Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dampak Hukum dan Politik Kasus Arcandra Tahar

16 Agustus 2016   23:26 Diperbarui: 4 April 2017   17:22 3181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arcandra Tahar diwawancarai wartawan seusai dilantik sebagai Menteri ESDM di Istana Negara, 27 Juli 2016 (sumber: sekab.go.id)

Sudah dapat dipastikan bahwa mantan Menteri ESDM Arcandra Tahar sempat mempunyai dwikewarganegaraan atau bipatride, yaitu kewarganegaraan Indonesia dan Amerika Serikat. Sedangkan Indonesia tidak mengenal bipratride.

Menurut Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:

  • Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.
  • Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain.
  • Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing yang masih berlaku dari negaralain atas namanya.

Sedangkan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI, menentukan:

Warga Negara Indonesia dengan sendirinya kehilangan kewarganegaraannya karena:

  • Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.
  • Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain.
  • Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.
  • Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing yang masih berlaku dari negara lain.

Dalam kasus Arcandra Tahar, diketahui ia secara aktif melalui proses naturalisasi di Amerika Serikat telah memperoleh kewarganegaraan negara tersebut pada 2012.

Selain itu, ia juga diketahui telah memperoleh paspor negara Amerika Serikat atas namanya.

Dengan demikian unsur bipatride telah dipenuhi oleh Arcandra Tahar, maka berdasarkan ketentuan hukum tentang kewarganegaraan tersebut di atas, dengan sendirinya Arcandra sudah kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya.

Dalam hal ini keputusan Menteri Hukum dan HAM sebagai pihak yang berwenang memberi dan mencabut kewargangeraan Indonesia seseorang berdasarkan hukum yang berlaku tetap diperlukan, tetapi hanya berupa penegasan kepastian hukum berkaitan dengan administrasi hukum (lihat Pasal 34 ayat 3 PP Nomor 2 Tahun 2007).

Menteri Hukum dan HAM tak punya wewenang untuk menentukan apakah Arcandra Tahar kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya ataukah tidak. Karena, sekali lagi, secara hukum dengan sendirinya dalam kasus ini Arcandra sudah kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya, begitu dia atas kemauannya sendiri memperoleh kewarganegaraan Amerika Serikat, dan juga sudah punya paspor negara tersebut.

Argumen yang menyatakan Arcandra masih WNI karena dia masih memegang paspor Indonesia yang masih berlaku sampai dengan 2017, sama sekali tidak relevan, karena selain mengabaikan ketentuan hukum kewarganegaraan tersebut di atas, juga memang bisa saja saat ia menerima kewarganegaraan Amerika Serikat itu paspor Indonesia-nya masih ada di tangannya dan secara formil masih berlaku, tetapi sebetulnya secara hukum ia sudah kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya.

Untuk kepastian hukum tentang status seseorang yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia yang dengan demikian kehilangan juga hak dan kewajibannya sebagai WNI seperti yang terjadi pada Arcandra inilah diperlukan surat keputusan Menteri Hukum dan HAM sebagaimana dimaksud di atas.

Demikian juga halnya dengan, jika benar, kabar yang menyebutkan bahwa sebelum dilantik sebagai Menteri ESDM, ia sudah melepaskan kewarganegaraan Amerika Serikat-nya, hal tersebut sama sekali tidak membuatnya lalu kembali menjadi WNI.

Kasus Arcandra Tahar ini menjadi sangat serius dan pelik secara hukum dan politik, ketika dalam statusnya tersebut ia malah dilantik sebagai Menteri ESDM oleh Presiden Jokowi, pada 27 Juli 2016. Padahal Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, khususnya Pasal 22 ayat 2 mewajibkan hanya WNI yang boleh diangkat sebagai menteri.

Disebutkan kasus Arcandra ini merupakan masalah hukum dan politik yang sangat serius dan pelik, karena secara hukum bisa dikatakan Presiden Jokowi telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Kementerian Negara, karena telah mengangkat dan melantik seorang WNA sebagai menteri.

Meskipun hal tersebut dapat saja diperdebatkan dengan “menimpa kesalahan” kepada pihak yang bertanggung jawab terhadap administrasi negara terkait dengan identitas dan latar belakang seseorang yang akan diangkat sebagai seorang menteri. Namun tetap saja kesalahan fatal ini bisa menjadi suatu kekalutan di bidang hukum ketatanegaraan dan implikasinya.

Masalah hukum lainnya adalah bagaimana dengan nasib keputusan-keputusan yang telah dibuat oleh Arcandra selama 20 hari ia menjadi Menteri ESDM, seperti keputusannya yang memberi izin perpanjangan ekspor konsentrat kepada Freeport.

Apakah pelantikan dia sebagai Menteri ESDM itu menjadi tidak sah karena adanya pelanggaran terhadap Pasal 22 ayat 2 Undang-Undang tentang Kementerian Negara, dan jika tidak sah jabatannya itu, maka dengan demikian apakah secara otomatis semua keputusannya sebagai Menteri ESDM itu juga tidak sah atau dianggap tak pernah ada?

Sedangkan secara politik, kesalahan fatal Presiden ini berpotensi dijadikan makanan empuk bagi lawan-lawan politiknya untuk menyerangnya, terutama di DPR, dengan mengusulkan penggunaan Hak Interpelasi untuk meminta penjelasan Presiden tentang latar belakang dan alasan Presiden memilih dan mengangkat Arcandra sebagai Menteri, dan kenapa bisa sampai kecolongan seperti itu.

Untungnya, Jokowi sudah berhasil merangkul dua parpol yang punya peran cukup penting di parlemen, yang sebelumnya merupakan parpol oposisi, yaitu Golkar dan PAN, sehingga kemungkinan diadakan Hak Interpelasi itu mengecil.

Namun bagaimanapun dampak kecerobohan para pembantunya ini akan menjadi beban politik dan psikologis bagi Jokowi, untuk beberapa waktu ke depan bisa jadi hal ini akan mengganggu konsentrasi kerjanya, ditambah lagi dengan beban pikiran harus segera menjadi pengganti Arcandra sebagai menteri ESDM yang baru.

Untuk mencegah terjadinya kecerobohan-kecerobohan yang fatal seperti ini, maka sebaiknya Jokowi juga mengevaluasi para pembantunya, khusunya mereka yang yang bertanggung jawab atas terjadinya insiden fatal ini. *****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun