Rasa dengki tingkat tinggi terekspresi dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon ketika melihat keakraban yang sangat cair antara Presiden Jokowi dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, saat Jokowi meninjau lokasi proyek Light Rail Transit (LRT) dan MRT, Jumat, 30 September 2016.
Kedengkian itu pasti akan bertambah-tambah jika Fadli Zon melihat akun Twitter resmi Jokowi.
Pada Jumat (30/9/2016) malam itu Jokowi menulis sendiri di akun Twitter-nya (tanda “Jkw” – berarti ditulis sendiri oleh Jokowi) tentang kegiatannya meninjau kedua proyek itu:
"Perkembangan Proyek LRT Cibubur-Cawang dan MRT Lebak Bulus-Bund HI sangat cepat. Kita harapkan 2018 dan 2019 selesai -Jkw," tulis Jokowi, disertai dengan empat buah foto kegiatannya itu, yang salah satunya adalah foto saat dia berdua saja dengan Ahok di terowongan MRT.
“Sudah bukan rahasia lagi bahwa Jokowi di belakang Ahok sehingga diduga kasus-kasus yang jelas-jelas merugikan negara hingga kini belum ditindaklanjuti," kata Fadli, Jumat (30/9/2016) malam (Kompas.com).
Karena harapan mereka KPK menetapkan Ahok sebagai tersangka itu sirnah, sebab meskipun mendapat tekanan-tekanan yang luar biasa, termasuk unjuk rasa dan intimidasi anarkis, KPK tetap dapat bekerja secara profesional, dengan hasil penyelidikannya bahwa memang tidak ditemukan bukti adanya unsur korupsi dalam kasus-kasus yang dituduhkan kepada Ahok itu, maka lawan-lawan politik dan para pembenci Ahok, seperti Fadli Zon itu pun frustrasi dan murka, lalu mengarang cerita fitnah tentang Jokowi yang melindungi Ahok dari KPK itu. Mereka tidak hanya mengfitnah Jokowi, tetapi juga KPK (yang difitnah bisa dipengaruhi oleh Jokowi).
Jadi, sesunggunya yang melecehkan lembaga tinggi negara seperti KPK itu bukan Ahok, tetapi justru orang-orang yang selama ini menuduh Ahok demikian, seperti Fadli Zon, dan Amien Rais.
Apakah kalau Jokowi mendukung Ahok itu merupakan sesuatu yang salah, sejauh itu tidak diikuti dengan hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenangnya?
Jokowi mengetahui benar siapakah yang paling layak memimpin Ibu Kota, yang selama masa jabatannya itu akan selalu berkorelasi dan bersinergi dengannya: korelasi dan sinergi yang sangat penting, yang wajib ada antara kepala pemerintahan daerah di Ibu Kota (gubernur DKI Jakarta) dengan kepala pemerintahan pusat (Presiden RI) demi dapat berjalan lancarnya semua program-program kerja Presiden.
Kalau korelasi antara daerah Ibu Kota dengan Pusat berjalan tidak baik, terganggu, karena tidak adanya kesamaan pandangan, tidak adanya kesamaan visi dan misi, dan tidak adanya kesamaan filosofi kerja, maka dapat dipastikan program-program kerja Presiden dapat terganggu pula. Apalagi ketika Gubernur-nya berasal dari parpol-parpol yang sejatinya merupakan oposisi dari Presiden, yang selama ini kerap mementang program-program kerja dan kebijakan-kebijakan Presiden.
Potensi gangguan korelasi tersebut berpeluang terjadi jika yang memimpin DKI Jakarta itu adalah Anies Baswedan-Sandiaga Uno, atau Agus Yudhoyono-Sylvia Murni.
Anies tak cocok dengan Jokowi dalam bekerja, maka itu Jokowi mencopotnya dari jabatannya sebagai Mendikbud. Apalagi sekarang, ketika ia telah berbalik bersekutu dengan kubu “musuh bebuyutan” Jokowi sejak Pilpres 2014 itu; Prabowo Subianto/Gerindra termasuk di dalamnya dengan Fadli Zon.
Sedangkan di balik Agus Yudhoyono ada sang ayah: SBY, Partai Demokrat dan koalisinya, yang kerap mengkritik dan mengemukakan ketidaksetujuannya dengan kebijakan, program dan cara kerja Jokowi, baik lewat akun Twitter-nya, maupun di dalam dunia nyata. Jika Agus menjadi gubernur DKI Jakarta, maka hampir dapat dipastikan ia akan berada di bawah pengaruh kekuasaan SBY.
Jika Anies, dan Agus yang gubernur, mereka akan lebih berat untuk menjalankan visi dan misi Prabowo, atau SBY, daripada visi dan misi Jokowi.
Hubungan sangat baik Jokowi dengan Ahok, baik secara pribadi, maupun kedinasan sudah cukup lama terjadi, mereka berdua pernah berpasangan memimpin DKI Jakarta, sehingga mudah untuk saling memahami.
Jokowi sudah mengetahui luar-dalamnya Ahok, yang meskipun berbeda karakter, namun visi dan misinya sama, cara kerjanya juga sama, tidak ingin berlama-lama dalam teori, laporan-laporan, rapat-rapat, dan sebagainya, tetapi langsung tancap gas langsung kerja. Bahkan saat ini pun sebagian besar kerja Ahok merupakan kelanjutan dari program kerja Jokowi ketika dia menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Dalam situasi dan kondisi korelasi seperti itu, lalu kenapa tidak kalau Jokowi lebih suka mendukung Ahok untuk gubernur DKI jakarta 2017-2022, daripada Anies Baswedan, maupun Agus Yudhoyono, meskipun secara formil pihak istana selalu menyatakan Jokowi dalam kedudukannya sebagai Presiden bersikap netral .
Lagipula kenapa Fadli Zon mempermasalahkan Jokowi mendukung Ahok, padahal sebelumnya justru Gerindra yang mengklaim Jokowi lewat Menteri Sekretaris Negara Pratikno telah menyatakan dukungannya terhadap Anies Baswedan?
Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Puyono, yang mengatakan bahwa pada malam hari sebelum keputusan Gerindra dan PKS mengusung Anies Baswedan, Pratikno telah secara diam-diam melakukan pertemuan tertutup dengan Prabowo di Kartanegara, kediaman Prabowo.
Menurut Arief, kedatangan Pratikno yang diutus Jokowi untuk menemui Prabowo itu bukan untuk menghalang-halangi Anies maju sebagai calon gubernur DKI, tetapi sebaliknya, untuk menyatakan dukungannya kepada Anies. Jadi, Jokowi itu mendukung Anies, bukan Ahok.
"Justru sebaliknya, kedatangan Pak Pratikno ke Kertanegara untuk mendukung Pak Anies dan itu pesan dari Pak Jokowi. Pak Jokowi dukung Anies karena berutang banyak pada Pilpres 2014," ujar Arief Puyono, pada 28 September 2016.
Benarkah Pratikno secara diam-diam telah melakukan pertemuan dengan Prabowo Subianto di kediaman Prabowo itu terkait mendukung Anies di pilgub DKI Jakarta 2017, sebagaimana diakui oleh Arief Puyono itu?
Pratikno dengan tegas telah menyangkal pengakuan Arief itu.
Pratikno mengatakan dia tak pernah bertemu dengan Prabowo di malam hari itu, maupun kapan pun juga. Dia mengaku tidak kenal dan tidak pernah bertemu dengan Prabowo. Pratikno menganggap tuduhan petinggi Gerindra tersebut termasuk tuduhan yang serius, ia juga tidak tahu apa maksud dan motif tuduhan tersebut dilontarkan Gerindra ke publik, meskipun demikian ia tak ingin memperpanjang masalahnya.
"Saya sebenarnya tidak kenal secara personal dengan Pak Prabowo sama sekali. Saya juga masih mengingat-ingat apakah saya pernah bertemu beliau atau tidak. Rasanya tidak. Waktu di Bogor, kebetulan saya tidak mendampingi Presiden," kata Pratikno di ruangan pers Istana, Jakarta, Rabu (28/9/2016) (Kompas.com).
Kenapa petinggi Gerindra itu sampai mengarang cerita seperti itu? Kalau bukan saking ingin Anies didukung oleh Jokowi, apakah alasan lainnya?
Setelah doa jahatnya agar KPK menangkap Ahok tidak dikabulkan Tuhan, mungkin saja Fadli Zon akan berdoa lagi, agar Jokowi tidak jadi mendukung Ahok, melainkan mendukung Anies Baswedan. Sebab kalau Jokowi mendukung Anies itu tidak apa-apa, bahkan sangat didambakannya.
Anies Baswedan tentu juga mengharapkan dukungan dari Jokowi itu, tetapi, apakah mungkin?
Jawabannya pasti tidak mungkin, karena Jokowi tidak mungkin mendukung pihak yang pernah oleh Anies sendiri disebutkan sebagai proxy dari beberapa mafia, di antaranya yang paling utama mafia migas (Muhammad Reza), dan mafia impor daging sapi (PKS). *****
Artikel terkait:
Ketika Rini Soemarno Menjadi “Obat Nyamuk” Dwi-Tunggal Jokowi-Ahok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H