Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Revisi UU KPK Ditunda, Kini Saatnya Membahas RUU Perampasan Aset

24 Februari 2016   00:24 Diperbarui: 24 Februari 2016   00:30 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seharusnya, jika DPR benar-benar melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya kepada rakyat, bangsa dan negara, maka bukan semangat merevisi UU KPK yang sejatinya merupakan kamuflase dari upaya memperlemahkan KPK, sekaligus melindungi  koruptor, yang mereka tonjolkan, tetapi sebaliknya, yaitu semangat untuk mempersempit kesempatan koruptor untuk mengamankan asetnya, terutama sekali menutup peluang koruptor untuk mengamankan dana hasil korupsinya ke luar negeri.

Akibat terlalu bersemangatnya segerombolan anggota DPR merevisi UU KPK itu, maka masyarakat pun terlalu fokus kepada rancangan revisi UU KPK tersebut, yang sudah dimasukkan ke dalam Prolegnas 2016. Padahal, ada sebuah RUU yang  sudah dimasukkan ke dalam dalam prolegnas 2014-2019, yang jauh lebih penting untuk dijadikan fokus perhatian besar masyarakat, untuk mendesak DPR bersama pemerintah  menbahasnya, mengabaikan revisi UU KPK.

Kebetulan sekali, barusan, Presiden Jokowi sudah menyatakan pemerintah memutuskan untuk menunda pembahasan revisi UU KPK tersebut untuk waktu yang tak ditentukan. Meskipun seharusnya bukan penundaan yang diputuskan Presiden, tetapi penolakan, setidaknya keputusan Presiden ini sudah mampu meredupkan untuk sementara semangat gerombolan anggota DPR itu untuk memperlemahkan KPK, sekaligus melindungi (aset) koruptor.

Kini, seharusnya, tidak ada alasan bagi DPR  untuk tidak lagi  fokus kepada pembahasan RUU tentang Perampasan Aset itu. Jika RUU ini disahkan menjadi UU maka penegak hukum mempunyai wewenang untuk merampas aset yang diperoleh para pelaku kejahatan korupsi, pencucian uang, narkoba, penyelundupan, dan kejahatan lainnya, meskipun belum ada keputusan hukum tetap terhadap kasusnya, sehingga kesempatannya untuk mengamankan asetnya, termasuk mengtransfer atau mengirim dana hasil kejahatannya ke luar negeri bisa ditutup.

Apalagi RUU Perampasan Aset tersebut menerapkan asas pembuktian terbalik bagi  terdakwa pelaku kejahatan itu. Dialah yang harus bisa membuktikan secara sah bahwa aset yang diperolehnya itu bukan dari hasil kejahatan. Jika tidak bisa membuktikan, maka seluruh aset itu disita untuk negara.

Rp. 914 Triliun Hasil Kejahatan "terbang" ke Negara-negara "Tax Haven"

Pembahasan RUU Perampasan Aset itu semakin dirasakan sangat penting sehubungan dengan fakta “menyeramkan”yang baru-baru ini diungkapkan oleh Perkumpulan Prakarsa, yang pada Sabtu lalu (20/2) di Jakarta. Bahwa berdasarkan  hasil riset yang mereka lakukan, selama kurun waktu 2010-2014, akumulasi aliran dana gelap dari Indonesia ke luar negeri mencapai Rp 914 triliun.

Jumlah ini setara dengan 45 persen pertambahan jumlah uang beredar dalam periode yang sama di Indonesia yang jumlahnya Rp 2.032 triliun. Jumlah itu juga mendekati angka realisasi penerimaan pajak tahun 2015 yang mencapai Rp 1.055 triliun.

Di tingkat global, berdasarkan hasil survei Global Financial Integrity, pada periode 2004-2013, aliran dana gelap di Indonesia menduduki peringkat kesembilan dari 149 negara. Semakin tinggi peringkat, semakin besar aliran dana gelapnya.

Sebagian besar dari jumlah itu oleh pemiliknya “diparkirkan” di negara-negara "surga pajak" (tax haven), seperti Kepulauan Virgin Britania Raya, Cayman Island, dan Swiss.

Sekali dana hasil kejahatan itu sudah berhasil diparkirkan di sana, maka nyaris mustahil bagi penegak hukum Indonesia untuk menariknya kembali ke Tanah Air.

”Uang ini tidak mengenal yurisdiksi. Bisa ke tempat mana saja tanpa ada pencekalan seperti manusia. Saat sudah lolos ke suatu negara, penegak hukum pun kesulitan untuk menariknya karena sistem hukum setiap negara berbeda-beda. Akibatnya, butuh cara berupa mutual legal assistance treaty yang tidak dapat cepat,” kata Peneliti Senior Perkumpulan Prakarsa Setyo Budiantoro.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun