Senin, 12 Oktober 2015, seorang guru di SMA Negeri 7, Kecamatan Moti, Kota Ternate, Maluku Utara memukul seorang muridnya dengan mistar kayu sampai meninggal dunia (Kompas.com). Gara-garanya, karena murid itu salah mengenakan seragam, hari itu dia mengenakan seragam olah raga, padahal seharusnya hari itu memakai seragam batik. Murid itu dipanggil, dimarahi, lalu ditampar. Merasa ditantang, guru itu mengambil sebuah mistar kayu sepanjang 66 cm, lalu memukulkannya di bagian belakang kepala si murid. Murid itu jatuh pingsan, dari hidungnya keluar darah. Saat dilarikan ke rumah sakit, dia meninggal dunia.
Guru itu mungkin saja adalah masalah dengan kepribadian atau kejiwaannya. Kalau guru yang normal, masakan cuma salah pakai seragam saja, muridnya dipukul seperti itu? Menghukum murid secara fisik dengan cara dipukul saja sudah merupakan suatu pelanggaran hukum (penganiayaan), apalagi cara pemeukulan seperti itu. Muridnya juga sudah SMA, wajar jika menunjukkan sikap tidak senang diperlakukan secara berlebihan seperti itu.
Membaca berita ini, saya teringat dengan pengalaman saya dahulu waktu di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Fakfak, Irian Jaya (Papua Barat), pernah punya guru yang saya yakini adalah orang yang punya kelainan jiwa. Dia sangat sensitif, sangat gampang tersinggung untuk hal-hal yang tidak seharusnya membuat orang tersinggung. Kalau sudah tersinggung, maka langsung tangannya “jalan,” main tampar murid-murid yang yang membuat dirinya merasa tersinggung itu.
Setiap kali dia mengajar di depan kelas, jangan coba-coba ada di antara murid-muridnya yang mengobrol, biarpun hanya sebentar saja. Jika ada yang mengobrol, dia akan marah, lalu memanggil mereka ke depan kelas, dia langsung menuding mereka yang mengobrol itu menjelek-jelekkan dia. “Kalian ngomongin saya apa, ha?!” Tanpa menunggu jawaban, langsung dia menampar mereka beberapakali. Setelah itu disuruh duduk kembali, dan melanjutkan pengajarannya seperti biasa.
Saya sendiri bersama sepupu saya pernah menjadi korbannya. Waktu itu, ketika guru itu sedang berada di depan kelas untuk mengajar, saya mengatakan sesuatu kepada sepupu saya yang duduk semeja dengan saya (kelas kamu menggunakan meja-meja panjang yang masing-masing berkapasitas dua orang murid). Saya lupa apa yang saya katakan itu, tetapi yang pasti secuil pun tidak ada hubungan dengan guru itu. Baru saja sepupu saya selesai menjawab saya, kami berdua dipanggil ke depan kelas. Seperti biasa, dia pun menuding kami membicarakan kejelekan dia, lalu “plak”, “plak” kami pun ditamparnya.
Kalau lagi kambuh level tinggi, murid yang menjadi korbannya bisa menderita lebih parah. Bukan hanya ditampar 2-3 kali seperti kami. Tetapi malah dipukul, ditinju berkali-kali, seperti sansak hidup. Murid-murid pun takut dengannya.
Bukan hanya murid-muridnya yang menjadi korban. Koleganya sesama guru pun pernah menjadi korban kelainan jiwanya itu.
Pernah, suatu ketika beberapa guru bersama-sama sedang berada di ruang guru, termasuk dia, ada guru di dekatnya yang mengobrol dengan guru lain. Tiba-tiba saja dia mengambil minuman tehnya dan menyiram mereka, lalu berdiri menantang mereka berkelahi. Dia menuding dua koleganya itu membicarakan hal-hal jelek mengenainya.
Sampai suatu ketika ada sekitar 3-5 murid sekaligus yang menjadi korban pemukulannya sampai menderita luka-luka memar. Mereka bukan hanya ditampar, tetapi dipukul berkali-kali, ditinju bertubi-tubi dari depan kelas sampai ke belakang kelas, kembali lagi ke depan kelas. Gara-garanya sama, mereka dituding membicarakan hal-hal jelek mengenainya. Murid-murid yang lain diam, gemetar ketakutan.
Ketika anak-anak itu pulang ke rumahnya masing-masing, orangtuanya heran melihat memar-memar di wajah anak-anaknya itu. Setelah didesak barulah anak-anak itu menceritakan kejadian dipukul gura itu. Tidak terima, para orangtua pun mendatangi sekolah, protes, dan menuntut guru itu dipecat.
Saya lupa, apakah saat itu juga guru itu dipecat. Yang pasti guru itu memang akhirnya dipecat karena semakin seringnya kasus dia menganiaya para murid, dan sering juga berselisih paham dengan sesama guru.