Berbincang-bincang santai Presiden Jokowi dengan para kompasianer, di Istana Negara, Sabtu, 12/12/2015 (sumber:Facebook Jokowi)
Sesi terakhir di acara santap siang Presiden Jokowi bersama 100 kompasianer di Istana Negara, Sabtu, 12 Desember 2015 lalu itu adalah sesi yang paling ditunggu-tunggu para kompasianer, yaitu foto bersama Presiden Jokowi.
Oleh pihak Sekretariat Negara diatur cara foto bersama Jokowi itu adalah per meja. Setiap meja itu terdiri dari 5-6 orang kompasianer, tiap-tiap meja inilah yang secara bergiliran foto bersama Jokowi. Meja saya dan kawan-kawan lainnya berada di urutan kedua, setelah meja Jokowi dengan perwakilan dari kompasianer (Tjiptadinata Effendi dan Christie Damayanti), Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, dan beberapa lainnya.
Saat giliran foto saya dan kawan-kawan semeja, sebelum ada yang maju, saya sudah maju duluan sendirian, maka saya sempat hanya berdua dengan Jokowi. Kesempatan itu saya gunakan untuk berbicara sejenak dengan Jokowi.
Saya memperkenalkan diri, saya bilang, “Pak Jokowi, saya dari Papua.”
Jokowi berkata, “Oh, ya? Papua mana?”
Saya jawab, “Fakfak, Pak. Bapak harus ke Fakfak, Pak! Lihat Fakfak, itu kota paling kecil (tertinggal pembangunannya) di Papua.”
Jokowi tersenyum, dan berkata, “Bulan Desember ini saya sudah diagendakan untuk ke Sorong, Merauke, dan ... (saya lupa satunya lagi, kalau tidak salah, Timika).”
Lalu, Jokowi bertanya kepada saya, “Kalau ke Fakfak itu harus lewat mana?”
Saya menjawab, “Sorong.”
Maksud saya, seandainya saja Jokowi mau ke Fakfak, bisa langsung dari Sorong, karena paling dekat (dengan pesawat ATR hanya 45 menit perjalanan). Siapa tahu setelah mendengar permintaan saya itu, Jokowi tertarik, lalu menambah agenda kunjungannnya ke Papua itu dengan juga mengunjungi Fakfak.
Dialog singkat itu terhenti, karena kawan-kawan sudah merapat untuk foto bersama.
Padahal, saya sebenarnya masih mau bilang juga kepada Jokowi tentang program tol lautnya, yang masih tidak efektif, sebagaimana pernah saya tulis di Kompasiana, dengan tulisan berjudul Mempertanyakan Tol Laut Jokowi .
Maksud saya meminta Jokowi blusukan ke Fakfak untuk melihat kondisi kota kelahiran dan tumbuh kembang saya sampai lulus SMP itu adalah karena, seperti yang saya bilang, Fakfak adalah salah satu kota kabupaten paling kecil di Papua alias paling ketinggalan pembangunannya. Dari dahulu, ketika masih membawahi Timika dengan Tembagapura-nya (Freeport), sampai sekarang, sudah puluhan tahun, nyaris tidak ada pembangunan yang berarti di sana.
Bayangkan saja dibandingkan dengan sekitar 40 tahun yang lalu, ketika saya masih SD dengan sekarang, Fakfak nyaris tak ada perubahan yang signifikan. Saya terakhir meninggalkan Fakfak 20 tahun lalu, saat saya “mudik” ke sana pada 2013 lalu, saya tidak melihat perbedaan signifikan perkembangan kota antara Fakfak di masa saya masih SD di sana itu dengan Fakfak di masa sekarang. Sepertinya, Fakfak 40 tahun yang lalu, sama dengan Fakfak sekarang! Padahal seperti daerah-daerah lainnya di Papua, Fakfak juga kaya dengan sumber daya alamnya.
Sekadar contoh saja, untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dan ayam, sampai telur ayam, misalnya, harus selalu “diimpor” dari Surabaya, Jawa Timur, dengan harga jual yang jauh lebih mahal daripada di Jawa. Proses pengiriman barang-barang itu, mulai dari pengapalan sampai dengan tiba di Fakfak rata-rata memerlukan waktu sekitar 2 minggu, sampai ke tangan konsumen tentu lebih lama lagi. Dengan demikian kesegaran produk tersebut sudah berkurang banyak.
Tol Laut, program Jokowi itu, yang sudah mulai berlayar pada 14 November lalu, nyaris tidak membawa dampak apa-apa. Selain tetap saja memerlukan proses waktu yang lamanya sama dengan pengiriman barang biasa dengan kapal swasta, selisih biaya pengirimannya sampai di gudang pemilik barang pun tidak berarti. Alhasil, ya, harga jual barangnya tetap sama saja.
Pembangunan Kabupaten Fakfak yang bisa dilihat, jika itu mau dikatakan sebagai pembangunan adalah reklamasi pantai Fakfak. Ironisnya, reklamasi pantai itu sepertinya dilakukan asal jadi, tanpa studi kelayakan dan AMDAL, serta tanpa blue print penataan pembangunan jalan raya, pengaturan sirkulasi air laut, dan gedung-gedung di atasnya.
Sehingga yang terjadi, malah merusak lingkungan dan estetika pantai Fakfak. Pantai Fakfak yang dahulunya begitu indah, berubah menjadi gersang dan ambur-adul, kumuh, dan kotor. Jalan rayanya selalu dalam kondisi rusak parah.
Dulu, di pantai Fakfak itu digunakan olah masyarakat setempat untuk rekreasi laut, berenang, mendayung sampan-sampan tradisional, memancing ikan dan cumi-cumi, dan sebagainya.
Itulah alasannya, saya bilang kepada Presiden Jokowi, seharusnya dia blusukan ke Fakfak, melihat kota kelahiran saya yang semakin memprihatinkan itu. Kalau Sorong, Merauke, apalagi Timika, itu adalah kota-kota yang pesat pembangunannya. Tiga kota itu termasuk kota paling maju dan moderen di Papua, tidak terlalu beda jauh pembangunannya dengan kota-kota menengah di Jawa. Sorong yang berjuluk “Kota Minyak” sudah berstatus Kota yang dipimpin oleh seorang Walikota, bukan bupati.
Siapa tahu, dengan hasil blusukan-nya ke Fakfak itu, Fakfak akan berubah menjadi salah satu kota yang maju dan merupakan bagian dari "Indonesia Juara"!*****
Artikel terkait:
Bernostalgia di Fakfak, Papua Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H