[caption caption="Empat serangkai Geng STOP DPRD DKI Jakarta: (ki-ka) Ongen Sangaji, Selamet Nurdin, Prasetyo Edi Marsudi dan Mohamad Taufik (sumber: Tempo.co)."][/caption]
Di DPRD DKI Jakarta ada empat anggota seniornya yang punya pengaruh kuat terhadap para anggota DPRD DKI lainnya. Mereka dikenal di kalangan DPRD DKI Jakarta dengan sebutan: “Geng STOP” – akronim huruf depan nama mereka, yaitu Selamat Nurdin dari Fraksi PKS, Mohamad Taufik dari Fraksi Partai Gerindra, Mohamad Sangaji alias Ongen, dan Prasetio Edi Marsudi dari Fraksi PDIP.
Merekalah yang diduga selama ini menjadi koordinator bersama jika ada “proyek basah” di DPRD DKI, tak terkecuali dengan “proyek mega basah” reklamasi 17 pulau di pantai utara Jakarta.
Oleh karena itulah pada Desember 2015, pemilik properti raksasa Agung Sedayu Group (ASG), Sugianto Kusuma alias Agun mengundang empat serangkai ini datang ke rumahnya di Jalan Boulevard Pantai Indah Kapuk, di dekat pusat Budha Tzu Chi yang didirikannya, untuk membahas Raperda tentang reklamasi pantai utara Jakarta khususnya tentang upaya menurunkan nilai kontribusi tambahan pengembang dari 15 persen menjadi 5 persen. Perusahaan Agun, PT Kapuk Naga Indah, memegang izin reklamasi untuk 5 pulau di antara 17 pulau yang rencananya direklamasi. Ia keberatan karena 15 persen itu setara dengan Rp. 11,8 triliun. Ia meminta bantuan keempat serangkai DPRD DKI Jakarta itu untuk bisa mempengaruhi mayoritas anggota DPRD DKI untuk setuju dengan angka 5 persen tersebut.
Pertemuan itu bisa terjadi karena adanya peran anggota DPRD DKI dari Fraksi Partai Gerindra Mohamad Sanusi, yang kemudian ditangkap tangan KPK pada 31 Maret malam lalu. Antara Aguan dengan Sanusi memang sudah terjalin pertemanan sejak lama, yaitu sejak sekitar tahun 2004, saat mereka bekerja sama membangunan Thamrin City Mall, Jakarta Pusat.
Diduga dari pertemuan tersebut telah diperoleh kesepakatan di antara mereka bahwa Geng STOP setuju untuk mempengaruhi semua atau mayoritas anggota DPRD DKI agar mau mengubah angka kontribusi tambahan 15 persen yang berasal dari Pemprov DKI itu menjadi 5 persen, sesuai dengan kehendak pihak pengembang. Masing-masing anggota DPR DKI yang mau diajak “kerjasama” untuk meloloskan angka 5 persen itu akan mendapat imbalan Rp. 5 miliar. Uang hadir sekaligus uang muka juga disediakan sebesar Rp. 100 juta per orang, agar mau menghadiri agenda sidang demi terpenuhinya kuorum.
Itulah sebabnya di dalam konferensi persnya tentang penangkapan Sanusi tempo hari, pimpinan KPK mengatakan kasus Sanusi tersebut menunjukkan betapa swasta sudah sedemikan jauhnya mempengaruhi legislatif untuk membuat suatu peraturan yang menyangkut kepentingan umum. KPK mengatakan sudah mengendus, sedikitnya ada tiga kali distribusi uang suap kepada anggota-anggota DPRD DKI itu.
Sedangkan Sanusi dengan peran pentingnya itu, mendapat jatah yang lebih besar; berapa jumlah yang dijanjikan, belum diketahui, namun panjar sebesar Rp. 2 miliar lebih, sudah dialokasikan melalui perantara karyawan Agung Podomoro Land (APL). Penyerahan pertama Rp 1 miliar sudah dilakukan, sedangkan penyerahan yang kedua terkena operasi tangkap tangan KPK pada 31 Maret malam lalu. Terlibatnya pihak APL diduga karena di antara Agung Sedayu dengan APL ada terjalin kerjasama untuk menyuap para anggota DPRD DKI itu. Presiden Direktur APL Ariesman Widjaja, yang diduga yang menyuruh karyawannya menyerahkan uang suap itu pun sudah ditahan KPK sebagai tersangka penyuapan.
Diduga pula, dari hasil pembahasan Raperda Reklamasi di rumah Aguan itulah diputuskan jatah untuk sekitar 17-20 anggota DPRD DKI senior lainnya, termasuk M Taufik dan Prasetio, adalah berwisata bersama keluarga ke Amerika Serikat, Umroh, atau mobil Toyota Alphard.
Daftar para anggota DPRD DKI yang mendapat jatah tersebut sudah beredar luas di media sosial, tetapi belum ada konfirmasi atau klarifikasi kebenarannya, dan tentu saja, mereka yang namanya tercantum di daftar itu membantahnya.
Salah satu yang membantahnya adalah Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi. Dia mengaku memang pada akhir Desember 2015 lalu berlibur bersama keluarganya ke Amerika Serikat, tetapi itu semuanya murni atas biayanya sendiri.
Siapa yang benar? Baik kabar yang mengatakan para senior DPRD DKI itu sudah menerima gratifikasi tersebut, maupun mereka yang membantahnya, sama-sama belum menunjukkan buktinya.
Setelah pertemuan di rumah Aguan tersebut Geng STOP menghubungi Sanusi, menyampaikan hasil pertemuan dengan Aguan tersebut, lalu, Sanusi menghubungi staf khusus Ahok, Sunny Tanuwidjaja, untuk berbicara dengan Ahok agar Gubernur DKI Jakarta itu juga mau menurunkan angka kontribusi tambahan itu dari 15 persen menjadi 5 persen. Paling tidak, ketentuan tentang kewajiban kontribusi tambahan 15 persen oleh pengembang itu dihilangkan dari Raperda, dan dimasukkan ke Peraturan Gubernur (Pergub).
Tentang memasukkan ketentuan tersebut ke dalam Peraturan Gubernur, pada mulanya Ahok setuju, tetapi kemudian dia berubah pikiran, saat sadar bahwa usulan tersebut merupkan akal-akalan DPRD DKI. Maksudnya, jika ketentuan kewajiban konstribusi tambahan 15 persen itu dimasukkan ke Pergub, maka jika ternyata gubernur berikutnya bukan Ahok, tetapi gubernur yang selalu bisa diajak kompromi, maka gubernur pengganti Ahok itu akan bisa mencabut Pergub tersebut. Sedangkan jika tetap di Perda, untuk mengubahnya pasti jauh lebih sulit.
Ahok pun memutuskan tetap bertahan di angka 15 persen tersebut, sementara itu proses pembahasan tentang Raperda Reklamasi di DPRD DKI itu terus berlangsung.
Empat serangkai Geng STOP itu pun terus melakukan mobilisasi di DPRD DKI menggalang kekuatan untuk menurunkan angka kontribusi tambahan menjadi 5 persen tersebut. Hasilnya, pada draf terakhir raperda, angka 15 persen itu sudah tidak ada, berubah menjadi 5 persen. Draf itu lalu diserahkan kepada Ahok untuk dipelajari, dan tentu saja disetujui. Mungkin saja, M Taufik merasa setelah melalui rangkaian usaha mereka akhirnya akan berhasil mempengaruhi Ahok.
Saat membaca ketentuan yang telah diubah menjadi 5 persen itu, Ahok bukannya setuju, malah berang, ia mencoretnya, dan menulis disposisi: “Gila, kalau seperti ini, bisa pidana korupsi!”
\[caption caption="Draf Raperda yang mengubah angka kewajiban kontribusi tambahan dari 15 persen menjadi 5 persen dari DPRD DKI Jakarta yang dicoret Ahok, lalu menulis disposisi: Gila, kalau seperti ini, bisa pidana korupsi (18/3/2016) (Sumber gambar: Metrotvnews.com)"]
Dari rangkaian peristiwa yang saya beberkan di atas (berdasarkan berbagai sumber pemberitaan, di antaranya dari Koran Tempo), tidak kelihatan adanya keterlibatan Ahok. Mereka semua yang dikabarkan melakukan pertemuan-pertemuan tersebut di atas, yang diduga menyusun suatu konspirasi bersama agar Raperda Reklamasi khususnya tentang kontirubusi tambahan disesuaikan dengan keinginan pihak pengembang (ASG dan APL) tidak pernah mengajak atau melibatkan Ahok.
Padahal, seperti yang diakui oleh Sunny Tanuwidjaja, dan juga dibenarkan oleh Ahok, Ahok sering bertemu dengan Aguan, sebagaimana juga biasanya dengan pengusaha lainnya. Pertemuan-pertemuan seperti itu pada prinsipnya bukan suatu pelanggaran sepanjang tidak membicarakan perbuatan-perbuatan melanggar hukum, khususnya menyangkut jabatan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Misalnya, mempengaruhi Ahok untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan pihak pengusaha semata, dan merugikan kepentingan umum.
Tentu saat bertemu dengan Aguan, mereka berdua juga pernah berbicara tentang Raperda Reklamasi itu, tetapi tidak sampai menyimpang dari hukum. Ahok mengaku, Aguan juga pernah bilang kepadanya, bahwa Ahok salah hitung, angka 15 persen itu terlalu besar. Namun, Ahok bergeming. Buktinya, Ahok tetap bertahan dengan ketentuan yang sudah dia gariskan sejak semula tentang kontribusi tambahan 15 persen itu, sampai pada akhirnya tertangkap tangannya Sanusi saat menerima suap dari APL.
Kenapa Aguan dan atau pihak DPRD DKI, termasuk Geng STOP itu tidak mengajak Ahok sekalian dalam pertemuan-pertemuan mereka untuk mengubah ketentuan kontribusi tambahan 15 persen itu, termasuk pertemuan yang dilakukan di rumah Aguan di Pantai Indah Kapuk pada Desember 2015, sebagaimana disebutkan di atas itu? Karena mereka semua tahu, betapa kerasnya Ahok dalam mempertahankan keputusannya itu, mereka merasa percuma, atau mungkin sudah hampir frustrasi mempengaruhi Ahok agar mau menurunkan angka 15 persen itu menjadi 5 persen.
Aguan sendiri juga sudah merasa percuma bicara dengan Ahok, oleh karena itu dia hanya mengundang empat serangkai Geng STOP dari DPRD DKI Jakarta itu, karena hanya merekalah yang bisa diajak kompromi dan kerjasama, tentu saja dengan sejumlah imbalan. Aguan tahu, anggota-anggota DPRD DKI seperti empat serangkai Geng STOP itu sangat suka dengan duit. Apalagi nilai total mega proyek reklamasi yang mencapai puluhan triliun rupiah itu, tentu sangat menggiurkan untuk dijadikan obyekan mendapat penghasilan tambahan yang berlipat-lipat lebih besar daripada gaji mereka sebagai anggota DPRD DKI.
Maka itulah, Ahok pun “dikucilkan.” Hanya merekalah, yaitu pihak pengembang bersama pihak DPRD DKI yang selalu menjalin hubungan rahasia mereka. Sedangkan untuk menyampaikan keinginan mereka kepada Ahok mereka meminta bantuan Sunny Tanuwidja. Itu pun tetap saja gagal mempengaruhi Ahok.
Sunny sendiri pun hanya berani sebatas menyampaikan hal-hal apa yang ingin mereka sampaikan kepada Ahok. Dia tidak berani lagi menyampaikan pendapatnya sendiri, apalagi sampai mendukung pihak pengembang dan DPRD DKI itu. Ia sudah kapok berdebat dengan Ahok. Sunny mengaku Ahok tidak bisa dilobi.
Itu berdasarkan pengalamannya sendiri, ketika pernah berdebat dengan Ahok soal keinginan Ahok untuk menaikkan Upah Miniumum Provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar 40 persen. Ketika itu Sunny mencoba menyampaikan pendapatnya mewakili suara pihak pengusaha yang tidak setuju dengan kenaikan sebesar itu. Ia sempat berdebat dengan Ahok, tetapi lalu Ahok marah besar, sampai menggebrak meja di hadapannya. Sejak itu Sunny pun, kapok berdebat dengan Ahok, meskipun tetap menjadi perantara antara Ahok dengan pihak pengusaha untuk mengatur jadwal pertemuan mereka.
Kini, berawal dengan tertangkap tangannya Sanusi oleh KPK, satu per satu selubung korupsi suap reklamasi pun terkuak, termasuk peran empat serangkai dari DPRD DKI Jakarta itu, Geng STOP. Hal ini sudah hampir pasti akan menghentikan peran dan gerak mereka, yang bukan tak mungkin berakhir di penjara juga mengikuti jejak Sanusi.
Gerak Geng STOP pun stop sampai di sini saja. *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H