Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demi Jabatan Gubernur, Anies Baswedan Berubah?

27 September 2016   22:21 Diperbarui: 27 September 2016   22:37 7726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan, majunya dia sebagai calon gubernur DKI Jakarta bukan atas keinginan dia, tetapi atas keinginan Partai Gerindra (Prabowo Subianto) dan PKS. Apalagi, sebagaimana dia katakan di Tempo, hasil survei terakhir dari Poltracking Indonesia menunjukkan elektabilitasnya yang tinggi.

Ambisi Kekuasaan

Dengan kata lain, Anies mau bilang bahwa sebetulnya ia bukan orang yang haus kekuasaan, ia sebenarnya tak punya ambisi menjadi gubernur DKI Jakarta, tetapi karena diminta oleh Gerindra dan PKS, maka ia terima.

Padahal, jika benar tak punya ambisi, meskipun diminta oleh siapapun, bukankah ia bisa menolaknya? Seperti Budi Waseso yang meskipun diberi kesempatan beberapa parpol untuk dicalonkan, ia menolaknya, dengan mengatakan lebih suka tetap menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) daripada ikut berburu jabatan gubernur DKI Jakarta.

Kalau belum apa-apa sudah mulai dari berpura-pura seolah-olah tak punya keinginan berkuasa (menjadi gubernur DKI Jakarta), padahal sangat ingin, bukankah itu berarti Anies Baswedan mulai bertransformasi menjadi politikus pragmatis dan hipokrit?

Ambisi adalah sesuatu yang netral dan dibutuhkan, karena hanya dengan ambisi seseorang bisa bekerja dengan keras dan sungguh-sungguh untuk mencapai maksud dan tujuannya. Tanpa ambisi, seseorang akan bekerja tanpa semangat atau dengan setengah hati.

Ambisi berkuasa akan menjadi positif, jika ambisi memperoleh kekuasaan itu adalah semata-mata demi kepentingan rakyat. Dengan jabatannya sebagai gubernur itu ia akan mengabdi sepenuhnya kepada rakyat agar mereka bisa hidup sejahtera.

Ahok mengatakan terus terang ia memang ingin (berambisi) menjadi gubernur DKI Jakarta lagi, supaya bisa melanjutkan pengabdiannya kepada warga DKI Jakarta, agar bisa melanjutkan program-program kerjanya untuk membuat otak, perut, dan dompet warga Jakarta penuh.

Ambisi akan menjadi negatif, jika ambisi memperoleh kekuasaan itu demi kepentingan parpol pengusungnya, demi kepentingan dirinya sendiri dan keluarganya ketimbang untuk rakyat; jabatan gubernur dianggap sebagai prasarana untuk memperoleh nikmatnya berkuasa dan/atau untuk memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya secara melawan hukum  alias korupsi.

Setiap orang berhak  berambisi menjadi kepala daerah di mana pun, termasuk menjadi gubernur DKI Jakarta, dan berupaya untuk mencapai ambisinya itu. Asalkan memang dirinya punya kapabilitas dan kapasitas untuk itu, dan berlandaskan niat dan motivasi yang positif untuk kepentingan rakyat banyak, serta diraih dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum dan sportif.

Berbicara tentang ambisi kekuasaan, bukankah Anies Baswedan juga pernah punya ambisi menjadi presiden RI, yaitu ketika Partai Demokrat membuka konvensi calon presiden pada 2013 untuk Pilpres 2014? Anies yang ketika itu masih rektor Universitas Paramadina langsung mendaftar, bersaing dengan 11 kandidat utama lainnya, seperti Dahlan Iskan dan Gita Wirjawan.

Jadi, soal ambisi berkuasa bukan hal yang baru bagi Anies.

(merdeka.com)
(merdeka.com)
Pengkritik Keras Prabowo

Setelah hasil konvensi calon presiden Partai Demokrat itu tidak jelas juntrungannya, Anies pun hengkang dari kubu Demokrat, lalu bergabung dengan Jokowi menjadi juru kampanyenya di Pilpres 2014.

Saat menjadi juru kampanye Jokowi inilah Anies beberapakali mengecam langkah-langkah politik Prabowo Subianto, terutama saat kampanye Pilpres 2014.

Salah satu kritik keras Anies kepada Prabowo ketika itu adalah tentang cara Prabowo mensosialisasikan dirinya kepada publik melalui iklan-iklan di beberapa stasiun televisi dalam rangka menuju dan selama kampanye Pilpres 2014, yang dilakukan sejak beberapa tahun sebelumnya.

"Kita tahu siapa Prabowo karena sudah beriklan selama 6 tahun di televisi terus-menerus. Cara berpolitik dengan biaya luar biasa mahal, tidak membuat politik menjadi lebih sehat," adalah salah satu kritik Anies kepada Prabowo (29 Mei 2014).

Menurut Anies, uang dalam jumlah besar untuk beriklan itu seharusnya sudah bisa dialokasikan untuk bantuan pendidikan dan kesehatan.

"Tentu efeknya akan berbeda. Orang akan melihat ini sebagai pemimpin yang ideal," ujar Anies (Tribunnews.com).

Selain itu, Anies juga pernah menuduh program Prabowo-Hatta Rajasa di kampanye Pilpres 2014 mencontek visi dan misi Jokowi-JK.

"Peniruan itu berarti sama dengan pengakuan dari kehebatan Jokowi-JK," kata Anies di Hotel Golden Tulip Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 26 Juni 2014.

Anies juga pernah bilang, ia meragukan ketegasan sikap dan prinsip Prabowo dengan progam kerja yang dilontarkannya jika menjadi presiden.

"Kalau Pak Prabowo misalnya tegas soal perekonomian, yang bener tuh yang mana? Ekonomi yang mau open pada market Internasional atau mau nasionalistik tertutup. Retoriknya nasionalis tertutup, tapi ketika diskusi bicaranya terbuka. Di mana tegasnya?" kritik Anies lagi setelah menghadiri sebuah diskusi dengan tema tentang siapa pemenang Pilpres 2014, di Hotel Haris, Jakarta, 29 Juni 2014.

Bahkan di dalam suatu kesempatan di saat kampanye Pilpres 2014, di Hotel Holiday Inn, Bandung, 3 Juli 2014, Anies juga pernah mengingatkan rakyat Indonesia bahwa kubu Prabowo-Hatta diduga diusung oleh sejumlah partai politik yang dibekingi oleh mafia, seperti mafia migas (Petral),  impor daging sapi (PKS), haji, pengadaan Alquran (PPP), dan lumpur Lapindo (Golkar). 

 "Sebab kami jelas akan menuntaskan persoalan tersebut, masyarakat harus bisa membedakannya," kata Anies ketika itu (republika.co.id).

Berubah 180 Derajat

Sikap Anies terhadap Prabowo masih terus berlaku sampai pada detik ketika Prabowo Subianto membuka pintu peluang kepadanya untuk masuk melalui Partai Gerindra bersama PKS menuju kursi DKI-1. Tanpa banyak pertimbangan lagi, Anies Baswedan menyatakan kesediaannya. Apalagi ia baru saja kecewa berat karena dicopot Presiden Jokowi dari jabatannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Seketika itu pulalah sikap Anies pun berubah seratus delapan puluh derajat terhadap Prabowo Subianto, tentu karena yang bersangkutan bisa jadi punya jasa besar menghantarkan dia menduduki kursi DKI-1, dan siapa tahu inilah jalan juga menuju RI-1?

Ada isu yang mengatakan bahwa Jokowi mencopot Anies karena dia mengendus ternyata diam-diam Anies memanfaatkan jabatannya itu untuk menggalang kekuatan pendukungnya untuk agenda pribadinya di Pilpres 2019.

Apakah benar begitu? Kita tidak tahu.  

Tetapi, yang pasti Jokowi tidak mungkin mencopotseseorang, termasuk  Anies yang nota bene adalah salah satu anggota tim suksesnya di Pilpres 2014 begitu saja tanpa alasan yang kuat, sedangkan soal prestasi kerjanya sebagai Mendikbud adalah cukup bagus.

Ada juga analisis yang mengatakan Anies dicopot dan diganti dengan Muhadjir Effendy oleh Jokowi itu dikarenakan Jokowi mendapat tekanan politik pihak tertentu, yang membuat dia akhirnya tak berdaya, terpaksa menuruti keinginan mereka, mencopot Anies digantikan dengan Muhadjir.

Analisis ini pun lemah, karena kekuatan politik apakah yang bisa sedemikian kuat bahkan lebih kuat daripada PDIP yang mampu membuat Jokowi menuruti keinginan mereka (mencopot Anies diganti dengan Muhadjir)? Sedangkan keinginan PDIP (Megawati) agar Jokowi menunjuk Budi Gunawan menjadi Kapolri saja ditolak Jokowi.

Iming-Iming Kekuasaan Mampu Meruntuhkan Idealisme

Iming-iming kursi gubernur DKI Jakarta yang diberikan Prabowo kepada Anies, ternyata mampu membuat Anies berubah sikap 180 derajat seketika itu juga terhadap Prabowo/Gerindra. dari semula penentang dan pengkritik keras Prabowo sebagaimana disinggung di atas, menjadi “anak buah” Prabowo, "kader baru" Partai Gerindra.

Maka, dari kritik keras, dan kecaman kepada Prabowo pun berubah menjadi puji-pujian kepada Prabowo/Gerindra.  

Kata Anies, dia bersedia dicalonkan Gerindra dan PKS dikarenakan di matanya Gerindra dan PKS adalah dua parpol yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, Pancasila dan UUD 1945, dan punya komitmen tinggi menciptakan Jakarta yang lebih baik.

Perlu diingat pula bahwa sampai saat ini Gerindra dan PKS merupakan dua parpol sisa KMP yang tetap bertahan sebagai pihak oposisi, yang senantiasa berseberangan dengan politik pemerintahan Presiden Jokowi.

Sampai saat masih sebagai Mendikbud, Anies termasuk di dalam kubu Jokowi, bahkan jika ia memang sungguh-sungguh seorang yang memegang teguh prinsipnya, setelah tidak menjadi bagian dari pemerintahan Presiden Jokowi pun seharusnya pandangan dia terhadap kubu lawan Jokowi itu tidak akan berubah, terutama karena di antara mereka terdapat landasan ideologi yang berbeda.

Faktanya tidak seperti itu.

(http://hadiay-sellambe.blogspot.co.id/)
(http://hadiay-sellambe.blogspot.co.id/)
Iming-iming kekuasaan memang dapat mempengaruhi seseorang, dari yang sebelumnya penuh dengan idealisme tinggi berubah menjadi seorang yang pragmatis dan hipokrit, sehingga perbedaan ideologis pun bukan masalah untuk bersekutu dengan pihak yang sebelumnya menjadi lawannya, asalkan bisa meraih kekuasaan yang didambakan.

Tentang pernyataan Anies bahwa visi dan misi Gerindra sama dengan visi dan misinya, dan bahwa Gerindra dan PKS merupakan dua parpol yang menjunjung tinggi demokrasi, Pancasila dan UUD 1945, selain bertentangan dengan perspektif Anies saat masih bersama dengan Jokowi, juga sesungguhnya tidak sesuai dengan fakta sejarah yang pernah terjadi.

Bahkan, baru-baru ini juga Prabowo mengeluarkan pernyataan kontroversialnya: “Siapa yang tidak mendukung Sandiaga Uno adalah antek asing!” Apakah sekarang menjadi: “Siapa yang tidak mendukung Anies dan Sandiaga adalah antek asing!”?

Demokrasi macam apa ini?

Gerindra dan PKS Pernah Merampas Kedaulatan Rakyat

Dua tahun yang lalu, September 2014 dunia perpolitikan Indonesia dibuat panas oleh Koalisi Merah-Putih (KMP), yaitu koalisi parpol-parpol pendukung pasangan capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang terdiri dari Gerindra (sebagai pimpinannya), PKS, Golkar, PPP, dan PAN, ketika mereka dengan kekuatan mayoritasnya di parlemen sempat berhasil mengubah sistem pilkada, dari langsung oleh rakyat menjadi oleh DPRD, sebelum akhirnya kembali ditaklekkan oleh kekuatan rakyat.

Merasa kalah dari rakyat, karena tidak bisa lagi mengatur dan menentukan kepala daerah sesuai dengan keinginan, kesepakatan, dan kepentingan mereka, apalagi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Prabowo Subianto terhadap hasil Pilpres 2014 yang dimenangkan Jokowi-JK, KMP pun berkonspirasi menyusun kekuatan di parlemen untuk mengubah Undang-Undang Pilkada dari sistem pemilihan langsung oleh rakyat menjadi kembali lagi dipilih oleh parpol-parpol di DPRD (dari pilkada langsung oleh rakyat, menjadi pilkada tidak langsung/oleh DPRD).

Demi memperjuangkan pelegalan perampasan hak kedaulatan rakyat, mengkhianati perjuangan reformasi dan UUD 1945, merusak sistem demokrasi yang semakin membaik, KMP benar-benar all-out menghalalkan segala cara agar ketentuan tersebut diloloskan di parlemen menjadi Undang-Undang. Semua suara rakyat, tokoh masyarakat, akademisi, pengamat politik, sampai dengan alim-ulama yang menyatakan penolakanmya sama sekali tidak digubris.

Salah satu tokoh pemrotes yang paling keras dan konsekuen ketika itu adalah kader Partai Gerinda yang juga adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Menilai partainya itu merusak sistem demokrasi dan mengkhianati kedaulatan rakyat, pada 10 September 2014 Ahok pun memutuskan keluar dari Gerindra.

Karena masa tugas anggota DPR periode 2009-2014 itu berakhir pada 30 September 2014, maka mereka melakukan rapat paripurna secara marathon sampai dini hari untuk mengejar target bahwa ketentuan sistem pilkada tidak langsung itu harus disahkan, sebelum berakhirnya masa tugas tersebut. 

Permainan sandiwara politik pun dijalankan di rapat paripurna DPR-RI antara KMP  dengan parpol penguasa ketika itu, Partai Demokrat, yang merupakan parpol pemilik kursi terbanyak, dan oleh karena itu merupakan partai penentu lolos-tidaknya revisi Undang-Undang Pilkada yang berisi ketentuan pemilihan pasangan kepala daerah ditentukan oleh DPRD tersebut.

Maka, pada 26 September 2014, pukul 2 dini hari, melalui akting walk-out sandiwara Partai Demokrat, Undang-Undang Pilkada 2014 pun berhasil disahkan dengan sistem kembali kepala daerah ditentukan oleh DPRD (baca selengkapnya intrik politik para penggarong hak kedaulatan rakyat itu di sini).

Unjuk rasa rakyat di Gedung DPR menentang upaya DPR mengubah sistem pilkada menjadi pilkada tidak langsung (calon pasangan kepala daerah dipilih oleh DPRD) (Kompas cetak, Sabtu, 27/9/2014),
Unjuk rasa rakyat di Gedung DPR menentang upaya DPR mengubah sistem pilkada menjadi pilkada tidak langsung (calon pasangan kepala daerah dipilih oleh DPRD) (Kompas cetak, Sabtu, 27/9/2014),
Namun di luar dugaan mereka, protes rakyat terhadap Undang-Undang Pilkada hasil kesepakatan para penggarong kedaulatan rakyat itu semakin gencar dan mencapai eskalasi tertingginya justru setelah Undang-Undang tersebut disahkan.

Tagar (hastag) #ShameOnYouSBY dan #RIPDemocracy pun menjadi trending topic dunia sampai berhari-hari, berbagai pernyataan protes pun terus-menerus mendesak Presiden SBY, membuat dia dengan terpaksa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengembalikan hak kedaulatan rakyat tersebut ke posisinya semula (calon pasangan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat).

Maka, pada 2 Oktober 2014, Presiden SBY dengan terpaksa menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang mencabut ketentuan pemilihan kepala daerah oleh DPRD menjadi kembali dipilih langsung oleh rakyat.

Pada 20 Januari 2015, DPR periode 2014-2019 pun menyetujui Perppu tersebut disahkan menjadi Undang-Undang Pilkada Nomor 1 Tahun 2015.

Sebelumnya, setelah merasa sukses meloloskan sistem pemilihan kepala daerah menjadi dipilih oleh DPRD, atas prakarsa Gerindra pula, KMP sempat menyampaikan hasratnya untuk mendorong pelaksanaan amandemen UUD 1945 dengan agenda mengubah sistem pemilihan presiden dari dipilih langsung oleh rakyat kembali menjadi dipilih oleh parpol-parpol di MPR.

Wacana yang dilontarkan KMP itu pun langsung mendapat penolakan keras publik, sehingga upayanya tak pernah dijalankan.

Dari rangkaian fakta sejarah tersebut di atas, bisakah kita membenarkan puji-pujian Anies Baswedan kepada Gerindra dan PKS tersebut di atas? *****

(Twitter)
(Twitter)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun