[caption caption="Yusron Ihza Mahendra (sumber gambar: Kompas.com)"][/caption] Mula-mula lawan-lawan politik Ahok berupaya keras menjatuhkan Ahok melalui kekuatan politik, hukum, dan menyerang pribadinya. Semua kemampuan sudah dikerahkan untuk itu, tetapi semua upaya tersebut selalu berujung kegagalan, bahkan beberapa di antaranya menjadi bumerang bagi mereka, seperti saat Ahok memutuskan ikut Teman Ahok melalui jalur perorangan, lalu beberapa parpol bereaksi dengan ramai-ramai hendak memanfaatkan rencana merevisi UU Pilkada 2015 dengan merevisi ketentuan tentang syarat calon perorangan menjadi jauh lebih sulit daripada sebelumnya.
Hal itu justru semakin mempertunjukkan kepada rakyat bagaimana karakter anti-aspirasi rakyat yang masih sangat kuat pada parpol. Mereka sama sekali tidak memperdulikan bahkan melawan aspirasi rakyat yang ingin memilih sendiri calon pimpinannya secara langsung, tidak lewat parpol.
Parpol bukannya mengintrospeksi dirinya masing-masing, tetapi, seperti biasa, justru melawan aspirasi rakyat, dengan hendak merevisi ketentuan yang semakin mempersulit majunya calon perorangan.
Gara-gara satu orang Ahok, parpol-parpol itu hendak mengubah sebuah ketentuan undang-undang yang nota bene berlaku di seluruh Indonesia semata-mata demi mengamankan kepentingan mereka!
Tak heran rencana busuk itu justru semakin membuat rakyat semakin antipati terhadap parpol, sebaliknya menjadi semakin simpatik kepada Ahok. Tak heran semakin banyak warga DKI yang justru beramai-ramai mendaftarkan KTP-nya ke Teman Ahok sebagai bentuk dukungan kepada Ahok agar bisa memenuhi syarat maju lewat jalur perseorangan itu.
Andalan mereka untuk menjatuhkan Ahok melalui jalur hukum, yakni kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras pun sudah hampir dapat dipastikan gagal. KPK sudah beberapa kali menyatakan, tidak ditemukan unsur pidana dalam pembelian lahan RS Sumber Waras itu.
Pernyataan resmi KPK yang terbaru tentang kasus ini datang dari Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Selasa, 29 Maret 2016. Alex mengatakan, sampai hari ini, KPK belum menemukan niat jahat oknum pejabat negara (unsur pidana) terkait pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta itu.
Fakta-fakta tersebut di atas semakin membuat lawan-lawan politik Ahok itu pun gelisah dan panik, tak tahu lagi harus menggunakan jurus apa yang bisa mengalahkan atau menjatuhkan Ahok. Sementara itu nafsu mereka untuk berkuasa menggantikan Ahok semakin membuncah. Hasrat untuk menggantikan Ahok dengan gubernur baru yang penuh pengertian, yang bisa diajak “tahu sama tahu” pun semakin menggebu. Tapi apa daya, Ahok justru semakin kuat.
Maka sebagian dari mereka pun menjadi gelap mata, tidak bisa lagi menahan diri untuk berkompetisi secara fair, maka segala cara pun dihalalkan. Mulai dari pemutarbalikkan fakta, memanipulasi berita, menyebarkan fitnah dan kebencian, dan yang mereka anggap paling ampuh dari semua itu adalah menyerang Ahok dengan senjata SARA: Ahok itu kafir Cina dan Kristen! Cina kafir haram hukumnya menjadi pimpinan (di DKI Jakarta)!
Rasisisme Yusron Ihza Mahendera
Kalau yang menyerang Ahok dengan cara-cara SARA hanyalah seorang musisi bernama Ahmad Dhani, yang baru-baru ini berkicau di akun Twitter-nya dengan mengatakan pemimpin non-Muslim itu sama dengan LGBT dan babi, boleh-bolehlah kita anggap saja itu ucapan orang frustrasi yang sedang korsleting otak kiri dan kanannya, karena antara nafsu menjadi gubernur DKi dengan kwalitas manusianya tidak sinkron.
Tetapi, tidak demikian halnya jika yang melemparkan provokasi SARA ke publik itu adalah seorang pejabat tinggi negara, apalagi yang mewakili negara di luar negeri, seperti yang baru-baru ini (28/3) dilakukan oleh Duta Besar Indonesia untuk Jepang, Yusron Ihza Mahendra, adik kandung dari Yusril Ihza Mahendra, yang merupakan bakal calon lawan Ahok di pilkada DKI 2017.
Demi keberpihakannya kepada kakaknya itu, dan menjatuhkan Ahok, Yusron berkicau di akun Twitter-nya, menyerang Ahok dengan senjata SARA, dengan secara tak langsung juga menyinggung pula kerusuhan anti-Cina yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998.
Dengan mengutip pernyataan dari seorang pensiunan Jenderal Bintang 3, Suryo Prabowo, -- yang adalah salah seorang anggota tim sukses Prabowo Subianto di Pilpres 2014, Yusron mengatakan Ahok jangan memerintah dengan arogan, kalau masih sayang dengan Cina-Cina yang baik, miskin, yang tidak bisa lari ke luar negeri jika ada kerusuhan anti-Cina.
1-Nasehat Jendral bintang 3 ini pantas direnungkan: Jika sayang dg etnis Cina yg baik, miskin & tdk bisa lari ke LN jika ada kerusuhan etnik
2- mk mohon Ahok tdk arogan dlm memerintah. Kasihan dg Cina2 lainnya yg miskin, baik & tdk salah jika mrk jd korban: http://www.posmetro.info/2016/03/ingatkan-ahok-suryo-prabowo-kalau.html?m=1 …
[caption caption="Twitter Yusron Ihza Mahendra"]
Man-teman ...
Terutama #TemanAhok
Kalau sayang dgn teman2 atau sahabat dari etnis Tionghoa, tolong diingatkan agar jangan ada etnis Tionghoa yg "sok jago" ketika berkuasa atau dekat dengan penguasa. Kesian kan Tionghoa lainnya yg baik2 dan/atau yg miskin, kalo ada yg mau mbantai atau menjarah, mereka kan gak bisa kabur ke luar negeri 😖
Tolong jaga Bhinneka Tunggal Ika dan sama-sama membangun HARMONI DALAM KEBERAGAMAN. 🙏
JSP
#SaveNKRI
[caption caption="Face Book Suryo Prabowo"]
Jika Ahok dianggap arogan, lalu kenapa harus semua etnis Tionghoa yang menanggung akibatnya, dibantai, dijarah, seperti kerusuhan Mei 1998?
Inilah strategi politik rezim Orde Baru di bawah kuasa diktator Soeharto dahulu, yang kerap mengorban etnis Tionghoa demi maksud dan tujuan politik tertentu, dengan menciptakan dan memelihara sentimen anti-Cina, yang masih tersisa sampai sekarang.
Jika ada suatu tujuan tertentu, atau ada persoalan negara yang berpotensi melemahkan kekuasaannya, maka salah satu cara untuk mengatasinya dilakukan dengan merekayasakan suatu bentrokan antara individu pribumi dengan Tionghoa. Lalu, datanglah provokar-provokator yang memanas-manasi situasi sampai meletuskan kerusuhan besar anti-Cina di kota tersebut.
Maka tak heran di masa kekuasaan Orde Baru, hanya gara-gara sepele, seperti senggolan, cekcok mulut antarwarga berlainan etnis itu, dengan mudah memicu kerusuhan anti-Cina, yang melumpuhkan satu kota selama beberapa hari berturut-turut. Satu Cina diangap salah, semua Cina harus menanggung akibatnya. Orang-orangnya dianiaya, toko-tokonya dijarah dan dibakar. Itulah lazim terjadi di era Orde baru, yang mencapai puncaknya di Jakarta, pada Mei 1998 (kerusuhan Mei 1998), yang ironisnya diikuti dengan jatuhnya rezim Soeharto.
Begitu rezim Soeharto jatuh, era reformasi dimulai, sejak itu pula wawasan masyarakat banyak pun semakin terbuka, dan maju. Demokrasi pun semakin berkembang. Semakin banyak rakyat yang bisa menerima perbedaan yang ada di masyarakat, baik itu perbedaan etnis, agama, bahasa, budaya, maupun lainnya. Semua dianggap mempunyai hak dan kewajiban yang sama di dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, selaras dengan dasar negara Pancasila.
Satu hal yang tampak nyata adalah begitu rezim Soeharto tumbang, sejak saat itulah sampai sekarang tidak pernah ada lagi kerusuhan anti-Cina, di kota mana pun. Semangat anti-Cina memang masih ada di dalam sebagian masyarakat, tetapi sudah tidak sampai meletuskan kerusuhan-kerusuhan anti-Cina sebagaimana lazim terjadi di era kekuasaan Presiden Soeharto.
Jangan Pandang Remeh
Sekarang, lawan-lawan politik Ahok, yang sudah kehabisan daya dan akal untuk mengalahkan Ahok secara fair, sebagian darinya tampaknya hendak menghidupkan kembali semangat sentimen anti-Cina seperti di era Orde Baru, agar bisa dimanfaatkan demi kekuasaan sebagaimana diterapkan oleh rezim Soeharto dahulu.
Meskipun pilkada DKI 2017 masih sekitar 10 bulan lagi, tetapi karena pemanasannya sudah dimulai dari sekarang, dengan terus memperlihatkan fenomena dukungan terhadap Ahok semakin lama semakin kuat, maka senjata provokasi SARA pun mulai digunakan oleh lawan-lawan tertentu Ahok.
Salah satunya dari kubu Yusril Ihza Mahendra, yang dimuali oleh adiknya, yang adalah Duta Besar Indonesia untuk Jepang, Yusron Ihza Mahendra, dengan kicauan rasisnya di akun Twitter-nya sebagaimana disebutkan di atas itu.
Provokasi rasis Yusron itu bisa saja ditafsirkan sebagai suatu strategi terselubung yang ditujukan kepada warga DKI Tionghoa untuk tidak memilih Ahok, nanti di pilkada DKI 2017 mendatang. Warga DKI Tionghoa ditanam rasa takutnya sejak sekarang, supaya tidak memilih Ahok, karena jika memilih Ahok yang arogan itu, maka silakan tanggung risikonya, yaitu jika pribumi marah, maka akan meletus kerusuhan anti-Cina seperti yang terjadi di kerusuhan Mei 1998 itu.
Jika warga DKI Tionghoa sebagian besar saja tidak pilih Ahok, maka peluang kemenangan Ahok akan banyak berkurang, begitulah mungkin logika pemikiran yang punya strategi politik kotor itu.
Yusron lupa dengan jabatannya sebagai pejabat tinggi negara, yang tidak boleh berpolitik praktis berpihak secara terbuka kepada salah satu kubu, sekalipun itu adalah kakak kandungnya sendiri. Apalagi dengan menggunakan isu rasisme.
Sebagai seorang duta besar Yusron mewakili negara Indonesia di luar negeri, khususnya Jepang. Dunia internasional pun bertanya-tanya, oh, ternyata, Indonesia punya duta besar rasis, ya? Padahal, katanya pemerintahnya anti-rasisme. Apakah pemerintah RI mendukung rasisme, sampai-sampai ada duta besarnya yang rasis dibiarkan begitu saja?
Tentu saja tidak!
Oleh karena itulah pemerintah RI, dalam hal ini Menteri Luar Negeri jangan memandang remeh masalah ini, perlu menjatuhkan suatu tindakan sanksi tegas terhadap Yusron Ihza Mahendra, tidak cukup dengan hanya suatu teguran atau peringatan saja.
Jika aksi Yusron itu ditoleransi, atau hanya diberi sanksi sekadarnya, kita pun patut mempertanyakan komitmen pemerintah untuk menghapuskan sentimen SARA di negeri ini, apalagi pelakunya sekelas duta besar. Jangan kaget, jika di kemudian hari ada duta besar atau diplomat luar negeri Indonesia lainnya yang akan ikut bermain politik pemilu, berpihak pada salah satu pihak, dengan memanfaatkan sentimen-sentimen SARA seperti ini.
Penjelasan Suryo Prabowo
Atas tudingan SARA terkait tulisannya di Face Book-nya itu, Suryo Prabowo telahmenguraikan secara lebih lengkap alasan mengapa dia menulis seperti itu.
Berikut salinannya secara lengkap dari Face Book-nya:
Saya pencinta NKRI ...
dan SAHABAT semua suku bangsa dan etnis WNI, termasuk TIONGHOA.
Itu diantaranya karena, almarhum ayah saya dan teman-temannya yg Tentara '45, dalam perang kemerdekaan melawan penjajah di Jawa Tengah, hampir seluruh logistiknya didukung oleh saudagar Tionghoa. Distribusi logistik TNI ketika beroperasi di Timor Timur pun sebagian besar menggunakan saudagar Tionghoa.
Tau gak kalau penduduk 'pribumi' yg menjadi karyawan Perusahaan milik warga Tionghoa jumlahnya jauh LEBIH BANYAK daripada PNS yg bekerja di kantor pemerintah. Jadi menurutku wajar bila saya tidak mau kalau warga TIONGHOA yg baik-baik jadi korban kelakuan orang-orang yg tidak bertanggung-jawab yg memprovokasi terjadi amuk massa.
Oleh sebab itu beberapa saat lalu saya mengingatkan (BUKAN MEMPROVOKASI) kepada ... entah itu #TemanAhok #KawanAhok atau siapapun PENCINTA #Ahok supaya menghentikan kampanye yg berbau SARA, dan menghentikan kampanye yg dgn arogan MENANTANG sistem POLITIK dgn mengadu anggota partai vs kelompok independen pendukung #Ahok. Kampanye kalian seperti itu justru MEMPROVOKASI terjadinya KONFLIK HORISONTAL antar kedua pihak yg pro dan kontra #Ahok.
Sekali lagi saya cuma MENGINGATKAN adanya ...
SKENARIO TERBURUK
yg mungkin bisa terjadi ...
Bila ditahun 2017 nanti Ahok terpilih jadi Gubernur DKI Jakarta. Sangat mungkin pendukungnya eforia, dan bisa jadi Ahok makin "sok jago". Bagaimana tidak ? Lha wong baru jadi gubernur karena dapat "muntahan" dari pak Jokowi yang jadi presiden saja, dia sudah sok jago seperti sekarang.
Situasi seperti itu bisa membuat "pribumi" dan kelompok muslim marah. Lalu terjadi akumulasi kemarahan akibat invasi buruh dari Negara China, dan keberpihakan pemerintah terhadap "modal" dari Negara China yang akan memicu terjadinya AMUK MASSA terhadap etnis Tionghoa di Jakarta, dan kota-kota besar lainnya. Sehingga menimbulkan kerugian dan korban jiwa yg masif tidak hanya dari etnis Tionghoa saja.
Ujung-ujungnya nanti yang disalahkan dan dituduh melakukan PELANGGARAN HAM adalah TNI/Polri karena dinilai melakukan PEMBIARAN.
Kondisi seperti itu tentu bisa dijadikan alasan bagi " dunia", terutama AS cs dan negara China, untuk melakukan operasi militer di wilayah NKRI dengan judul "Humanitarian Intervention".
Tentara AS cs punya alasan karena 'keterpanggilan' untuk melindungi HAM, dan Tentara China beralasan melindungi keselamatan jiwa warganya yg bekerja sebagai buruh dan menjaga aset-asetnya yg telah tertanam di Indonesia.
Akhirnya yang terjadi kemudian adalah ... ?!?
NB: Pelajari kasus 'perang saudara' yg terjadi di Afghanistan dan Suriah, jangan sampai itu terjadi di Indonesia
Bagi saya, alasan seperti tetap saja bernuansa sentimen SARA, yang sama sekali tidak mengedukasi rakyat agar bisa berpikir l demokratis. Kalau memang Ahok yang dianggap salah, arogan atau apa pun kesalahannya, seharusnya kan masyarakat juga itu diedukasi agar fokus untuk memberi hukuman kepada Ahok secara proporsional, bukan semua etnis Tionghoa yang harus menanggung akibatnya.
Jika ia memang dianggap pemimpin yang arogan, dan sebagainya, sanksi yang cocok untuknya dari rakyat adalah dengan tidak lagi memilihnya sebagai gubernur DKI. Masakan iya, arogansi dibalas dengan aksi anarkis berupa suaatu kerusuhan etnis? Jika ada masyarakat punya pemikiran seperti itu, seharusnya seorang Jenderal TNI seperti Suryo Prabowo meluruskan cara berpikir yang salah seperti itu.
Jika ternyata mayoritas warga DKI tidak menganggap Ahok arogan, atau tak mempermasalahkan arogansinya itu karena kekuranganya itu tertutup dengan prestasi kerjanya yang dinilai sangat baik dalam mengurus DKI Jakarta menjadi lebih baik, sehingga mayoritas warga DKI memilih Ahok kembali menjadi gubernur DKI, maka seharusnya masyarakat yang tidak memilih Ahok dengan alasan apapun juga harus menghormatinya, tidak malah membalasnya dengan membuat kerusuhan, apalagi kerusuhan SARA.
Apabila Ahok dianggap salah karena melanggar hukum, bukankah negara kita ini negara hukum? Edukasilah masyarakat, warga DKI agar menghormati (proses) hukum, termasuk menghormati lembaga-lembaga penegak hukumnya, KPK, Kepolisian, maupun Kejaksaan.
Bukan malah seolah-olah mendorong dan memprovokasi masyarakat untuk melawannya dengan cara-cara anarkis, meletuskan kerusuhan rasial/agama.
Satu Ahok salah, masa iya, orang Tionghoa se-DKI yang harus menanggung akibatnya?! Padahal, pasti juga tidak semua orang Tionghoa suka dengan Ahok.
Bukankah mengedukasi masyarakat agar menjauhi sentimen SARA merupakan kewajiban pemerintah bersama tokoh-tokoh masyarakat dan agama, Polri, dan juga TNI?
Ahok perlu juga diingatkan agar menjaga sikapnya sebagai seorang pemimpin, tetapi itu tak ada kaitannya dengan etnis, maupun agamanya.
Saya melihat dalam proses kepimpinannya itu, Ahok juga sudah melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri, ia mulai dapat mengendalikan emosinya, tidak lagi sekasar di awal-awal pemerintahannya, tanpa meninggalkan ketegasan dan toleransi nol terhadap semua pelanggaran hukum, apalagi suap dan korupsi.
Ketidaktulusan Suryo Prabowo yang menolak disebut rasis, tercermin pula pada tulisannya yang lain setelah tulisan tersebut di atas, yaitu yang terbaru dibuat, Kamis, 31 maret 2016 ini:
[caption caption="Face Book Suryp Prabowo"]
Guru Besar UI yang dimaksud adalah Sri Edi Swasono.
Apakah selain duta besar, Indonesia juga punya Guru Besar di Perguruan Tinggi pemerintah (UI) yang rasis?
Fakta sejarah: Singapura sudah sejak dahulu kala, sejak negara Malaysia belum terbentuk, memang mayoritas dihuni oleh etnis Tionghoa. Informasi yang menyebutkan awalnya Singapura mayoritas penduduknya orang Melayu, tetapi karena orang Tionghoa diberi kekuasaan, lalu "menendang" orang Melayu keluar dari Singapura, sehingga etnis Tionghoa menguasai Singapura, merupakan informasi sesat, sejarah yang sengaja dibelokkan untuk membenarkan sentimen rasis orang-orang rasis. Silakan belajar sejarah Singapura dari sumber-sumber terpercaya.
Selain Duta Besar, Indonesia juga punya Guru Besar yang rasis!
Sri Edi Swasono adalah menantu tertua Bung Hatta, kakak kandung Sri Bintang Pamungkas. Kedua bersaudara ini ternyata seua sekata sebagai penganut tulen rasisme anti-Cina.
Provokator Rasis Sri Bintang Pamungkas
Sebelum Yusron Ihza Mahendra menyebarkan kicauan rasisnya di akun Twitter-nya itu, mantan aktivis Sri Bintang Pamungkas, pada 14 Maret 2016 sudah lebih dahulu menyebarkan provokasi anti-Cina-nya lewat akun Twitter-nya.
Sri Bintang Pamungkas berkicau menyatakan bahwa meskipun orang Cina sudah bertahun-tahun hidup di Indonesia, mereka tetaplah bangsa asing, yang lewat mafia-mafia Cina-nya menjajah dan menguasai (ekonomi) Indonesia. Oleh karena itu orang Cina harus diusir keluar dari Indonesia, dengan cara mengulangi kerusuhan etnis seperti kerusuhan Mei 1998:
“SIAPKN diri di bulan MEI. KITA ULANG LG MEI 98. DENGAN ato TANPA TNI ato POLRI! @SBP”
Dari pernyataannya ini seolah-olah Sri Bintang “keceplosan,” mengatakan bahwa aktor-aktor di belakang kerusuhan Mei 1998 itu adalah dia dan kawan-kawannya, dengan bantuan oknum-oknum TNI dan Polri.
Orang-orang rasis seperti Sri Bintang Pamungkas dan Yusron Ihza Mahendra, pasti tidak suka DKI Jakarta dipimpin oleh Ahok, karena dia Tionghoa dan Kristen, maka itulah mereka tidak pantang menyebarkan sentimen rasis seperti ini.
Entah kebetulan ataukah tidak, provokasi-provokasi rasisistis seperti yang disebarkan oleh Yusron Ihza Mahendra dalam kaitannya dengan pilkada DKI 2017 itu berdekatan pula dengan bulan Mei 2016, bulan terjadi kerusuhan Mei 1998 itu.
Seperti yang saya sebutkan di atas, provokasi rasistis Yusron Ihza Mahendra tersebut bisa saja ditafsirkan sebagai suatu strategi terselubung yang ditujukan kepada warga DKI etnis Tionghoa, untuk takut memilih Ahok di pilkada DKI 2017. Dengan cara menakut-nakuti mereka dengan kerusuhan Mei 1998 yang memang meninggalkan traumaistik yang dalam bagi etnis Tionghoa Jakarta. Kalau pilih Ahok yang arogan dan bicaranya kasar itu, orang pribumi bisa marah sampai mengakibatkan kerusuhan anti-Cina lagi, seperti Mei 1998, itulah kira-kira pesan terselubung yang hendak disampaikan oleh Yusron Ihza Mahendra.
[caption caption="Twitter Sri Bintang Pamungkas"]
“Koboy Cina Pimpin Jakarta”
Provokasi-provokasi SARA berkaitan dengan pilkada DKI bukan baru pertama kali ini terjadi. Sebelumnya, menjelang pilkada DKI 2012 pun provokasi-provokasi SARA seperti marak terjadi, untuk menjatuhkan pasangan calon gubernur-wakil gubernur: Jokowi-Ahok.
Saat itu, Agustsus 2012, atau saat pilkada DKI Jakarta 2012 memasuki tahapan kedua, yang menyisakan persaingan antara pasangan Foke-Nara vs Jokowi-Ahok, kita sempat dikejutkan dengan beredarnya sebuah video di YouTube dengan judul “Koboy Cina Pimpin Jakarta.”
Di video itu tampak seorang pria dengan wajah dikaburkan, memegang senjata tajam sejenis parang atau pedang, tampaknya sebagainarator video tersebut. Dengan suara mengancam pria itu mengultimatum kepada warga DKI keturunan Cina agar tidak menggunakan hak pilihnya pada pilkada DKI Jakarta tahap dua itu.
“Kami pemuda penyelamat Jakarta memberi ultimatum kepada warga keturunan untuk tidak memilih di pemilukada atau….”
Lalu diperlihatkan cuplikan film dokumenter kerusuhan Mei 1998, yang menunjukkan terjadinya penjarahan dan pembakaran di rumah-rumah dan toko-toko orang Tionghoa di beberapa wilayah di DKI Jakarta.
Juga ada diperlihatkan foto-foto tulisan anti-Cina, misalnya: “Awas! Bahaya Laten, China Koruptor,” lalu ada juga foto-foto mass pengunjuk rasa yang membawa spanduk bertuliskan “Usir Cina dari Jakarta.”
Ada juga tulisan yang disadur dari pidato Bung Karno dan dituliskan di atas foto proklamator yang sedang berpidato tersebut. “Putra daerah itu pemimpin di daerahnya sendiri itu harga mati.”
Selain itu dalam video yang diunggah pada 12 Agustus 2012 oleh akun bernama PP10Tahun1959 juga menyematkan tulisan, “Sengaja ku buat PP No 10 Thn 69 untuk kemaslahatan pribumi.
Setelah sempat beberapa hari berada di YouTube, atas permintaan dari pemerintah RI, video itu diblokir YouTube. Namun demikian berita tentang video tersebut masih bisa dilihat, dengan klik di sini.
[caption caption="Video rasis anti-Cina yang sempat beredar di YouTube pada Agustus 2012, ketika pilkada DKI memasuki tahapan kedua, menentukan kemenangan antara pasangan Foke-Nara vs Jokowi-Ahok (sumber: sidomi.com)"]
Belajar dari Pengalaman
Belajar dari pengalaman ini, dikaitkan dengan makin maraknya provokasi SARA akhir-akhir ini, seiring dengan semakin panasnya pemanasan pilkada DKI 2017, maka tidak mengejutkan jika nanti semakin dekat dengan waktu pelaksanaan pilkada DKI 2017, yang akan jatuh pada Februari 2017 itu, semakin hebat pula provokasi-provokasi SARA yang beredar di masyarakat, baik melalui cara konvensional, maupun lewat media sosial.
Jika pemerintah, khususnya Kemenlu tidak berani tegas menindak Yusrol Ihza Mahendra, maka jangan kaget, bila dia akan mengulangi provokasi SARA-nya itu jika pilkada semakin dekat, terutama jika kakaknya, Yusril Ihza Mahendra jadi ikut mengadu nasibnya di pilkada 2017 itu.
Bukan hanya Yusron Ihza Mahendra, bisa jadi orang-orang seperti Sri Bintang Pamungkas, dan lain-lain pun akan bergabung.
Pertanyaannya: Apakah pemerintah mau sekarang juga menindak tegas provokator-provokator SARA itu, sehingga kerjanya akan lebih ringan, atau membiarkan sehingga semakin berkembang dan besar, baru mau mengatasinya dengan susah payah? *****
Artikel terkait:
Ketika Ahmad Dhani Menyamakan Pemimpin Non-Muslim dengan LGBT dan Babi
Terobsesi Ahok, Adhyaksa Dault Mungkin Mengalami Halusinasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H