Di tahun 1960-an ketika Singapura baru merdeka, penduduknya 1,89 juta, sekitar 1,3 juta di antaranya miskin dan hidup di kawasan kumuh, termasuk di bantaran-bantaran sungai, atau di mana saja yang bisa digunakan untuk membangun pemukiman. Sampah pun dibuang sembarangan, termasuk di sungai-sungai, membuat sungainya penuh sampah, mirip meskipun tidak separah di Jakarta sebelum Ahok bergerak dengan pasukan oranyenya.
Saat PM Lee Kuan Yew hendak membangun Singapura mulai dari nol, bahkan minus, salah satu masalah terberatnya adalah sebagian besar rakyatnya yang masih miskin tersebut dengan berbagai masalah sosialnya. Hak rakyat atas tempat tinggal yang layak, pekerjaan dengan penghasilan yang pantas, dan kehadiran pemerintah belum ada.
Lee menyadari bahwa Singapura tidak mempunyai sumber daya alam yang bisa diandalkan untuk membangun Singapura seperti yang dicita-citakan, yakni membuat Singapura sebagai negara yang maju dan moderen, sebagai salah satu pusat perkenomian dan bisnis dunia, yang pasti membawa dampak kepada kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
Oleh karena itu cara yang terbaik adalah mengundang sebanyak mungkin investor asing untuk mau berinvestasi di Singapura dengan berbagai insentif, seperti di bidang perpajakan, dan jaminan kepastian hukum.
Selain insentif, Singapura juga harus membangun berbagai infrastruktur, jalan raya, prasarana angkutan massal, pelabuhan laut dan udara yang moderen, kawasan khusus sebagai pusat bisnis dan industri.
Selain itu, Singapura juga harus membangun pusat-pusat rekreasi yang unik sebagai obyek wisata yang menarik dunia, agar bisa memperoleh devisa pariwisata yang besar jumlahnya.
Agar Singapura akan terlihat hijau dan asri, maka kawasan hijau sekaligus daerah resapan air, dan taman-taman kota, daerah pesisir pantai pun direncanakan dibangun.
Namun kendala pelik yang dihadapi untuk mulai membangun perumahan yang layak huni, pusat bisnis, infrastruktur, pelabuhan laut dan udara, taman-taman kota itu justru salah satunya adalah lahan-lahan yang sudah dijadikan pemukiman kumuh tersebut di atas.
Untuk keperluan itu pemerintah Singapura pun membangun pulau seluas sekitar 500 kilometer persegi (sebelum melakukan reklamasi) menjadi kota taman, di atasnya dibangun apartemen atau rumah-rumah susun yang representatif, dilengkapi dengan prasarana pendidikan dan kesehatan, dengan prinsip setiap keluarga harus punya rumah dengan lingkungan yang bersih dan higinis.
Setelah pembangunan kawasan pemukiman selesai dibangun, di bawah kekuasaan Lee Kuan Yew yang sangat tegas dan tanpa kompromi menjurus pada otoriter, semua penduduk di kawasan pemukiman kumuh itu pun mulai direlokasi ke sana.
Lahan-lahan bekas pemukiman kumuh itu pun disediakan untuk membangun berbagai prasarana dan sarana, infrastruktur, taman kota, dan seterusnya untuk diubah menjadi kawasan pusat bisnis, perekonomian, dan obyek wisata kelas dunia.
Untuk keperluan tersebut Lee Kuan Yew mendirikan Housing and Development Board (HBD), yang di kala itu dipimpin oleh Liu Thai-Ker, seorang arsitek penata negara kota itu. Dialah yang berjasa besar mendesain pembangunan dan tata kota Singapura menjadi seperti sekarang, maka itu di Singapura dia dikenal dengan sebutan “bapak penata kota Singapura.”
Setelah 20 tahun di HDB, Liu Thai-Ker yang kini berusia 78 tahun itu dipercaya menjadi CEO dan kepala Perencana Kota di Urban Re-Development Authority (URA) Singapura. Di sini ia bertanggung jawab untuk melanjutkan pembangunan penataan negara kota seluas 719,1 kilometer persegi itu bisa mempersiapkan diri menghadapi pertambahan penduduk hingga 10 juta jiwa, atau dua kali lipat dari jumlah sekarang ini.
Untuk alasan itu, penting bagi pemimpin di manapun untuk belajar tentang pembangunan kawasan urban. Terlebih saat ini pertumbuhan kota-kota di dunia begitu cepat. Dalam 10-20 tahun ke depan, lebih dari 50 persen penduduk dunia akan hidup di perkotaan.
Pimpinan kota, juga negara, harus selalu rendah hati sehingga mau terus belajar membangun kota yang baik. “Namun pemimpin harus juga bisa sangat rasional. Kebenaran adalah otoritas terbesar yang harus didengar pemimpin, terlebih kebenaran yang menyangkut hajat hidup orang warganya.”
Dengan prinsip-prinsip itu, Singapura banyak dicap orang luar sebagai negara otoriter, akan tetapi otoriter itu dilakukan dengan alasan yang jelas (wawancara Kompas dengan Liu, dimuat di harian Kompas, Senin, 5 September 2016).
Demikianlah sekilas Singapura di masa 1960-an sampai dengan 1980-an saat dalam progres penataan kotanya, termasuk di dalamnya saat melakukan relokasi terhadap pemukiman-pemukiman kumuh yang berada di beberapa lokasi, kemudian mengtransformasi lokasi-lokasi bekas pemukiman kumuh itu menjadi pusat bisnis, rekreasi, dan lain-lain.
Pembangunan kawasan khusus bisnis, ekonomi, rekreasi, dan lain-lain itu juga menyerap tenaga kerja yang sangat banyak, mulai dari level terendah (buruh, cleaning service) sampai dengan tertinggi (direksi). Para tenaga kerja itu juga banyak yang tinggal di kawasan-kawasan pemukiman yang sejak dulu sudah disediakan itu, yang meliputi kawasan rumah susun yang didukung oleh prasarana infrastruktur dan transportasi massal yang sangat mendukung, terutama MRT.
Contoh kawasan yang dahulunya merupakan pemukiman kumuh di bantaran sungai, pelabuhan perdagangan tradisional yang penuh dengan perahu-perahu kayu yang biasanya disebut bumboats, dengan sampah yang memenuhi air sungai adalah kawasan Clarke Quay, Esplanade dengan Queen Elizabeth Walk-nya, dan Marina Bay di pusat kota, setelah mengalami transformasi yang begitu hebat berubah menjadi salah satu obyek wisata yang paling terkenal di dunia.
Di Marina Bay sebuah waduk yang disebut Marina Barrage yang dibangun di mulut teluk, antara Marina bagian timur dan Marina bagian Barat, yang secara resmi mulai dibuka pada 1 November 2008, yang selain merupakan reservoir kelima belas yang dimiliki Singapura, juga menjadi kawasan wisata yang paling diminati.
Marina Barrage menampung air laut ke dalam waduk yang kemudian diolah menjadi air tawar, menyuplainya ke rumah-rumah penduduk, hotel, dan perkantoran, juga merupakan sarana pengendalian banjir.
Di lokasi yang tak jauh dari situ, pada 2010 juga dibuka obyek wisata terbaru dan termoderen yang dimiliki Singapura, yaitu Marina Bay Sands, meliputi hotel, pusat belanja, restoran, kasino, museum, taman, teater, pertemuan, pameran, dan skypark. Dikembangkan oleh Las Vegas Sands, dan merupakan investasi tunggal paling mahal di dunia dengan biaya S$8 miliar (sekitar Rp.56 triliun).
Berikut ini adalah beberapa foto yang menggambarkan Singapura tempo dulu (1960-1980-an), ketika penataan kotanya masih semrawut, dengan pemukiman kumuhnya di beberapa lokasi, termasuk di bantaran sungai, dan sungai-sungai yang penuh sampah, mirip dengan Jakarta sekarang ini (yang sedang dalam proses ke arah seperti Singapura di bawah kepimpinan Ahok):
Bedanya apa yang dilakukan oleh Lee Kwan-Yew tidak mendapat perlawanan dan pertentangan sehebat apa yang dialami oleh Ahok sekarang.
Para elit politik yang seharusnya memberi pengertian kepada warga yang direlokasi, dan mendukung proses penataanulang tata kota Jakarta oleh Ahok itu, justru memprovokasi warga untuk melawan, dan berusaha dengan segala cara agar proses pembangunan penataan ulang kota Jakarta Ahok itu gagal total.
Mereka malah memanfaatkan kemiskinan warga, berusaha agar warag tetap tinggal "mengakusisi" tanah negara, tetap hidup dalam kemiskinan dan di tempat-tempat kumuh seperti itu agar bisa setiap saat dimanfaatkan demi kepentingan politiknya.
Jadi, kita tinggal pilih saja, mau melihat kelak Jakarta bisa seperti Singapura, ataukah malah tambah jorok, kotor, penataan kotanya yang semakin amburadul, kemacetan dan banjir yang tiada akhir. *****
Artikel terkait:
Kalau Tidak Menggusur, Bagaimana Bisa Menata Kembali Jakarta yang Amburadul
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H