Setelah Ahok-Djarot melakukan pendaftaran di KPUD DKI (21 September 2016), sehari sebelum hari terakhir pendaftaran pasangan calon (22/9), malam hari, saat kelompok Prabowo Subianto sedang ngebut membahas siapa pasangan calon yang akan mereka usung di rumah Prabowo di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Yusril pun setor muka, menyambangi rumah Prabowo tersebut, tentu dengan harapan diusung.
Sedangkan di kubu SBY (Demokrat), Yusril sudah mendapat kepastian tak akan dipilih.
Kedatangan Yusril di saat-saat terakhir menjelang penetapan pasangan calon dari kubu Prabowo (Gerindra dan PKS) itu ternyata hanya untuk mendapat kepastian bahwa ia juga tidak diinginkan oleh Gerindra dan PKS, maka Yusril pun pulang dengan tangan hampa.
Dengan perasaan trenyuh Yusril pun menulis permintaan maaf kepada para pendukungnya karena gagal meyakinkan semua parpol untuk mengusungnya. Seharusnya Yusril juga minta maaf karena telah PHP (pemberi harapan palsu) kepada para pendukungnya itu.
Sebenarnya, Yusril itu tidak sadar bahwa sesungguhnya gebrakan-gebrakan dia untuk meyakinkan semua parpol agar mau mengusungnya itu justru memberi efek yang sebaliknya, melihat sikap Yusril yang begitu arogan, sampai seolah-seolah di atas parpol-parpol itu, membuat ketua-ketua umum parpol itu justru semakin enggan mengusungnya.
Sikap arogannya itu, misalnya, ditunjukkan saat ia pernah mengatakan bahwa siapapun calon gubernur DKI Jakarta dari PDIP, tidak akan bisa menang jika berhadapan dengannya. Jika PDIP berminat mengusungnya, maka dia hanya bersedia dicalonkan sebagai gubernur, bukan wakil gubernur (Tempo.co).
Contoh lain adalah sikapnya yang mendahului keputusan parpol-parpol yang diaharap akan mengusungnya yang saya sebutkan di atas, yaitu pada 16 September 2016 dia sudah menyatakan kepastian Demokrat, PKB, dan PPP akan mengdeklarasikan pengusungannya di antara tanggal 16-20 September 2016, padahal parpol-parpol itu sendiri tidak menyatakan demikian.
Namun, dari semua pertimbangan parpol-parpol tidak mau mengusung Yusril, pertimbangan yang paling utama adalah mereka melihat Yusril itu adalah Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), yang sedang mati suri, karena tidak mempunyai satu kursi pun di DPRD DKI, lalu kenapa mereka harus mengusung Yusril, yang jika ia menang justru berpotensi besar membuat PBB yang sudah mati suri itu bangkit kembali, dan bisa membesar lagi menjadi pesaing mereka?
Kalau “musuh” sudah mati suri, kenapa harus dibangkitkan kembali? Tentu, tidak akan ada parpol yang mau mengambil keputusan blunder dengan mengusung Yusril. Biarlah kematian suri PBB itu berlangsung terus, sampai akhirnya benar-benar mati selamanya.
Setelah Yusril “t.ko.”: kalah sebelum bertanding di Pilgub DKI 2017 itu, kini, bagaimanakah nasib warga Luar Batang, Jakarta Utara yang terancam terkena penertiban dari Pemprov DKI Jakarta, yang sempat menjadi obyek pencitraan dirinya dengan memberi pembelaan hukum probono kepada mereka. Apakah mungkin Yusril akan tetap setia meneruskan pembelaannya tersebut kepada mereka? Kita lihat saja nanti.
Ada yang berpendapat, meskipun tidak dipilih semua parpol, namun Yusril tetap berjiwa besar, dengan memberi ucapan selamat kepada pasangan calon Anies Baswedan – Sandiaga Uno, dan pasangan calon Agus Yudhoyono – Syviana Murni.