Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Blunder Advokat Pengemudi Lamborghini

5 Desember 2015   16:30 Diperbarui: 5 Desember 2015   23:30 3855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tindakan Advokat Amos Hz Taka atas nama kliennya Wiyang Lautner, memuat iklan peringatan yang bernada ancaman kepada media dan masyarakat di koran Jawa Pos itu sungguh merupakan suatu blunder, kesalahan yang konyol. Iklan tersebut kini menjadi bumerang bagi pihaknya.

Seperti yang sudah diketahui Wiyang Lautner (24) adalah pengemudi supercar Lamborghini Gallardo, yang menabrak sampai tewas seorang warga di Jalan Manyar Kertoarjo, Surabaya, Minggu, 29 November 2015. Media pun ramai memberitakan kejadian tersebut, lebih ramai lagi di media sosial, dengan berbagai komentar dan opininya, termasuk di Kompasiana.

Lalu, di koran Jawa Pos edisi Kamis, 3/12/2015, muncul iklan mencolok mata, setengah halaman: Advokat Amos Hz Taka bertindak untuk dan atas nama kliennya Wiyang Lautner memperingatkan kepada media dan masyarakat (termasuk pengguna sosial media) agar jangan lagi memberitakan/menyatakan (beropini) hal-hal negatif tentang kasus tersebut tanpa bukti-bukti yang kuat, yang dapat merugikan kliennya. Kemudian diikuti dengan pernyataan bernada ancaman: Jika hal tersebut masih dilakukan, maka pihaknya akan menempuh jalur hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud tentu adalah media dan masyarakat dimaksud akan dituntut secara hukum.

Yang dimaksud dengan pemberitaan/pernyataan negatif tentang kasus itu adalah yang tidak sesuai dengan klaim-klaim kebenaran pihak kliennya,  Wiyang Lautner, disebut perinciannya di iklan itu, yakni (kutipannya):

  1. Bahwa kondisi klien kami saat kejadian kecelakaan pada hari Minggu, tertanggal 29 November 2015, dalam keadaan sehat (sesuai dengan tes Laboratorium RS. Bhayangkara) sehingga kecelakaan yang terjadi adalah benar-benar musibah yang setiap orang dapat mengalaminya;
  2. Bahwa kejadian kecelakaan yang terjadi pada hari Minggu, tertanggal 29 November 2015 adalah bukan ajang kebut-kebutan atau balapan;
  3. Bahwa dikarenakan kondisi jalan di sekitar Jalan Manyar Kertoarjo Surabaya tergenang air karena habis hujan (kondisi jalan licin), musibah kecelakaan yang terjadi selip, sehingga ban roda kanan belakang terbentur trotoar mengakibatkan roda kanan belakang terkunci sehingga laju kendaraan diluar kendali klien kami;
  4. Bahwa antara klien kami dengan korban telah terjadi kesepakatan, bahwa kejadian tersebut adalah musibah dan terjadi Perdamaian.

 

Bumerang

Kenapa saya sebutkan tindakan advokat itu memasang iklan tersebut adalah suatu tindakan blunder, dan kesalahan yang konyol?

Karena iklan itu bukannya menguntungkan kliennya, tetapi sebaliknya sangat merugikan kliennya. Iklan itu menjadi bumerang, yang berbalik menghantam kliennya sendiri. Iklan tersebut telah dinilai publik sebagai suatu bagian dari arogansi orang berduit, dan  telah mengintimdasi secara terbuka kepada media dan masyarakat (pengguna media sosial), iklan itu adalah iklan yang “mencari musuh”, rasa simpatik yang mungkin ada pada sebagian masyarakat kepada Wiyang, kini berbalik menjadi antipati.

Iklan tersebut telah memicu kegusaran berbagai pihak, bukan hanya media dan masyarakat (pengguna sosial media) yang menjadi sasaran iklan itu, tetapi juga pihak-pihak lainnya (yang terkait), seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan bahkan organisasi advokat Peradi.

Percuma pihak Wiyang membayar iklan itu mahal-mahal, karena bukan hanya gagal “menakut-nakuti” wartawan dan masyarakat pengguna media sosial, yang terjadi justru membuat posisi Wiyang semakin tersudut. Masyarakat yang sudah mulai melupakan kasus itu, terpicu kembali emosinya, memancing mereka kembali memperhatikan dan mengawasi kasus itu, dan menuntut polisi untuk bekerja secara profesional dan adil, tak berpihak.

Amos Taka atas nama kliennya Wiyang Lautner memperingatkan media dan masyarakat (pengguna media sosial) agar jangan mencoba-coba lagi memberitakan dan menyatakan hal-hal negatif yang dapat merugikan kliennya itu, ironisnya justri iklannya itu yang telah merugikan kliennya.

Adalah jauh lebih bijak, jika pihak Wiyang melakukan langkah yang persuasif, seperti mengadakan konferensi pers, atau pemuatan di media pernyataan yang menjelaskan duduk perkara sebenarnya menurut versi mereka, tanpa embel-embel peringatan dan ancaman seperti itu.

Jika tidak puas, dan tak bisa menerima pemberitan media, maka langkah hukum yang benar adalah melaporkan media yang bersangkutan  ke Dewan Pers. Dewan Pers-lah yang akan memeriksa kasus itu, apakah telah terjadi pelanggaran di dalamnya ataukah tidak, apakah sebatas pelanggaran etika pers ataukah sudah menjurus ke tindak pidana. Jika menjurus ke tindak pidana, Dewan Pers dapat menyerahkan kasus itu ke kepolisian untuk ditindaklanjuti.

Iklan itu pun menjadi masalah, menjadi pemberitaan berbagai media, termasuk televisi, menjadikan kasus itu kembali memanas, disertai dengan pemuatan dan penayangan berbagai komentar dan kecaman terhadap Amos Taka,  advokat yang memasang iklan itu.

Peradi menyayangkan munculnya iklan bernada ancaman itu, karena advokat tidak memiliki wewenang menghalangi media dalam memberitakan suatu peristiwa sesuai fakta. Media mempunyai hak memberitakan peristiwa apapun sesuai fakta untuk kepentingan publik, dan itu sesuai serta dilindungi oleh undang-undang.

Menurut Humas Peradi Zul Armain Aziz, media bisa saja melaporkan Advokat Amos Taka ke Peradi atas pemuatan iklan bernada ancaman itu, untuk ditindaklanjuti (Koran Jawa Pos, Jumat, 4/12/2015).

Sedangkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur juga mengecam iklan itu. "Kami sangat menyayangkan isi di dalam iklan tersebut karena berbau ancaman terhadap kebebasan pers. Itu tidak bisa dibenarkan, melanggar Pasal 4 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999," ujar Ketua PWI Jatim, Akhmad Munir, di Surabaya pada Kamis 3 Desember 2015.

Menurut Munir, itu preseden buruk. Ancaman tersebut sama halnya menghalang-halangi tugas jurnalistik. "Itu ada sanksi pidana dua tahun dan denda 500 juta," ujarnya.

Munir menambahkan, isi iklan itu juga sebuah model baru dan bentuk arogansi terhadap media, yakni pengekangan terhadap profesi wartawan yang di dalamnya mengandung perlindungan wartawan.

"Kalau dulu ancaman kita adalah sistem politik, sekarang ancamannya adalah orang berduit," kata Munir yang juga Kepala LKBN Antara Biro Jatim.

Sengketa pers, katanya, sudah diatur mekanismenya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bahwa setiap sengketa atau delik pidana pers itu diproses dan diselesaikan melalui Dewan Pers dengan didahului menggunakan hak jawab.

"Bahkan Dewan Pers telah menandatangani nota kesepahaman dengan Kejaksaan dan Polri bahwa penyelesaian sengketa pers diselesaikan di Dewan Pers. Rupanya pengacara itu tidak memahami hal tersebut," katanya (Viva.co.id).

 

Mendahului Hasil Penyelidikan Polisi

Selain blunder, isi iklan itu pun mengandung kotradiksi, dan seolah-olah advokatnya sendiri kurang paham hukum. Contohnya mengenai hukum pers sebagaimana disebut di atas.

Amos Taka atas nama kliennya Wiyang Lautner memperingatkan media dan masyarakat (pengguna media sosial) agar jangan mencoba-coba lagi memberitakan dan menyatakan hal-hal negatif yang dapat merugikan kliennya itu, atas dasar empat hal yang diklaimnya sebagai suatu kebenaran, yaitu:

  1. Bahwa kecelakaan tersebut adalah suatu musibah, bukan karena kelalalain kliennya;
  2. Bahwa kecelakaan tersebut bukan akibat dari ajang kebut-kebutan atau balapan;
  3. Bahwa karena kondisi jalan yang licinlah yang mengakibatkan ban Lamborghini yang dikemudikan kliennya itu mengalami selip ban, lalu ban roda kanan belakang terbentur trotoar mengakibatkan roda kanan belakang terkunci sehingga laju kendaraan diluar kendali kliennya;
  4. Bahwa antara kliennya dengan (keluarga) korban telah terjadi kesepakatan, bahwa kejadian tersebut adalah musibah dan telah terjadi perdamaian.

Sangat jelas empat poin pernyataan tersebut di atas, terutama sekali poin 1-3 merupakan suatu kesimpulan yang terlalu dini dan mendahului hasil penyelidikan polisi.

Saat penyelidikan polisi atas kecelakaan itu masih sedang berlangsung, iklan dengan pernyataan klaim kebenaran sepihak itu telah diumumkan. Lalu, atas dasar klaim sepihak itu, Amos atas nama kliennya memperingatkan dan mengancam media dan masyarakat untuk tidak menyampaikan berita (atau opini) yang bertentangan dengan keempat poin tersebut. Padahal polisi saja belum selesai dengan penyelidikannya itu sendiri, oleh karena itu polisi juga belum mengumumkan hasilnya. Bagaimana bisa, Amos atas nama kliennya mengklaim poin-poin tersebut di atas sebagai suatu kebenaran hukum?

Sebaliknya ada pengakuan kepada polisi antara kliennya dengan temannya yang bernama Bambang, yang mengemudi Ferrari, terdapat kejanggalan. Ferrari Bambang sempat melaju mendahului Lamborghini Wiyang, sebelum kecelakaan itu terjadi, logikanya kecepatan Bambang pasti lebih cepat daripada Wiyang. Tetapi Wiyang mengaku kepada polisi kecepatannya hanya 70 km/jam, sedangkan Bambang mengaku kecepatan Ferrarinya hanya 50 km/jam. Bagaimana mungkin kecepatan kendaraan 50 km/jam itu bisa mendahului kendaraan yang melaju dengan kecepataan 70 km/jam?

Klaim bahwa ban Lamborghini terbentur trotoar juga bertentangan dengan fakta di lapangan, karena di lokasi tidak ada bentuk trotoar sebagaimana biasanya yang bisa mengakibatkan ban mobil itu terbentur. Karena “trotoar”-nya landai dari halaman parkir sampai sama rata dengan jalanan (lihat foto yang saya ambil dari Google Street di bawah ini).

 

 

Juga apakah mungkin mobil sekelas supercar Lamboghini sedemikian mudah terkunci bannya, dengan demikian tingkat keselamatan mengemudinya begitu rendah? Hanya tim ahli dari Lamborghini-lah yang bisa menyelidiki dan menyimpulkannya. Polisi sudah menggunakan jasa tim teknis Lamborghini dari Jakarta untuk penyelidikan tersebut, hasilnya? Di siaran Metro TV Hari Ini, Sabtu (5/12), saat ditanya wartawan, salah seorang tim ahli itu mengatakan, tidak ada roda Lamborghini itu yang terkunci!  

Sedangkan pernyataan poin keempat seolah-olah menyiratkan dengan telah terjadilah kesepakatan dan perdamaian dengan pihak (keluarga) korban, maka kasus itu sudah selesai secara hukum, padahal tidak ada satu pasal pun di Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang menyatakan kesepakatan dan perdamaian dapat menghentikan kasus pidananya.

Kasus kecelakaan lalu-lintas termasuk suatu peristiwa pidana, dan sebagaimana kasus pidana lainnnya, maka tidak dikenal perdamaian dapat menyelesaikan atau menghentikan kasus pidananya. Para pihak boleh saja berdamai, bahkan sekalipun pihak penabrak telah memberi santunan kepada (keluarga) korban dengan sejumlah uang, tetapi kasus pidananya harus tetap terus diproses sebagaimana mestinya (sampai ke tingkat pengadilan).

Pemberian bantuan, dan pembayaran santunan kepada (keluarga) korban bahkan sudah merupakan suatu kewajiban bagi pihak penabrak, bukan semata-mata atas kehendak bebasnya.

Pasal 230 UU LLAJ: Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara  peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan  perundang-undangan.

Pasal 235 (1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

(2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

**

Iklan itu ditutup dengan pernyataan terima kasih kepada Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya yang telah menangani masalah ini secara profesional dan proporsional. Pihaknya menghormati proses-proses hukum yang berlaku, dan akan taat sesuai peraturan yang berlaku.

Padahal dengan mendahului hasil penyelidikan polisi sebagaimana dijelaskan di atas itu, dapat dianggap bahwa pihak Advokat Amos Taka atas nama kliennya itu tidak menghormati proses penyelidikan polisi yang sedang berlangsung.

Pihak Amos atas nama kliennya mengucapkan terima kasih kepada Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, sayangnya tiada terima kasih yang diucapkan untuk warga sekitar yang telah banyak membantu ketika musibah itu baru saja terjadi, termasuk membantu Wiyang Lautner. 

Alangkah lebih baik lagi jika mau beriklan, yang disampaikan adalah ucapan permintaan maaf kepada keluarga korban. Tetapi, lebih baik lagi, jika tidak pakai iklan beriklan seperti ini, karena itu berlebihan. Biarlah proses hukumnya berjalan sebagaimana mestinya, dan didampingi penasihan hukum sebagaimana secara wajar saja.

Perkembangan terakhir, di berita petang Metro TV Hari Ini (Sabtu, 5/12), menyebutkan karena telah dinyatakan sehat, hari ini, Wiyang Lautner, telah dimasukkan ke dalam tahanan Polrestabes Surabaya, sambil menunggu proses hukum selanjutnya (pengadilan)*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun