Kini, kasusnya sangat jauh berbeda. Rekaman percakapan itu sudah pasti akan akan menjadi bukti yang tak terbantahkan mengenai adanya percakapan dan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden itu. Tidak ada cara lagi buat MKD untuk bermanuver untuk melakukan perlindungan dan kamuflase sidang seperti itu. Apalagi rekaman percakapan dalam bentuk flash disc yang diduga dilakukan pada 18 Juni 2015 itu sudah diserahkan pihak Sudirman Said kepada MKD. Jika MKD nekad melakukannya, mereka juga akan “disidangkan” publik. Bilaman perlu, jika kelak kasus ini benar-benar masuk ke ranah hukum pidana, mereka juga ikut diseret.
Desakan publik agar Setya Novanto mundur atau dipecat sebagai Ketua dan anggota DPR RI pun semakin kuat. Masyarakat NTT yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Flores Sumba Timor dan Alor (FKM Flobamora), yang merupakan konstituen Setya di DPR pun mendesak agar Setya turun dari jabatannya sebagai Ketua, maupun anggota DPR RI. Sedangkan petisi publik di Change.org, yang baru dibuka pada 17 November lalu, oleh A Setiawan Abadi, saat artikel ini ditulis sudah mendapat dukungan suara sebanyak 43.625 suara mendesak Setya Novanto segera dipecat dari jabatannya sebagai Ketua maupun anggota DPR RI. Angka tersebut pun dengan sangat cepat detik demi detik terus bertambah.
Jika hasil rekaman tersebut benar-benar membuktikan semua yang ditudingkan kepada Setya Novanto, maka tidak ada pilihan lain bagi MKD untuk menjatuhkan sanksi terberatnya kepada Setya Novanto, yaitu pemecatannya sebagai Ketua, maupun anggota DPR. Jika itu sampai terjadi, maka dapat dipastikan Setya Novanto benar-benar akan “habis”. Apalagi jika Golkar benar-benar menepati janjinya untuk juga memecat Setya dari keanggotaa Golkar, dan pembekingnya yang terkuat selama ini, Aburizal Bakrie, demi citra dirinya maupun partainya ikut lepas tangan terhadap Setya. Maka, Setya Novanto “the untouchable” akan berpotensi besar mengalami nasib seperti Al Capone, sebagaimana diceritakan di film “The Untouchables” tersebut di atas.
KPK pun dengan segala senang hati sudah menyatakan siap untuk mengusut kasus Setya Novanto itu dari aspek hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan dugaan tindak korupsi dan gratifikasi. Jika KPK sudah berhasil “memegang” Setya Novanto, maka besar kemungkinan akan muncul pula berbagai kasus-kasus baru lainnya yang selama ini tidak diketahui publik. Demikian juga kasus-kasus lamanya yang selama ini dibiarkan menggantung tanpa kepastian hukum seperti yang disebutkan di atas, yaitu kasus cessie Bank Bali, proyek E-KTP, kasus penyelundupan 60.000 ton beras Vietnam, proyek PON Riau 2012, dan sebagainya, akan disusut kembali secara tuntas. Seperti dalam kasus-kasus lainnya, biasanya jika kasus ini sudah diperiksa KPK, maka akan bermunculan pula “kasus-kasus ikutan” lainnya, yang bisa saja melibatkan lebih banyak tokoh-tokoh penting lainnya.
KPK dapat memeriksa kasus Setya Novanto ini dengan berdasarkan beberapa pasal pada undang-undang antikorupsi, di antaranya Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Pasal 15: Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.