Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Buruk Muka DPR, KPK Dibelah

29 Januari 2016   00:59 Diperbarui: 29 Januari 2016   07:15 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DPR masih belum bisa merima dengan penggeledahan yang dilakukan KPK yang menyertai pengawalan Brimob bersenjata laras panjang, di kompleks parlemen, Jumat, 15 Januari 2016 lalu, yang sempat dirintangi oleh Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKS Fahri Hamzah, sehingga memicu adumulut sengit antara dirinya dengan penyidik KPK bernama Christian itu.

Kapolri sudah dipanggil Komisi III DPR, untuk diminta klarifikasi penyertaan Brimob bersenjata laras panjang itu, dan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti sudah memberi jawaban bahwa penyertaan pengawalan Brimob bersenjata untuk mengawal penyidik KPK yang sedang menjalani tugasnya itu sudah sesuai dengan KUHAP, UU KPK, maupun SOP Polri.

Badrodin menjelaskan, Brimob menjalankan tugas pengawalannya sesuai dengan KUHAP, UU KPK, dan SOP Polri, dan bahwa senjata merupakan bagian organik dari polisi manapun termasuk Brimob saat bertugas, tak mungkin polisi bertugas tanpa membawa senjata.

Namun entah karena memang dasarnya bebal, atau apa, saat rapat perdana pimpinan KPK dengan Komisi III, Rabu (27/1/2016), yang seharusnya dipakai untuk membahas tentang revisi UU KPK, beberapa anggota Dewan itu memanfaatkan kesempatan itu untuk mencecar lagi Pimpinan KPK tentang insiden 15 Januari itu.

Anggota Fraksi PDIP Herman Hery mengatakan kepada Pimpinan KPK, penggeledahan KPK itu terlalu mengundang perhatian media. Seharusnya, katanya, proses penggeledahan bisa dilakukan diam-diam, termasuk tidak menggunakan senjata di kompleks parlemen. “Silakan KPK lakukan tugasnya secara profesional. Jangan lakukan festivalisasi,” katanya.

Padahal, justru yang memicu pertama kali perhatian media adalah Fahri Hamzah sendiri dengan ulah arogannya itu. Andaikata ia tidak merintangi penyidik KPK yang sedang menjalankan tugasnya itu dengan mempersoalkan Brimob bersenjata laras panjang, menghardik penyidik KPK dengan nada tinggi, sehingga memicu emosi Christian, penyidik KPK itu, maka pasti tugas penggeledahan itu bisa berjalan lancar tanpa diliput media secara gegap gempita seperti yang sudah terjadi itu.

Entah karena bebal, ataukah karena apa, kenapa anggota-anggota DPR jenis ini masih saja, terus-menerus, berulang kali mempersoalkan Brimob dengan senjatanya itu? Kapolri sudah menjelaskan, baik di ruang publik, maupun di Komisi III langsung beberapa hari lalu, bahwa semua itu sudah sesuai dengan Undang-Undang dan SOP Polri, tetapi kok masih terus ditanya dan dipersoalkan?

Mau polisi (Brimob) menjalankan tugas pengawalannya itu tanpa senjata? Apakah Herman Hery dan kawan-kawannya itu mau samakan Brimob dengan hansip atau satpol pp? Satpam saja saat bertugas dilengkapi dengan pistol, kok.

Seharusnya permasalahannya sudah selesai, karena sudah jelas, tapi kenapa kok  masih terus diperpanjang-panjang?

Jadi, sebenarnya yang melakukan festivalisasi itu, siapa?

 

Herman Hery juga mengatakan, KPK mesti menjaga kehormatan lembaga negara lain (DPR) dengan tidak menunjukkan kekuatan. Dia merasa penggeledahan dengan melibatkan Brimob lengkap dengan senjata laras panjang mengesankan bahwa DPR adalah kumpulan maling. “Profesionalitas tetap perlu dikedepankan tanpa menggesampingkan cara santun. DPR bukan lawan dari KPK,” ujarnya.

Pertanyaannya, yang selama ini bikin nama DPR rusak itu sebenarnya, siapa, kalau bukan anggota DPR itu sendiri? Tak heran dari hasil survei yang dilakukan CSIS, yang baru diumumkan pada Senin, 25/1/2016 lalu, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 27 persen.

Lewat perilaku koruptif, pembolos, pemalas, tukang tidur, dan sebagainya dari para anggota dan pimpinan DPR itu sendirilah nama DPR semakin lama semakin rusak di mata rakyat yang seharusnya diwakilinya itu.  

Lihat saja bagaimana dengan sandiwara paling konyol sekaligus paling memuakkan yang dimainkan oleh para anggota dan ketua MKD saat menyidangkan boss-nya sendiri yang paling mereka hormati, Setya Novanto itu.

Lalu, lihatlah sikap mantan Ketua DPR Setya Novanto, yang sangat tidak patut sebagai pejabat tinggi negara, sebagai anggota DPR, yang seharusnya memberi contoh kepada rakyatnya, bagaimana setiap warganegara harus menghormati proses hukum. Saat dipanggil untuk dimintai keterangannya oleh Kejaksaan Agung terkait kasus “papa minta saham”, sampai tiga kali bertutut-turut, tidak pernah mau memenuhi panggilan itu.

Bagaimana juga dengan kasus “papa minta saham” itu sendiri, siapakah yang merusak nama DPR, dan kenapa anggota DPR seperti Herman ini tidak pernah berani mengomentarainya. Malah, KPK yang diserang terus.

Patutkah anggota DPR itu disebut anggota Dewan yang terhormat jika dalam tingkah lakunya acapkali berlawanan dengan aspirasi rakyat? Seperti dengan terus-menerus bersikukuh untuk melemahkan, atau lebih tepatnya mengamputasi KPK lewat kamuflase revisi UU KPK. Mereka berpikir rakyat itu bodoh, dengan mengatakan kepada rakyat bahwa revisi itu justru demi menguatkan KPK. Mempreteli kekuatan-kekuatan intin KPK, kok dibilang memperkuat KPK.

Siapa pula yang sebetulnya menunjukkan kekuatan dan kekuasaan dalam insiden perang mulut antara Fahri Hamzah dengan penyidik KPK itu, kalau bukan justru Wakil Ketua DPR itu, yang sempat mengusir Brimob dan penyidik KPK, padahal mereka sedang menjalankan tugasnya, karena merasa DPR itu rumah tangga mereka, yang kemudian diralat oleh Christian; bahwa kompleks parlemen itu milik rumah tangga rakyat, bukan rumah tangga anggota DPR.

Jika Fahri Hamzah merasa keberatan dengan cara KPK melakukan penggeleadahan, maka ada mekanisme hukum untuk mengajukan keberatan itu, yakni melaporkan kepada pimpinan KPK, atau mempraperadilankan KPK. Bukan seperti kepala preman, petantang-petenteng memamerkan kekuatannya menantang KPK yang justru masih paling dipercaya rakyat.

Tentang Herman Henry ini sendiri, pada 30 Desember 2015,  ia pernah dilaporkan Kelompok masyarakat dari Lembaga Advokasi Kebijakan Publik serta Forum Pemuda dan Mahasiswa (FPM) NTT ke MKD karena diduga telah memaki-maki, menantang duel dan mengancam bunuh Kasubdit Narkoba Polda NTT, AKBP Albert Neno, karena polisi ini dituduh Herman yang memimpin razia bisnis minuman keras Herman di Kupang, NTT, pada 25 Desember 2015. Albert juga sudah melaporkan Herman ke Kapolda NTT atas kasus tersebut.

 

Herman merasa penggeledahan KPK dengan melibatkan Brimob lengkap dengan senjata laras panjang mengesankan bahwa DPR adalah kumpulan maling, dan bahwa DPR itu bukan lawan dari KPK.

Komentar saya, sama seperti yang pernah dikatakan penyidik KPK Christian, ketika Fahri juga menggatakan, “... Seolah-olah kami ini (anggota DPR) semua maling!”; yang bilang begitu bukan siapa-siapa, tetapi Fahry Hamzah dan Herman Hery sendiri, kan?

Sedangkan tentang “DPR bukan lawan dari KPK”; tolong tanyakan kepada Fahri Hamzah, siapa sebetulnya yang menempatkan KPK sebagai lawannya? Kalau bukan Fahri itu sendiri, dia pernah menyatakan, bahwa dia tak akan berhenti untuk terus memperjuangkan agar KPK dibubarkan! Bukan itu berarti dia menempatkan KPK sebagai lawannya?

 

Terhadap semua cercaan, yang sebetulnya hanya diulang-ulang seperti kaset rusak oleh Herman Hery itu, Ketua KPK Agus Rahardjo menjawab, penggeledahan yang dilakukan penyidik KPK di gedung parlemen itu sudah sesuai dengan KUHAP, UU KPK. Dan SOP KPK. Dan, bahwa penggeledahan dengan cara seperti itu bukan hal baru di kompleks parlemen. Sejak 2009, KPK sudah delapan kali melakukan penggeledahan di DPR dengan prosedur teknis yang sama.

“Standar sama persis. Kami datang jam 10 pagi, masuk melewati tangga untuk menghindari wartawan,” katanya. Agus mengatakan KPK sama sekali tidak ingin mencari sensasi.

Masih belum cukup jelas jugakah penjelasan-penjelasan ini, wahai para anggota DPR sejenis Fahri Hamzah dan Herman Henry itu? Ada cermin di rumah, kan? Manfaatkanlah, dengan melihat mukamu di cermin, tetapi, hendaklah jangan buruk mukamu, cermin yang dipecahkan.

Buruknya muka DPR, jangan KPK yang dibelah. *****

 

 

Sumber berita: Koran Jawa Pos, Kamis, 28/1/2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun