Jadwal itu sudah dipastikan, yaitu Senin, 29 Februari 2016, buldozer-buldozer sudah disiapkan di lokasinya, penutupan jalan dan pengalihan arus lalu-lintas di sekitarnya sudah diumumkan. Pada hari itu nanti, Pemprov DKI Jakarta pimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, akan membuat kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara, yang selama puluhan tahun terkenal sebagai pusat lokalisasi, perjudian, dan minuman keras, tinggal menjadi sejarah kelam Ibu Kota.
Ribuan anggota Satpol PP Povinsi DKI Jakarta didukung kekuatan penuh dari Kepolisian Metro Jaya dan TNI dari Komando Daerah Militer Jayakarta, pada hari itu, akan melakukan pembongkaran seluruh bangunan ilegal yang selama puluhan tahun ini berdiri di atas tanah negara itu, sampai rata dengan tanah. Setelah pembongkaran disertai dengan relokasi penduduknya itu dilaksanakan, Pemprov DKI segera melanjutkan dengan pengerjaan pengembalian fungsi lahan tersebut menjadi ruang terbuka hijau.
Sepatutnya kita mengapresiasi tindakan berani dan tegas dari Ahok terhadap kawasan Kalijodo itu, karena dengan demikian ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar sebagai Gubernur DKI Jakarta, yaitu melakukan penegakan hukum dengan mengambil kembali tanah negara dari warga yang selama ini menguasinya secara ilegal, untuk kemudian digungsikan sebagaimana mestinya.
Gubernur-gubernur sebelumnya telah membiarkan tanah di Kalijodo itu, seperti juga tanah-tanah negara lainnya (Kampung Pulo, dan lain-lain) terlantar sampai dikuasai oleh sejumlah waga selama bertahun-tahun, sehingga tidak dapat difungsikan sesuai dengan peruntukannya, sebaliknya menjadi bagian dari permasalahan-permasalahan lingkungan hidup, sosial, hukum, dan politik nan pelik Ibu Kota.
Namun demikian ada saja pihak-pihak yang selalu berpikiran negatif terhadap apa pun yang dinyatakan dan dilakukan oleh Ahok, termasuk dalam permasalahan kawasan Kalijodo ini.
Jika Ahok kerja keras demi mengatasi segala persoalan pelik Ibu Kota, seperti melakukan penertiban dan mengembalikan lahan di Kalijodo ke fungsinya yang semula, dituding punya pamrih, demi mencari nama di Pilkada DKI Jakarta 2017, tetapi jika seumpamanya, dia membiarkan pelanggaran hukum dan kesemrawutan itu terus berlanjut, pasti juga dia akan dituding oleh pihak yang sama, sebagai pimpinan yang tak perduli terhadap permasalahan Ibu Kota.
Seperti itulah yang disikapi oleh JJ Rizal, yang menyebutkan dirinya sebagai sejarahwan Betawi/Jakarta.
Kenapa Harus Didukung Polisi dan TNI?
Ketegasan Ahok dalam mengatasi permasalahan Kalijodo itu direspon dengan cibiran dan tudingan bahwa apa yang dilakukan Ahok itu punya pamrih politik, sarat dengan kepentingan pribadi, serta mencari panggung, demi eningkatkan elektabilitasnya di Pilkada DKI 2017. Normalisasi lahan terbuka hijau yang menjadi alasan penggusuran di Kalijodo, dianggap JJ Rizal tak masuk akal karena banyak wilayah lain di Jakarta yang juga sudah beralih fungsi menjadi deretan bangunan, tetapi tak diusik Ahok.
Ia juga menuding Ahok memanfaatkan polisi dan mengaktifkan tentara untuk mendukung pengamanan dalam penggususuran,telah membuat warga terteror dan menjadi ketakutan.
"Ahok anggap kasus Kampung Pulo, Bidara Cina, itu success story, sehingga dia kembali melakukannya di Kalijodo. Yang menyeramkan, terjadi teror-teror yang menakutkan di masyarakat, ribuan pasukan gabungan dilibatkan, di Kampung Pulo tank juga diturunkan, ini kan mengerikan. Terlebih banyak media yang memberitakan," kata JJ Rizal, di Jakarta, 20 Februari 2016 (Viva.co.id).
Padahal, jika Rizal mau obyektif, berpikiran jernih, tanpa prasangka negatif, jelas ia tahu bahwa tindakan pengamanan merupakan kewajiban, wewenang, strategi, dan tanggung jawab Kepolisian, maupun TNI, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Sedangkan mengenai apa yang disebutnya sebagai teror-teror menakutkan, mengerikan, dan menyeramkan itu hanyalah karangannya saja, sebab sesungguhnya tidak ada yang namanya teror-teror dari pihak Pemprov DKI Jakarta itu, apalagi pakai embel-embel menyeramkan, menakutkan dan mengerikan segala.
Bentrokan yang terjadi antara warga dengan aparat saat penggusuran di Kampung Pulo tempo terjadi karena warga yang terus saja ngotot menuntut pembayaran ganti rugi, lalu lebih dulu menyerang aparat. Yang terluka ketika itu bukan hanya warga saja, tetapi juga aparat.
Sudah lama menjadi rahasia umum, sebagaimana di kawasan lain yang mirip dengan Kalijodo, oknum tentara dan oknum polisi menjadi beking dari semua kegiatan ilegal di baliknya. Diduga kuat yang menjadi pembeking di Kalijodo itu melibatkan pejabat di level yang tak rendah. Itulah sebabnya diperlukan pengamanan dari pihak kepolisian, maupun TNI.
Oleh karena itu juga Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya Mayor Jenderal Teddy Lhaksmana dan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian mengerahkan kekuatan penuh anak buah mereka yang bergabung bersama Satpol PP Pemprov DKI Jakarta, saat melakukan razia dengan nama operasi Pekat (Penyakit Masyarakat), pada Sabtu, 20 Februari lalu itu.
Meskipun secara resmi tidak diakui bahwa razia itu dalam rangka persiapan penggusuran besar-besaran yang akan dilakukan pada 29 Februari nanti, tak bisa disangkal bahwa razia tersebut berkaitan dengan rencana penggusuran itu.
Razia itu dilakukan demi melancarkan pelaksanaan penggusuran tersebut, dengan merazia kemungkinan adanya senjata tajam atau alat-alat lainnya yang akan digunakan untuk menyerang aparat sebagaimana yang terjadi di Kampung Pulo tempo hari.
Kekhawatiran itu terbukti benar, dengan ditemukan 400-an anak panah, ditambah ratusan senjata tajam lainnya seperti tombak, samurai, clurit, badik, dan parang, di Cafe Intan milik tokoh Abdul Aziz, tokoh kawasan Kalijodo, selain ribuan botol minuman keras, dan ratusan keping video porno, dan ratusan buah kondom.
Kemungkinan besar peristiwa yang lebih berdarah daripada bentrokan di Kampung Pulo yang akan terjadi, dengan senjata tajam yang sedemikian banyak, kemungkinan besar juga akan jatuh korban jiwa di kedua belah pihak.
Bisa jadi, diam-diam skenario seperti itulah yang yang dikehendaki oleh pihak-pihak tertentu. Untuk apa lagi, kalau bukan demi kepentingan politik menghancurkan Ahok? Jika peristiwa berdarah dengan jatuh korban jiwa itu sampai terjadi, Ahok akan sangat terpojok, ia bukan saja akan dikecam habis-habisan, tetapi alasan untuk melengserkannya akan menjadi sangat kuat, dan tak tertutup kemungkinan ia akan diadili pula.
Maka itu, saya heran juga, kenapa pakar seperti JJ Rizal itu tidak melihat hal-hal seperti ini? Ia begitu gencar menyerang kebijakan Ahok dalam kasus-kasus seperti kasus Kalijodo ini. Ia mengecam Ahok yang disebutnya sampai mengerahkan ribuan polisi dan tentara, tetapi anehnya, dia diam seribu bahasa ketika dalam razia itu aparat menemukan begitu banyak senjata tajam. JJ Rizal sama sekali tidak berklomentar apa pun tentang penemuan begitu banyak senjata tajam di sana.
Benarlah kata Ahok, orang-orang seperti JJ Rizal ini akan sangat cepat mengecam dan menghubung-hubungkan dengan segala macam hak asasi manusia (HAM) jika dalam kasus seperti ini ada aparat melukai warga, tetapi diam, ketika ada warga yang menganiaya dan melukai aparat.
Kombes Pol Mohammad Iqbal, Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Metro Jaya, saat diwawancara Kompas TV, Minggu sore, 28/2/106, saat ditanya Aiman, kenapa Polisi mengerahkan sampai 5.000 anggota polisi untuk mengamankan penggusuran Kalijodo besok, menjelaskan, “Kami tidak boleh under estimate dalam melakukan pengaman tersebut.” Artinya, memang polisi tidak boleh memandang enteng faktor pengamanan dan kelancaran saat penggusuran dilakukan, karena risikonya sangat besar, apalagi sebelumnya sudah ditemukan begitu banyak senjata tajam di sana.
Ketidaktahuan JJ Rizal
JJ Rizal juga menyerang Ahok di akun Twitter-nya, dengan menggunakan isu pertentangan antara si kaya dengan si miskin. Ahok dituding hanya berani menggusur orang miskin, tetapi tidak berani dengan orang kaya. Kalijodo saja yang berani dibongkar bangunannya, tetapi tidak berani melakukan hal yang sama terhadap mal-mal yang sebetulnya juga berdiri di atas lahan yang seharusnya merupakan ruang terbuka hijau, atau tanah resapan.
Ironisnya, tudingan JJ Rizal itu sekaligus menunjukkan bahwa ia tidak paham dengan masalah hukum terkait hak atas tanah dan perizinan atas suatu lahan. Saking terlalu bersemangatnya, ia juga gagal paham, saat meminta keberanian Ahok juga untuk mengembalikan lahan terbuka hijau di kawasan Gelora Senayan.
JJ Rizal berkicau untuk Ahok tentang ini, dengan menulis:
sukarno bangun kawasan gelora senayan dgn ruang hijau sebanyak 75%, kini tinggal 25%, kapan dibalikin spt #kalijodo
Padahal, jelas-elas kawasan Gelora Senayan bukan kewenangan Pemprov DKI Jakarta, kawasan gelora Senayan berada di bawah kewenangan pengelolaan oleh Sekretariat Negara.
Juga, kenapa orang ini baru berteriuak sekarang? Di mana dia ketika lahan di kawasan Gelora Senayan itu satu per satu berkurang ruang terbuka hijaunya itu? Diam, bukan? Karena ketika itu bukan Ahok yang menjadi gubernur, kan?
Membandingkan secara appeal to appeal antara kasus pemukiman ilegal di Kalijodo dengan gedung-gedung mall, apartemen, hotel, dan sebagainya itu jelas merupakan suatu kesalahan yang konyol.
Pemukiman di atas lahan kawasan Kalijodo dan sejenisnya itu jelas-jelas merupakan suatu penguasaan atas tanah negara secara tidak sah, dari dahulu sampai dengan saat ini. Warga begitu saja menguasai lahan negara itu tanpa hak, juga tidak punya izin yang sah untuk menempati lahan negara itu. Lahan itu masih tetap merupakan tanah negara, fungsi sebenarnya sebagai lahan terbuka hijau juga masih ada, sampai detik ini. Hanya saja selama itu pula pelaksanaan hukumnya belum ada.
Jika hendak mencari siapa yang salah dan seharusnya bertanggung jawab, maka Yang lebih patut dipersalahkan sebenarnya adalah gubernur-gubernur sebelumnya, yang seharusnya bertanggung jawab, kenapa sampai sedemikian lama membiarkan tanah negara dikuasai warga secara tanpa hak, dan membiarkan lahan negara itu berubah fungsi menjadi pemukiman ilegal seperti itu.
Ke mana saja orang-orang seperti JJ Rizal, ketika terjadi pembiaran oleh gubernur-gubernur di masa lalu atas penguasan tanah negara oleh warga secara melawan hukum seperti itu, yang mengubah lahan yang seharusnya merupakan lahan terbuka hijau itu menjadi pemukiman ilegal selama berpuluh tahun? Diam, karena gubernurnya bukanAhok, bukan?
Kenapa justru ketika Ahok yang hendak melakukan penindakan, penegakan hukum, mengembalikan lahan itu kepada negara, mengnormalisasikannya sebagai lahan terbuka hijau, sebagaimana fungsi seharusnya, orang-orang seperti JJ Rizal malah langsung bersuara lantang, menuding sana-sini, negative thinking, memprovokasi warga dengan isu si kaya vs si miskin, dan sebagainya?
Dalam beberapa kicauan di akun Twitter-nya itu, pada intinya JJ Rizal menuding Ahok hanya berani menggusur di Kalijodo, karena warga di sana miskin-miskin, tetapi tidak berbuat apa-apa (membiarkan) gedung-gedung mal, hotel, apartemen, dan pemukiman mewah tetap ada, padahal katanya, banyak di antaranya juga didirikan di atas lahan yang dulunya berfungsi sebagai lahan terbuka hijau dan daerah resapan air.
Dengan menyertai daftar lahan yang semula berfungsi sebagai daerah resapan air dan ruang terbuka hijau itu, tetapi kini berdiri gedung-gedung mall, perkantoran dan pemukiman mewah, seperti Hotel Mulia, Century Atlet Hotel, Plaza Senayan, Pluit Mega Mall, Mall Kelapa Gading, Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Pantai Indah Kapuk, dan lain-lain, JJ Rizal menulis beberapa kicauannya menyindir Ahok, kenapa tidak juga melakukan hal yang sama terhadap para pemilik properti-properti itu.
Ironis sekali, kicauan JJ Rizal itu justru menunjukkan kepada publik bahwa sesungguhnya dia tidak terlalu menguasai permasalahan yang sebenarnya, dia tak mengerti mengenai hukum pertanahan, menyangkut hak-hak atas tanah, izin usaha, dan sebagainya.
Peruntukan lahan-lahan itu sebenarnya sudah diatur berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK), yakni sebagai lahan terbuka hijau, atau daerah resapan, tetapi oleh gubernur-gubernur sebelumnya, peruntukan lahan-lahan itu telah diubah sedemikian rupa menjadi kawasan bisnis, mall, perhotelan, pemukiman mewah, dan sebagainya itu.
Atas dasar perubahan peruntukan itulah kemudian investor akan mengajukan permohonan hak atas tanah negara itu, jika disetujui, maka negara (Badan Pertanahan Negara) akan menerbitkan sertifikat hak atas tanah bagi pemohon dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi kepada negara, perolehan hak atas tanah itu sudah pasti selaras dengan maksud investasi terhadap tanah itu, yakni untuk mendirikan dan mengusahakan bisnis mall, perkantoran, apartemen, atau pemukiman.
Dengan demikian para investor atau pemilik properti itu mempunyai hak atas tanah yang sah berikut izin usaha yang sah pula.
Pemilik properti-properti itu meskipun menempati lahan-lahan yang dahulunya seharusnya tidak boleh dibangun gedung di atasnya, tetapi, karena pemerintah DKI Jakarta sebelumnya sudah mengubah peruntukannya, dan memberi izin kepada mereka untuk membangun berikut izin usahanya, maka secara hukum posisi mereka sangat kuat.
Lalu, atas dasar itu, JJ Rizal mau menuntut Ahok agar juga berani menggusur gedung-gedung mall, hotel, apartemen, dan sebagainya itu? Jika pemerintah Pemprov dipimpin oleh orang gila dan buta hukum, mungkin itu biosa saja dilakukan, dengan akibat, Pemprov DKI jatuh bangkrut karena harus membayar ganti rugi yang luar biasa besarnya.
Belum lagi bagaimana caranya untuk membongkar semua properti itu sampai rata dengan tanah, menjadi seperti semula? Bayangkan saja, bagaimana caranya harus membongkar Hotel Mulia, Century Atlet Hotel, Kelapa Gading Square, Mega Mall Pluit, Taman Anggrek Mall, seluruh rumah di Pantai Indah Kapuk, Pluit, dan masih banyak lagi.
Ahok sendiri pernah mengatakan, penataan kota Jakarta itu sudah terlalu rusak, jika ingin dikembalikan menjadi normal, maka 70 persen bangunan di Jakarta harus diratakan dengan tanah. Harap jangan itu diartikan secara harafiah, pernyatan Ahok itu jelas merupakan hiperbola bahasa, karena memang itu mustahil dilakukan.
Jadi, sekarang, apa yang masih bisa dilakukan untuk Jakarta lebih baik, dilakukan Ahok dengan sepenuh tenaga, dengan mengerah semua kemampuannya, mencegah agar kerusakan itu tidak terus berlanjut, dan yang masih memungkinkan untuk diperbaiki, segera diperbaiki secara maksimal. Di antaranya seperti penataan dan normalisasi lahan negara di Kampung Pulo dan Kalijodo.
Seharusnya yang dimarahi JJ Rizal itu adalah gubernur-gubernur yang berkuasa di saat mall, hotel, pemukiman mewah, dan sebagainya itu dibangun, karena merekalah yang bertanggung jawab, bukan Ahok.
Provokokasi JJ Rizal di Media Sosial
Menurut catatan Majalah Tempo (Tempo edisi 22-28 Februari 2016), sebenarnya sejak lama Pemprov DKI Jakarta hendak melakukan penggusuran di Kalijodo, tetapi rencana itu tinggallah rencana.
Pada sekitar bulan Februari 1979 penggusuran sudah dimantapkan, akan dilaksanakan oleh Kamtib Jakarta Utara, tetapi ternyata masih bisa dibatalkan jika penghuninya mau membayar imbalan sebesar Rp 1 juta Rupiah. Jumlah yang lumayan besar di masa itu.
Para PSK lewat germo masing-masing mengumpulkan iuran untuk memenuhi persyaratan itu. Setelah terkumpul jumlah uang sebesar itu, mereka membayarkannya kepada kepala Kamtib, dan penggusuran pun dibatalkan.
Pada 2002, dan 2010 penggusuran pernah dilaksanakan, tanpa relokasi, tetapi karena penggusuran itu dilaksanakan dengan setengah hati, yaitu tidak diikuti dengan penataan kawasan, maka pemukiman liar itu tumbuh kembali, dan berkembang sampai menjadi seperti sekarang.
Kicauan-kicauan JJ Rizal yang terus-menerus mempertentangkan Ahok yang dituding pro golongan kaya versus golongan miskin, jelas merupakan upaya pengiringan opini dan provokasi yang menyesatkan.
Ahok menindak bukan karena pihak-pihak tertentu itu adalah golongan miskin atau kaya, tetapi semata-mata demi penegakan hukum, mengembalikan hak-hak negara atas tanahnya, serta memfungsikannya kembali sebagaimana seharusnya, siapapun yang melanggar hukum, perizinan, dan sebagainya, pasti akan ditindak Ahok, tak perduli dia miskin atau kaya.
Paradigma berpikir JJ Rizal itu adalah seolah-olah hanya orang kaya yang tidak boleh melanggar hukum, tetapi orang miskin boleh ditoleran karena dia miskin. Padahal tiada asas hukum yang menyatakan demikian.
JJ Rizal menyembunyikan fakta-fakta tentang sikap Ahok yang konsisten dalam menegakkan hukum di DKI Jakarta, fakta-fakta bahwa bahkan golongan pengusaha kaya pun akan ditindak jika melanggar hukum, ketertiban dan keamanan, perizinan, dan lain-lain.
Contohnya, pada Juni 2015, sebanyak 54 unit ruko mewah berlantai tiga di Jalan Pejagalan Raya, Tambora, Jakarta Barat, atas perintah Ahok dibongkar paksa oleh Dinas Penataan Kota Pemprov DKI Jakarta karena tidak punya IMB. Nilai keseluruhan ruko-ruko itu ditaksir mencapai hampir Rp 300 miliar.
Pada Juli 2015 lalu, setelah melewati dua kali peringatan, Ahok menyegel Mall Green Tebet di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, karena masalah perizinan (tidak mempunyai Sertifikat Layak Fungsi). Dengan didukung oleh 500 polisi dan prajurit TNI dari Kostrad, Satpol PP DKI Jakarta pun menyegel mall tersebut. Penyegelan itu berlaku selamanya sampai pengelola mall mendapat Sertifikat tersebut.
Ahok juga pernah menutup permanen Diskotik Stadium yang berlokasi di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat. Maret 2015 lalu, setelah seorang polisi kedapatan tewas karena over dosis narkoba di sana. Diskotik Stadium sudah lama diduga sebagai milik “orang kuat” dan diduga tempat beredarnya narkoba.
Pada Oktober 2015, Ahok juga memerintahkan penyegelan atas Pulau Kali Age milik konglomerat Surya Paloh. Alasannya pulau tersebut tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Ahok mengatakan tidak hanya pulau milik Surya Paloh yang akan disegel bila tidak memiliki IMB. Tapi pulau-pulau lain yang tidak memiliki IMB juga akan disegel. *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H