Demikian juga halnya dengan, jika benar, kabar yang menyebutkan bahwa sebelum dilantik sebagai Menteri ESDM, ia sudah melepaskan kewarganegaraan Amerika Serikat-nya, hal tersebut sama sekali tidak membuatnya lalu kembali menjadi WNI.
Kasus Arcandra Tahar ini menjadi sangat serius dan pelik secara hukum dan politik, ketika dalam statusnya tersebut ia malah dilantik sebagai Menteri ESDM oleh Presiden Jokowi, pada 27 Juli 2016. Padahal Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, khususnya Pasal 22 ayat 2 mewajibkan hanya WNI yang boleh diangkat sebagai menteri.
Disebutkan kasus Arcandra ini merupakan masalah hukum dan politik yang sangat serius dan pelik, karena secara hukum bisa dikatakan Presiden Jokowi telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Kementerian Negara, karena telah mengangkat dan melantik seorang WNA sebagai menteri.
Meskipun hal tersebut dapat saja diperdebatkan dengan “menimpa kesalahan” kepada pihak yang bertanggung jawab terhadap administrasi negara terkait dengan identitas dan latar belakang seseorang yang akan diangkat sebagai seorang menteri. Namun tetap saja kesalahan fatal ini bisa menjadi suatu kekalutan di bidang hukum ketatanegaraan dan implikasinya.
Masalah hukum lainnya adalah bagaimana dengan nasib keputusan-keputusan yang telah dibuat oleh Arcandra selama 20 hari ia menjadi Menteri ESDM, seperti keputusannya yang memberi izin perpanjangan ekspor konsentrat kepada Freeport.
Apakah pelantikan dia sebagai Menteri ESDM itu menjadi tidak sah karena adanya pelanggaran terhadap Pasal 22 ayat 2 Undang-Undang tentang Kementerian Negara, dan jika tidak sah jabatannya itu, maka dengan demikian apakah secara otomatis semua keputusannya sebagai Menteri ESDM itu juga tidak sah atau dianggap tak pernah ada?
Sedangkan secara politik, kesalahan fatal Presiden ini berpotensi dijadikan makanan empuk bagi lawan-lawan politiknya untuk menyerangnya, terutama di DPR, dengan mengusulkan penggunaan Hak Interpelasi untuk meminta penjelasan Presiden tentang latar belakang dan alasan Presiden memilih dan mengangkat Arcandra sebagai Menteri, dan kenapa bisa sampai kecolongan seperti itu.
Untungnya, Jokowi sudah berhasil merangkul dua parpol yang punya peran cukup penting di parlemen, yang sebelumnya merupakan parpol oposisi, yaitu Golkar dan PAN, sehingga kemungkinan diadakan Hak Interpelasi itu mengecil.
Namun bagaimanapun dampak kecerobohan para pembantunya ini akan menjadi beban politik dan psikologis bagi Jokowi, untuk beberapa waktu ke depan bisa jadi hal ini akan mengganggu konsentrasi kerjanya, ditambah lagi dengan beban pikiran harus segera menjadi pengganti Arcandra sebagai menteri ESDM yang baru.
Untuk mencegah terjadinya kecerobohan-kecerobohan yang fatal seperti ini, maka sebaiknya Jokowi juga mengevaluasi para pembantunya, khusunya mereka yang yang bertanggung jawab atas terjadinya insiden fatal ini. *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H