Entah kenapa, dan apa yang sebenarnya ada di benak Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, saat menjadi salah satu pembicara dalam acara diskusi publik di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa, 19/1/2016. Karena, menurut dia, ada lima kejanggalan dalam peristiwa serangan teroris yang terjadi di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016) lalu itu.
Kelima kejanggalan versi Neta S Pane itu adalah sebagai berikut:
Pertama,  kenapa rombongan Krishna Murti cepat tiba ke TKP hanya dalam 10 menit. Bahkan, Krishna sudah memakai rompi antipeluru dan langsung beraksi. Padahal, Krishna bukan Densus. “Dia (Krishna) adalah Direktur Reserse Kriminal Umum," ujar Neta.
Kedua, Karo Ops Polda Metro Jaya Kombes Martuani Sormin begitu cepat datang ke lokasi hanya dalam waktu 10 menit.
Ketiga, “Kenapa pelaku begitu tenang beraksi di ruang publik." Menurut Neta, selama ini, pelaku teroris itu selalu bersembunyi. Namun, kali ini, teroris tersebut tampil ke publik dan bergaya seperti tim Densus 88 juga.
Keempat, "Kenapa setelah bom itu meledak, muncul polemik antara BIN dan polisi bahwa ini ISIS atau bukan."
Kelima, terletak pada pihak kepolisian. Ia menganggap polisi tidak memaparkan tentang tim pengantar dan penjemput teroris tersebut. "Karena kalau kita lihat dari kondisinya sangat mustahil kalau teroris itu tiba-tiba muncul. Memang dia jelangkung tidak diantar dan dijemput."
Sebab, kata Neta, pihak kepolisian sempat menemukan ada kendaraan dengan pelat D. "Namun, temuan ini kan tidak dijelaskan. Polisi tidak transparan," katanya
(Sumber: Kompas.com)
Dari lima kejanggalan yang disebut Neta S Pane itu, dapat disimpulkan bahwa dia curiga serangan teroris di Sarinah, Thamrin itu, hanyalah merupakan suatu rekayasa. Salah satu yang merekayasa itu mungkin polisi. Tetapi, rekayasa itu untuk apa, apakah untuk pengalihan isu, isu apa? Tidak disinggung oleh Neta.
Analisa aneh Neta S Pane ini sama juga dengan dia sama sekali tidak menghargai prestasi polisi menaklukkan para teroris itu, meskipun nyawa taruhannya. Suatu sikap yang bertolak belakang dengan begitu tingginya apresiasi masyarakat terhadap sejumlah polisi yang berjibaku di lokasi kejadian (baca: 7 Polisi Penakluk Teroris Sarinah).
Polisi beraksi cepat dibilang janggal, polisi lambat, pasti dikecam.
Analisa aneh Ketua Presidium IPW ini juga nilainya sama dengan isu-isu sampah yang beredar hanya sesaat setelah peristiwa tragis itu terjadi, salah satunya isu yang mengatakan bahwa peristiwa itu hanyalah merupakan suatu bentuk pengalihan isu terkait batas waktu divestasi saham PT Freeport Indonesia, dengan dasar argumen yang bukan saja lemah, tetapi konyol (baca artikel: Ngawur-nya Analisa PKS Piyungan tentang Serangan Teroris di Jakarta).
Disebut analisa orang ini aneh karena apabila serangan teroris itu merupakan suatu rekayasa, lalu bagaimana dengan para pelaku yang tewas, baik karena ditembak polisi, atau karena meledakkan dirinya sendiri? Apakah mereka dengan sukarela mati untuk itu, atau menurut Neta, mereka hanya pura-pura mati, sekalipun tubuh jelas-jelas terkoyak oleh bom bunuh diri?
Lebih aneh lagi, Neta sempat menyinggung, kata dia, (kok) gaya para teroris itu sangat tenang, seperti Densus 88, apakah dia mau bilang, sebenarnya para teroris itu adalah anggota Densus 88 yang sedang menjalankan perannya sebagai teroris, yang juga rela mati ditembak rekan-rekannya sesama polisi, atau rela mati dengan cara bunuh diri, demi suksesnya rekayasa itu?
Atau Neta mau bilang, sebenarnya para teroris itu, hanyalah para pelaku peran yang dibohongi polisi, disuruh pura-pura jadi teroris, ledakkan bom, lalu polisi datang membunuh mereka? Sungguh luar biasanya tolol jika ada yang mau disuruh polisi seperti itu (baca juga mengenai latar belakang para teroris itu dari media online).
Lalu, bagaimana dengan klaim ISIS dari pusat kekuasaan mereka di Timur Tengah bahwa serangan itu merupakan tanggung jawab mereka? (baca: Kapolda Metro: Pelaku Teror di Thamrin Kelompok ISIS).
Supaya lebih kelihatan janggal, sebenarnya Neta bisa menambah analisa konyolnya dengan seperti ini:
- Kenapa bisa hari kejadiannya sama dengan hari ulang tahun ke-46 Kombes Krishna Murti;
- Kenapa masyarakat di sekitar tempat kejadian, tidak takut, bukannya lari bersembunyi, kok pada menonton peristiwa tembak-menembak polisi dengan para teroris itu, ditambah dengan ada bom yang meledak. Malah nekad mengambil gambar dengan ponsel-ponsel mereka, sesaat setelah kejadian ber-selfie-ria juga di lokasi kejadian;
- Kenapa tukang sate yang berada tak jauh dari lokasi kejadian juga tidak melarikan diri, malah meneruskan jualan satenya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Jika Neta S Pane rajin membaca berita-berita tentang peristiwa terorisme tersebut, sebenarnya lima hal yang dia sebut janggal itu, sama sekali bukan sesuatu yang janggal, tetapi wajar dan terjadi begitu saja. Kecuali, jika ia mau bilang, semua pemberitaan itu juga janggal.
Lima kejanggalan versi Neta S Pane itu, bisa dijelaskan sebagai berikut:
Pertama dan kedua, tentang begitu cepatnya Kombes Krishna Murti dan Karo Ops Polda Metro Kombes Martuani, tiba di lokasi kejadian: Krishna Murti (Dirkrimum Polda Metro Jaya) Â dan Karo Ops Polda Metro Kombes Martuani, tengah melintas di ruas jalan Thamrin menuju ke Istana Kepresidenan untuk melakukan pengamanan unjuk rasa di sana. Mobil mereka berhenti begitu mendengar tembakan dan ledakan. Krishna bersama Martuani segera bergabung dengan Kapolsek Menteng AKBP Deddy Tabrani dan Kabag Ops Polres Jakpus AKBP Susatyo yang ternyata tengah mengepung pelaku.
Mengenai rompi antipeluru yang sudah dikenakan Krishna Murti, bisa saja rompi itu memang selalu berada di mobil yang dipakai oleh Krishna, jadi, ketika pas terjadi kejadian itu, dia langsung mengenakannya. Setahu saya, rompi antipeluru bukan hanya dimiliki anggota Densus 88, tetapi juga merupakan pelengkapan polisi lainnya, yang dikenakan saat diperlukan, termasuk seorang Dirkrimum Polda Metro Jaya, seperti Krishna.
Ketiga, tentang begitu tenangnya para teroris itu beraksi. Seharusnya, menurut Neta, mereka itu bersembunyi, sebagaimana biasanya.
Atau, mungkin, maunya Neta, seharusnya para teroris itu tampak ketakutan, kakinya gemetaran sampai tak bisa berdiri, tangannya gemetaran sampai pistolnya lepas dari tangannya, sampai terkencing-kencing di jalan raya.
Apa yang janggal dari keberanian dan ketenangan itu, jika para teroris itu sudah dicuci otaknya dengan racun-racun radikalisme, dan dilatih khusus untuk itu.
Serangan teroris dengan pola yang sama sebelumnya sudah terjadi di Paris, November 2015 lalu, yang juga beraksi dengan terang-terangan, melibatkan banyak teroris di beberapa lokasi dalam waktu yang hampir bersamaan, mereka menembaki masyarakat yang sedang menonton konser, dan beberapa restoran, sehingga menewaskan ratusan orang.
Para analisis pakar terorisme mengatakan bahwa ISIS sekarang sudah mengubah strategi dan pola serangan mereka di seluruh dunia. Tidak lagi berpusat di Irak dan Suriah, tetapi ke seluruh dunia, tidak lagi sembunyi-sembunyi, tetapi terang-terangan, dan sasaran utamanya antara lain langsung kepada polisi.
Keempat, tentang muncul polemik antara BIN dan polisi bahwa ini ISIS atau bukan di balik serangan di Jakarta itu.
Apakah benar ada polemik seperti itu?
Faktanya, baik BIN, maupun Polri sejak awal sudah menyatakan ISIS di belakang serangan teroris itu. Kedua lembaga ini mentakan hal tersebut pada hari yang sama, 14 januari 2015, pasca terjadi serangan teroris di Thamrin, Jakarta itu.
Ini beritanya, silakan baca: Bom Sarinah, BIN: Pelaku Teror Kemungkinan Besar ISIS, dan Polri Pastikan ISIS di Belakang Teror Thamrin.
Kelima, tentang polisi yang tidak memaparkan tentang tim pengantar dan penjemput teroris tersebut. "Karena kalau kita lihat dari kondisinya sangat mustahil kalau teroris itu tiba-tiba muncul. Memang dia jelangkung tidak diantar dan dijemput," kata Neta.
Sebab, kata Neta, pihak kepolisian sempat menemukan ada kendaraan dengan pelat D. "Namun, temuan ini kan tidak dijelaskan. Polisi tidak transparan," katanya.
Memangnya, kalau teroris mau muncul itu, mereka harus bikin pengumuman lebih dulu? Yang namanya teroris beraksi, ya, pasti muncul secara tiba-tiba, langsung menembak, atau langsung meledakkan bom. Masa harus mengumumkan lebih dulu, supaya masyarakat sekitar dievakuasi dulu, atau  minta izin kepada polisi terlebih dahulu, seperti mau unjuk rasa saja?
Dan, apakah semua informasi tentang hasil penyelidikan polisi terkait teroris harus diumumkan kepada publik? Tidak, bukan? Ada yang boleh dikonsumsi publik, ada yang tetap menjadi rahasia intelijen polisi.
Jelaslah sudah, sesungguhnya, yang janggal itu bukan peristiwa terorisme itu atau polisi, tetapi yang janggal justru orang yang bernama Neta S Pane ini, kok seorang Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) bisa membuat analisa janggal bin konyol seperti itu, ya? Apakah karena dia tak ada bahan untuk menganalisa, ataukah ini sebagai dampak psikologis berat dari peristiwa terorisme itu sendiri yang dialami Neta S Pane? *****
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI