Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sentimen Agama dalam Pemilihan Pimpinan KPK

23 Desember 2015   11:13 Diperbarui: 23 Desember 2015   12:14 10392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain prihatin dengan rasa pesimis terhadap kualitas pimpinan KPK yang baru (baca tulisan saya sebelum ini), ternyata juga ada sisi lain yang juga mengundang rasa prihatin saya terhadap sikap sebagian anggota DPR ketika melakukan seleksi terhadap pimpinan KPK itu. Sebagian anggota DPR yang dimaksud adalah dari sejumlah partai Islam. Saat menentukan pimpinan KPK yang akan dipilih itu, ternyata mereka membawa-bawa sentimen agama. Mereka tidak berkenan dengan calon pimpinan KPK yang bukan beragama Islam.

Demikian informasi yang saya baca di Majalah Tempo edisi 21-27 Desember 2015. Tempo tidak menyebut secara detail partai apa yang dimaksud, tetapi yang sudah pasti salah satunya adalah PKS.

Ternyata pula sebelum melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan, fraksi-fraksi di Komisi III DPR itu sudah menentukan calon-calon mereka dengan sistem paket. Jadi, uji kelayakan dan kepatutan itu hanyalah formalitas belaka. Sebelum dilakukan, mereka sudah menentukan pilihannya. Setelah melakukan pembicaraan lintas fraksi, terdapat tiga paket calon pimpinan KPK, dengan kesepakatan bersama bahwa Agus Rahardjo dan Basaria Panjaitan harus dipilih.

Paket pertama, terdiri dari Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Saut Situmorang, dan Laode Muhammad Syarif. Paket kedua, terdiri dari Agus Rahardjo, Basaria, Alexander, Saut, dan Johan Budi. Paket ketiga, terdiri dari Agus Raharjo, Basaria, Saut, Laode, dan Roby Arya Brata.

PKS dan partai Islam lainnya yang tidak disebut Tempo, menolak paket-paket tersebut, karena di dalamnya terdapat calon yang bukan beragama Islam, apalagi bukan cuma satu, tetapi tiga. Nasir Djamil dari Fraksi PKS mengatakan, sebagai politikus partai Islam, dia ingin latar belakang agama menjadi pertimbangan memilih para calon.

Namun, akhirnya mereka kalah suara, dan terpilihlah lima Agus, Basaria, Alexander, Saut, dan Laode. Tiga dari lima nama ini, yaitu, Basaria, Alexander, dan Saut bukan beragama Islam (Kristen).

Hal ini kembali dipermasalahkan PKS ketika mereka harus menentukan siapa yang menjadi Ketua KPK. PKS menolak, jika yang dipilih adalah pimpinan KPK yang bukan beragama Islam. Kali ini keinginan mereka terkabul, tetapi bukan karena pertimbangan agama seperti mereka, mayoritas anggota DPR itu memilih Agus Rahardjo sebagai Ketua KPK yang baru. Demikianlah hasil akhirnya dari pimpinan KPK yang baru (2015-2019) seperti yang sudah kita ketahui bersama.

Sikap sejumlah partai Islam di DPR saat menentukan pilihan calon pimpinan KPK seperti itu patut disesalkan, sebab meskipun mereka adalah partai Islam, tetapi seharusnya tetap mengedepankan nasionalisme tanpa memandang latar belakang suku, agama dan ras dari para calon pimpinan KPK itu, ataupun pimpinan mana pun ketika itu merupakan wewenang DPR untuk menilai dan memilihnya. Dasar penilaian untuk memilih calon pimpinan mana pun itu harus berdasarkan aspek-aspek yang obyektif, utamanya rekam jejak, integritas, dan kemampuan (kapabilitas).

UUD 1945 dengan tegas menyatakan semua warganegara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan, tanpa pengecualian apa pun. Berdasarkan konstitusi itu, maka seharusnya, jika memang para anggota DPR itu punya jiwa kenegarawaan, maka pilihan yang mereka lakukan itu berdasarkan asas obyektifitas, integritas, dan kapabilitas calon. 

Tetapi, mau bilang apa lagi, karena mereka memang bukan negarawan, maka konstitusi pun dilupakan, asas kepentingan partai dan kelompokkan pun selalu yang nomor satu. Pimpinan KPK yang dipilih pun yang sesuai dengan semangat mereka merevisi UU KPK sekaligus melemahkannya.

Ketika menjadi pembicara di Kompasianival 2015, Minggu, 13/12/2015 lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan bahwa salah satu syarat paling penting kemajuan suatu bangsa adalah dalam memilih seorang pimpinan yang dilihat adalah kemampuannya, dan integritasnya, bukan apa suku dan agamanya (yang harus sama dengan kita). Itulah cara berpikir progresif seorang pejabat negara.*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun