahun lalu, diunggah di You Tube. Orasi itu mengenai sejarah lahirnya Pancasila.

Di dalam orasinya itu, Rizieq Shihab menyebutkan bahwa Pancasila yang asli bukan lahir dari gagasan Soekarno. Gagasan Soekarno yang disampaikan dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 itu hanya merupakan ide pribadinya. (Jasa) Soekarno itu hanya memberi nama pada Pancasila saja.

Pancasila yang asli adalah Piagam Jakarta yang merupakan hasil kesepakatan para pendiri bangsa, yang sila pertamanya berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Menurut Rizieq Shihab, isi Pancasila yang diusulkan Soekarno sama sekali berbeda dengan Piagam Jakarta, yang kemudian tidak dipakai oleh para perumus Piagam Jakarta, yang di antaranya terdiri dari para ulama.

Bahkan, katanya, demokrasi yang digagaskan Soekarno masuk di dalam Pancasila itu tidak dipakai para ulama, karena di dalam Islam tidak dikenal demokrasi, yang dikenal adalah musyawarah, maka itu ditolak oleh para ulama, dan diubah dan dijadikan sila keempat: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

(Tetapi, sekarang, dia ngotot untuk terus menghimpun massa secara besar-besaran untuk melakukan unjuk rasa dengan thema “Bela Islam III,” pada 2 Desember nanti, dengan mengatasnamakan demokrasi).

Rizieq Shihab juga mengatakan, gagasan dasar negara Soekarno itu justru menempatkan “Ketuhanan” di urutan paling buntut (sila kelima). Tentu saja, gagasan itu ditolak oleh para ulama. Ketuhanan harus di urutan pertama, tidak boleh di urutan terakhir. Soekarno dan Bung Hatta pun kalah berdebat dengan para ulama, maka itu sila Ketuhanan pun ditempatkan di urutan pertama.

"Pancasila-nya Soekarno, Ketuhanan ada di pantat, sedangkan Pancasila Piagam Jakarta, Ketuhanan ada di kepala," kata Rizieq Shihab.

Pernyataan Rizieq inilah yang membuat salah satu putri Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri, pada 27 Oktober 2016, melaporkan Rizieq ke Bareskrim Polri, dengan tuduhan Rizieq telah menghina Pancasila dan menghina Soekarno sebagai proklamator dan presiden pertama RI.

Dalam orasinya itu, Rizieq menyebutkan bahwa Pancasila Piagam Jakarta itu dirumuskan oleh para pendiri negara ini yang selesai dirumuskan pada 22 Juni 1945, lalu dibawa ke sidang pleno BPUPKI yang diselenggarakan dari tanggal 1 sampai dengan 10 Juli, hasilnya semua sepakat secara aklamasi bahwa Piagam Jakarta adalah dasar negara Republik Indonesia. Semua tanda tangan, baik dari kebangsaan, kelompok Islam, maupun Kristen.

Tetapi, kemudian, secara diam-diam, tanpa sepengetahuan para ulama yang turut menyusun Piagam Jakarta itu, (oleh kelompok nasionalis dan Kristen) frasa: “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”dihapus, dan diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.

Oleh karena Pancasila yang sekarang bukan Pancasila yang asli, kata Rizieq Shihab, maka sekarang adalah kewajiban umat Islam untuk memperjuangkan kembalinya Pancasila Piagam Jakarta itu. Sehingga demikian Hukum Islam dapat diberlakukan di Indonesia.

Pernyataan Rizieq Shihab ini juga diulangi oleh Juru Bicara FPI, Munarman, pada sebuah pidatonya, di Masjid Al-Furqan, Kramat, Jakarta Pusat, diunggah di You Tube pada 13 November 2016.

“Pancasila yang Sekarang adalah Buah dari Pengkhianatan ... ”

Di pidatonya itu, Munarman menyebutkan bahwa Pancasila yang sekarang sesungguhnya merupakan buah dari hasil pengkhianatan pertama terhadap umat Islam saat Indonesia merdeka, karena semula sila pertama Pancasila yang aslinya memuat kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter), dihapus secara sepihak tanpa diketahui oleh ulama-ulama yang ikut merumuskankannya.

Apakah pernyataan Rizieq Shihab dan Munarman itu sesuai dengan fakta sejarah? Khususnya pernyataan mereka yang menyebutkan Pancasila yang sekarang bukan Pancasila yang asli, bahwa Pancasila yang sekarang merupakan buah dari pengkhianatan pertama terhadap umat Islam setelah Indonesia merdeka, dan bahwa  frasa: “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di Piagam Jakarta itu dihapus, dan diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dilakukan secara diam-diam (oleh kelompok nasionalis dan Kristen), tanpa sepengetahuan ulama-ulama yang turut merumuskan Piagam Jakarta itu?

Pernyataan kedua tokoh FPI itu sama saja dengan menyatakan sejak Indonesia merdeka sampai sekarang ini, Pancasila sebagai dasar negara kita yang kita pakai adalah dasar negara dari hasil suatu pengkhianatan!

Fakta sejarahnya adalah justru Pancasila yang sekarang ini pernah beberapakali hendak dikhianati: Oleh mereka yang ingin mendirikan negara khilafah berdasarkan hukum Islam, seperti Kartosuwiryo, dan DI/TII Kahar Muzakar, maupun mereka yang ingin menjadikan negara ini menjadi negara komunis (PKI).

Tetapi semuanya gagal karena saktinya Pancasila, yang senantiasa dikawal oleh seluruh rakyat, TNI, dan Polri.

Sekarang ini, muncul lagi kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan isu SARA di Pilgub DKI Jakarta 2017 yang ingin menguji lagi kesaktian Pancasila dengan berencana melakukan makar dan mengubah Pancasila dengan ideologi kekhilafan untuk mendirikan negara berdasarkan hukum Islam.

Gejala ini bukan hanya sekadar isu yang beredar di masyarakat, tetapi sudah beberapakali dinyatakan oleh Presiden Jokowi sendiri, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

Di dalam pernyataannya yang terbaru di Mabes Polri, pada Senin (21/11/2016) Kapolri mengatakan, Polri telah mengetahui adanya rapat-rapat yang mengskenariokan unjuk rasa 25 November dan/atau 2 Desember akan ditindaklanjuti dengan menduduki Gedung DPR/MPR untuk melakukan suatu aksi makar.

Sedangkan Panglima TNI mengatakan, jika sampai ada makar, maka itu bukan lagi menjadi urusan Polri saja, tetapi juga TNI. TNI siap berjihad membela Pancasila dan NKRI.

Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo telah berkali-kali mengatakan siapa saja yang ingin mengubah Pancasila, merusak kebhinneka-tunggal-ika, memecahbelah bangsa ini, mengancam keutuhan NKRI, akan berhadapan dengan prajurit-prajurit Polri dan TNI, serta segenap masyarakat.

Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, misalnya, seusai mengikuti istighosah bersama puluhan ulama, anggota majelis taklim, dan tokoh masyarakat Sumatra Utara di Medan, Sabtu (19/11), mengatakan:

“ ... Tidak ada satu pun pengkhianat-pengkhiant bangsa yang bisa hidup di negara ini! Nggak ada! Yang mau nantang, silakan! DI/TII, Kahar Muzakar, komunis, semuanya nggak bisa! Karena apa? Karena kita semua senantiasa berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.”

“Kalau demo, demo-demo yang biasa, tertib. Memang itu kan menyampaikan pendapat. Tapi, kalau sudah merusak, kalau sudah makar, berhadapan dengan saya dan prajurit saya, dan Polri. Prajurit saya juga siap berjihad mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, bersama-sama seluruh komponen masyarakat. Kita berjihad bersama-sama mempertahankan negara. Jangan ada yang ditakuti, Allah Subhanahu wa ta’ala bersama-sama dengan kita!”

Dua Panglima pengawal Pancasila dan NKRI: Jenderal Tito Karnavian dan Jenderal Gatot Nurmantyo (Sumber: Puspen TNI)
Dua Panglima pengawal Pancasila dan NKRI: Jenderal Tito Karnavian dan Jenderal Gatot Nurmantyo (Sumber: Puspen TNI)
Kembali ke pernyataan Rizieq Shihab dan Munarman tersebut di atas.

Kita pakai logika sederhana saja, jika benar frasa: “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada Piagam Jakarta itu dihapus secara diam-diam tanpa sepengetahuan para ulama yang ikut merumuskannya, masuk akalkah saat para ulama itu mengetahuinya mereka hanya mendiamkannya saja?

Kesaksian Mohammad Hatta

Fakta sejarahnya adalah penghapusan frasa tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu dihapus berdasarkan kompromi antara tokoh-tokoh pendiri negara Republik Indonesia dari kelompok tokoh Islam/ulama yang toleran dengan kelompok nasionalis, Kristen, dan non-Islam lainnya, demi persatuan dan kesatuan bangsa yang baru merdeka ketika itu.

Piagam Jakarta dirumuskan pada 22 Juni 1945 oleh sebuah panitia yang beranggotakan sembilan orang (Panitia Sembilan), lalu diplenokan di BPUPKI, dan disetujui.

Semula teks Piagam Jakarta itu dimaksud untuk dibacakan sebagai teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tetapi tidak jadi, lalu dijadikan sebagai Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, setelah berdasarkan kompromi antara para perumusnya, bagian tentang kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu ditiadakan, dan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Proses perubahan tersebut ditulis sendiri oleh salah satu pelaku sejarahnya langsung, tokoh proklamator Republik Indonesia, sekaligus Wakil Presiden pertama Republik ini: Mohammad Hatta.

Kompromi tersebut terjadi ketika tokoh-tokoh masyarakat dari daerah-daerah mayoritas Kristen mengajukan keberatan dengan bunyi Piagam Jakarta itu, karena meskipun hanya berlaku bagi pemeluk Islam, tetapi tetap saja sebagai dasar negara, hal tersebut dinilai diskriminatif. Apabila Piagam Jakarta tetap dipertahankan, mereka dari kalangan non-muslim akan memilih pisah dari negara yang baru sehari saja diproklamsikan itu.

Kompromi demi persatuan dan kesatuan bangsa itu ternyata dihasilkan dari suatu rapat para tokoh Islam/ulama, Kristen dan nasionalis yang hanya berlangsung selama sekitar 15 menit.

Dalam buku otobiografinya yang berjudul: “Untuk Negeriku: Menuju Gerbang Kemerdekaan,” Penerbit Buku Kompas, cetakan keempat, 2014, Mohammad Hatta menulis kisah tersebut, sebagai berikut (kutipannya):

Toleransi Para Pemimpin Islam

Karena begitu serius rupanya, esok paginya, tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodemedjo, dan Mr. Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakatuntuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ket-Tuhanan Yang maha Esa.” Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut pada waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan Indonesia.

Pada waktu itu kami menginsafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantikannya dengan “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Dalam negara Indonesia yang kemudian memakai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat dimajukan sebagai rencana undang-undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara begitu, lambat laun terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem syariat Islam yang teratur dalam undang-undang, berdasarkan Al Quran dan hadis, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang. Orang tidak perlu mengambil saja dari syariat Islam yang berlaku dahulu di negeri-negeri Arab dalam abad ke-8, ke-9, atau ke-10 yang ada waktu itu sesuai pula dengan keadaan masyarakat di situ. ....

...

Buku otobiografi Mohammad Hatta (Bung Hatta) (foto: milik penulis)
Buku otobiografi Mohammad Hatta (Bung Hatta) (foto: milik penulis)
Dari uraian Mohammad Hatta sebagai salah satu pelaku sejarah langsung peristiwa maha penting itu, kita mengetahui bahwa sejak awal berdirinya negara kita ini, para pendirinya sudah sangat sadar bahwa negara yang baru diproklamasikan itu terdiri dari beraneka ragam suku, agama, etnis, dan golongan (pluralisme).

Negara ini bukan didirikan dan milik satu golongan saja, oleh karena itu harus mampu mengakomodasikan, menghormati, dan melindungi semua golongan. Hanya dengan itu persatuan dan kesatuan bangsa dan negara ini tetap bisa dipertahankan.

Hal tersebut terjamin dengan ditetapkan suatu dasar negara yang mencakup semua golongan tersebut, yang dinamakan Pancasila itu.

Oleh karena itu dengan jiwa yang besar demi persatuan dan kesatuan bangsa, para tokoh pendiri negara ini khususnya dari tokoh-tokoh Islam (ulama)  bersikap toleran dan berkompromi dengan tokoh-tokoh nasionalis dan Kristen untuk menghilangkan frasa tentang kewajiban menjalankan syariat Islam itu menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” tersebut, sehingga dasar negara yang bernama Pancasila itu tidak diskriminatif.

Dari kesaksian langsung pelaku sejarah, salah satu pendiri NKRI ini, yang ikut merumuskan konsep final Pancasila, Mohammad Hatta, terbukti penghilangan frasa  “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang kemudian membentuk Pancasila seperti sekarang ini justru terjadi berkat kesepakatan para ulama yang mementingkan persatuan dan kesatuan NKRI yang baru merdeka ketika itu.

Sangat tidak benar, bahkan menyesatkan, pernyataan Rizieq Shihab dan Munarman yang mengatakan perubahan tersebut disembunyikan dari para ulama, dan merupakan pengkhiataan pertama terhadap umat Islam.

Patut diduga, mereka sengaja mengdokrinasi massa dengan informasi sejarah yang salah tersebut demi memperoleh dukungan massa militan sebanyak-banyaknya demi mendukung mereka mencapai cita-citanya mengganti Pancasila yang sekarang dengan Piagam Jakarta, agar alasan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dapat diwujudkan.

Pancasila Harus Sesuai dengan Budaya Bangsa Indonesia

Padahal, seperti yang dikatakan Mohammad Hatta, dihilangkannya frasa “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” itu juga tidak berarti umat Islam Indonesia tidak dapat lagi menjalankan syariat Islam berdasarkan undang-undang negara, karena ketentuan mengenai syariat Islam itu dapat dibuat dalam bentuk undang-undang, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat di Indonesia, bukan di Arab di abad ke-8, ke-9, atau ke-10.

Makna dari kalimat terakhir Mohammad Hatta ini juga mengisyratkan bahwa sejak Republik ini merdeka, para pendirinya juga menyadari bahwa hukum negara ini meskipun bernafaskan agama tetap kehidupan sehari-hari warga negaranya harus sesuai dengan keadaan negaranya sendiri, harus sesuai dengan adat istiadat dan budaya asli Indonesia, bukan budaya asli Arab. Arab tidak identik dengan Islam.

Misalnya, oleh karena budaya Indonesia mempunyai busana nasionalnya, seperti batik, maka sebaiknya dalam kehidupan sehari-hari, atau pada hari-hari perayaan nasional tertentu kita melestarikannya, dengan mengenakan busana Batik, memakai kopiah, pakaian adat, dan lain-lain.

Dari uraian fakta sejarah tersebut di atas, kita pun menjadi tahu, kenapa Piagam Jakarta yang memuat Pancasila dengan sila pertama: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,”itu kemudian oleh para pendiri negara ini diubah dengan menghapuskan tujuh kata tersebut, sehingga menjadi seperti sekarang: Ketuhanan Yang maha Esa, yang berlaku bagi semua agama yang ada di Indonesia.

Peran Soekarno

BPUPKI dibentuk pada 29 April 1945, sebagai reaksi dari janji Jepang (PM Koiso) yang akan memerdekakan Indonesia. Anggotanya dilantik pada 28 Mei 1945, dan mulai bersidang pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945.

Pada kesempatan itu ada tiga orang tokoh utama pergerakan nasional yang berpidato menyampaikan gagasannya seperti apa dasar negara yang akan digunakan jika Indonesia merdeka, yaitu:

Mohammad Yamin, berpidato pada 28 Mei 1945, Soepomo pada 31 Mei, dan Soekarno pada 1 Juni 1945.

Dalam pidatonya itu Soekarno menggagaskan lima sila sebagai dasar negara dengan nama Pancasila, yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme; Mufakat, Perwakilan, dan permusyawaratan; 4. Kesejahteraan Sosial; 5. Ketuhanan.

Dari sini diketahui bahwa dalam Pancasila gagasan Soekarno itu, juga menyebut mengenai mufakat, perwakilan, dan musyawarah. Jadi, tidak benar orasi Rizieq Shihab di atas, yang mengatakan Soekarno hanya menggagaskan mengenai demokrasi, yang kemudian ditolak para ulama, diganti dengan musyawarah mufakat. Musyawarah mufakat sudah merupakan bagian dari gagasan Soekarno tentang Pancasila.

Ironisnya, Rizieq bilang, demokrasi tidak sesuai dengan Islam, tetapi dia saat ngotot tetap mengerahkan massa untuk unjuk rasa pada 2 Desember 2016, dia memperkuat argumennya dengan mengatasnamakan hak demokrasi pihaknya untuk menyampaikan pendapat.

BPUPKI membentuk sebuah panitia kecil untuk membahas rumusan akhir dasar negara berdasarkan pidato ketiga tokoh itu terutama sekali gagasan dari Soekarno itu. Panitia kecil  itu lalu membentuk sebuah tim lagi yang terdiri dari sembilan orang (oleh karena itu disebut juga Panitia Sembilan) untuk menjalankan tugas tersebut.

Mereka terdiri dari: Soekarno (Ketua), Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Mohammad Yamin, KH. Wahid Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, dan Alexander Andries Maramis.

Alexander Maramis adalah satu-satunya wakil Kristen di panitia perumus dasar negara itu.

(baca isi pidato lengkap Soekarno tentang Pancasila di hadapan BPUPKI, pada 1 Juni 1945, di sini).

Panitia ini menyusun suatu naskah yang semula dimaksud untuk dibacakan saat proklamasi Indonesia tiba, tetapi tidak jadi, lalu dijadikan Pembukaan UUD 1945, yang di dalamnya berisi Pancasila dengan sila-silanya sebagai berikut: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Naskah Pembukaan UUD 1945 inilah yang semula disebut Piagam Jakarta.

Pancasila Piagam Jakarta itu bertahan terus sampai menjelang disahkan  pada 18 Agustus 1945, lalu muncullah keberatan kelompok Kristen dari berbagai daerah terhadap sila pertama yang memuat tujuh kata tentang syariat Islam itu.

Lalu, Mohammad Hatta mengumpulkan kembali anggota Panitia Sembilan, termasuk tokoh Islam (ulama) untuk berbicara selama sekitar hanya 15 menit tentang masalah yang maha penting itu, dan seperti yang sudah disebutkan di atas, demi pengakuan terhadap pluralisme, dan demi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara yang baru memproklamasikan kemerdekaan itu, semua tokoh sepakat untuk menghilangkan tujuh kata tentang syariat Islam itu.

Kesaksian Mohammad Hatta tentang Pentingnya Peran Soekarno atas Lahirnya Pancasila

Betapa pentingnya peran Soekarno di dalam perumusan dasar negara Pancasila itu juga ditulis dengan lugas oleh Mohammad Hatta di buku otobiografinya itu, yang saya rangkum menjadi sebagai berikut:

Pada Mei 1945 dibentuk suatu panitia dengan nama Panitia Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan anggota sekitar 60 orang. Ketuanya adalah dr. Radjiman Wediodinigrat.

Pada 29 Mei 1945 sidang panitia pertama kali dibuka oleh dr. Radjiman Wediodinigrat dengan pidatonya yang ringkas, ia mengajukan pertanyaan kepada semua anggota panitia: negara yang akan kita bentuk ini, apa dasar negaranya?

Sebagian besar anggota tidak mau menjawab pertanyaan itu karena khawatir akan menimbulkan pertikaian filosofis.

Pada hari ketiga sidang, terjadi perdebatan cukup tajam antara golongan yang ingin mendirikan negara Islam dengan golongan yang ingin negara yang bebas dari pengaruh agama. Hanya Soekarno yang menjawab pertanyaan Ketua Radjiman.

Pada 1 Juni 1945, Soekarno pidato selama sekitar satu jam, dengan inti pembicaraan mengenai Pancasila. Pidato itu disambut dengan tepuk tangan yang riuh. Hal itu dianggap sebagai suatu persetujuan.

Ketua Radjiman mengangkat suatu panitia kecil yang di dalamnya duduk semua aliran: Islam, Kristen, dan mereka yang dianggap ahli konstitusi, untuk merumuskan kembali pokok-pokok pidato Sukarno itu.

Panitia kecil itu menunjukkan sembilan orang di antara mereka untuk merumuskankembali pidato Soekarno yang kemudian diberi nama Pancasila.

Menurut Soekarno, kelima sila itu urutannya adalah: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Perikemanusiaan; Demokrasi; Keadilan Sosial; Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari gagasan Soekarno itu, Panitia Sembilan yang diketuai oleh Soekarno juga merumuskan Pancasila menjadi sebagai berikut:

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama, sebagai sila yang mempersatukan seluruhnya. Sila kedua diganti menjadi sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila ketiga disebut Persatuan Indonesia, untuk menegaskan kepada orang-orang Jepang bahwa Indonesia mau bersatu, tidak mau dibagi-bagi, sila keempat itu adalah sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, sila kelima ialah sila Keadilan Sosial.

Sampai pada ketika adanya kelompok Kristen dan non-Islam lainnya yang menyampaikan keberatannya terhadap bunyi sila pertama tentang syariat Islam dari Piagam Jakarta itu, yang diselesaikan dengan sangat bijaksana, penuh toleransi dan kompromo demi persatuan dan kesatuan NKRI yang baru merdeka itu, dengan menghilangkan tujuh kata pada sila tersebut sebagaimana sudah disinggung di atas.

Dari uraian sejarah tersebut di atas, dapat diketahui bahwa hubungan antara Piagam Jakarta dengan Pancasila yang sejak Indonesia merdeka telah dijadikan dasar negara itu adalah bahwa Piagam Jakarta adalah rumusan awal dari para pendiri bangsa ini untuk dijadikan dasar negara, kemudian dalam perkembangannya menjelang pengesahannya, para pendiri bangsa ini sadar sepenuhnya bahwa negara yang baru mereka bentuk itu terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, agama, etnis, dan antargolongan (plularis), oleh karena itu dasar negara yang digunakan juga harus bebas dari diskriminatif, yang hanya berlaku bagi satu golongan tertentu saja, sekalipun ia mayoritas. Maka itu dengan dasar pemikiran yang sangat bijaksana, toleran, dan kompromi, para pendiri bangsa ini, termasuk dari para ulama, sepakat menghapuskan tujuh kata dari sila pertama yang ada di Piagam Jakarta itu.

Ironisnya, sekarang, kelompok-kelompok seperti dari FPI itu ingin mengembalikan sejarah bangsa ini kembali ke titik nol, dengan membawa kembali Piagam Jakarta itu.

**

Dari tulisan kesaksian Mohammad Hatta, yang adalah salah satu dari para perumus Pancasila yang bahan utamanya berasal dari pidato Soekarno itu, terlihat betapa dia begitu menghargai peran penting Soekarno atas lahirnya Pancasila menjadi sebagaimana kita kenal sekarang ini.

Mohammad Hatta saja mengakui peran penting Soekarno dengan lahirnya Pancasila itu, sekarang kok ada seorang yang bernama Rizieq Shihab, yang selalu merasa dirinya paling benar, di atas hukum, begitu beraninya mengkerdilkan dan melecehkan peran Soekarno dengan lahirnya Pancasila itu.

Belum lagi peran sentral Soekarno yang bersama Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia: Soekarno-Hatta. Dan oleh para pendiri bangsa begitu dipercaya dan dihargai sehingga secara aklamasi memilihnya sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Soekarno adalah pahlawan besar, yang berjuang melawan penjajah sampai dengan berhasil memproklamasikan kemerdekaan NKRI, ia dengan segala pengorbanan dan segala kekurangannya sebagai manusia berjasa besar mempersatukan dan menjaga kesatuan bangsa ini yang disebut NKRI di bawah naungan Pancasila.

Kini, setelah 71 tahun NKRI tetap bisa bertahan karena kesaktian Pancasila, masih saja ada bangsa sendiri yang terus mencoba menggerogoti landasan negara tersebut dengan ingin melakukan makar, dan mengubah ideologi negara tersebut.

Maka, benarlah apa yang pernah dikatakan Soekarno: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri.”

Lebih sulit, namun berkat kepimpinan negarawan seperti Presiden Jokowi, dan pengawal Pancasila yang sedemikian setianya, seperti Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan segenap masyarakat Indonesia, maka kita tak perlu takut Pancasila dan NKRI tetap sakti adanya. *****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun