Kebijakan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang melalui Kementeriannya, pada Kamis (17/12/2015) sempat mengumumkan larangan beroperasinya moda transportasi berbasis aplikasi internet, seperti Go-Jek, Uber, dan GrabTaxi, membuktikan masih ada pejabat tinggi negara yang cara berpikirnya masih sangat kaku, zakelijk, formalistik, letterlijk, terpasung hanya pada ketentuan hukum tertulis, tidak memperhitungkan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang terjadi di masyarakat.
Tak heran, begitu pengumuman itu diumumkan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono, pada Kamis itu, spontan mendapat reaksi negatif yang sangat cepat dan bertubi-tubi dari masyarakat, terutama dari netizen di dunia maya. Hashtag (tagar) #SaveGojek pun sempat menjadi trendic topic di Twitter. Kenapa “Go-Jek”? Karena memang di antara sekian banyak transportasi berbasis aplikasi itu Go-Jek-lah yang paling populer, dan yang paling dibutuhkan masyarakat perkotaan daripada yang lain.
Tulisan ini juga lebih fokus kepada moda transportasi ojek daripada taksi, yang lebih menonjolkan kontroversialnya dan kurang begitu dibutuhkan masyarakat pada umumnya.
Presiden Jokowi pun cepat tangap. Dia langsung bercuit di akun Twitter-nya menyatakan ketidaksetujuan atas kebijakan yang diambil Menhub Ignasius itu, alasannya, karena ojek dibutuhkan rakyat. Dia memerintahkan Ignasius agar mencabut kembali peraturan tersebut, dan segera akan memanggilnya. Setelah cuitannya itu, Jokowi masih beberapakali menyatakan hal yang sama tentang kebijakan kontroversial Ignasius itu melalui beberapa kali keterangannya kepada wartawan, di akun Face Book-nya, dan di situs www.presidenri.go.id.
Ini, membuktikan Jokowi benar-benar serius dengan kasus ini.
Hanya sehari umur pengumuman Menteri Perhubungan itu, Ignasius pun mematuhi perintah Presiden, dengan mencabutnya pada Jumat siang (18/12/2015).
Dilihat dari dasar pertimbangan yang membuat Menhub Ignasius Jonan mengeluarkan pengumuman yang melarang transportasi berbasis teknologi internet (aplikasi) itu tak diragukan lagi bahwa Ignasius memang tipe menteri yang kurang mengikuti perkembangan zaman. Zaman sudah berubah, ia masih berkutat dengan cara-cara berpikir konvensional.
Dia kurang berkomunikasi dengan masyarakat untuk mengetahui perkembangan sosial dan kebutuhan masyarakat masa kini yang terus berkembang seiring dengan berkembangnya tingkat kemampuan ekonomi, kebutuhan hidup dan teknologi.
Sementara itu, dia juga merupakan tipe pejabat yang, seperti saya sebutkan di atas terlalu kaku pada peraturan hukum yang berlaku, hanya berpegang kepada ketentuan-ketentuan tertulis di dalam undang-undang (letterlijk), kurang punya inovasi, untuk bisa mengaitkan antara hukum dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat (perubahan sosial).
Saya masih ingat di Kompasianival 2014 lalu, di Gedung Sasono Utomo dan Sasono Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Ignasius Jonan yang menjadi salah satu pembicara waktu itu, pernah mengakui bahwa dia kurang tertarik dengan media sosial. Padahal, di masa kini peran media sosial semakin lama semakin penting. Dari media sosial pula kita, termasuk pejabat tinggi negara bisa mengetahui tren dan kebutuhan-kebutuhan baru apa yang berkembang di masyarakat. Dari media sosial bisa diketahui perubahan-perubahan sosial di dalam suatu masyarakat.