Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman Punya Guru Sakit Jiwa

15 Oktober 2015   00:55 Diperbarui: 15 Oktober 2015   01:29 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senin, 12 Oktober 2015, seorang guru di SMA Negeri 7, Kecamatan Moti, Kota Ternate, Maluku Utara memukul seorang muridnya dengan mistar kayu sampai meninggal dunia (Kompas.com). Gara-garanya, karena murid itu salah mengenakan seragam, hari itu dia mengenakan seragam olah raga, padahal seharusnya hari itu memakai seragam batik. Murid itu dipanggil, dimarahi, lalu ditampar. Merasa ditantang, guru itu mengambil sebuah mistar kayu sepanjang 66 cm, lalu memukulkannya di bagian belakang kepala si murid. Murid itu jatuh pingsan, dari hidungnya keluar darah. Saat dilarikan ke rumah sakit, dia meninggal dunia.

Guru itu mungkin saja adalah masalah dengan kepribadian atau kejiwaannya. Kalau guru yang normal, masakan cuma salah pakai seragam saja, muridnya dipukul seperti itu? Menghukum murid secara fisik dengan cara dipukul saja sudah merupakan suatu pelanggaran hukum (penganiayaan), apalagi cara pemeukulan seperti itu. Muridnya juga sudah SMA, wajar jika menunjukkan sikap tidak senang diperlakukan secara berlebihan seperti itu.

Membaca berita ini, saya teringat dengan pengalaman saya dahulu waktu di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Fakfak, Irian Jaya (Papua Barat), pernah punya guru yang saya yakini adalah orang yang punya kelainan jiwa. Dia sangat sensitif, sangat gampang tersinggung untuk hal-hal yang tidak seharusnya membuat orang tersinggung. Kalau sudah tersinggung, maka langsung tangannya “jalan,” main tampar murid-murid yang yang membuat dirinya merasa tersinggung itu.

Setiap kali dia mengajar di depan kelas, jangan coba-coba ada di antara murid-muridnya yang mengobrol, biarpun hanya sebentar saja. Jika ada yang mengobrol, dia akan marah, lalu memanggil mereka ke depan kelas, dia langsung menuding mereka yang mengobrol itu menjelek-jelekkan dia. “Kalian ngomongin saya apa, ha?!” Tanpa menunggu jawaban, langsung dia menampar mereka beberapakali. Setelah itu disuruh duduk kembali, dan melanjutkan pengajarannya seperti biasa.

Saya sendiri bersama sepupu saya pernah menjadi korbannya. Waktu itu, ketika guru itu sedang berada di depan kelas untuk mengajar, saya mengatakan sesuatu kepada sepupu saya yang duduk semeja dengan saya (kelas kamu menggunakan meja-meja panjang yang masing-masing berkapasitas dua orang murid). Saya lupa apa yang saya katakan itu, tetapi yang pasti secuil pun tidak ada hubungan dengan guru itu. Baru saja sepupu saya selesai menjawab saya, kami berdua dipanggil ke depan kelas. Seperti biasa, dia pun menuding kami membicarakan kejelekan dia, lalu “plak”, “plak” kami pun ditamparnya.

Kalau lagi kambuh level tinggi, murid yang menjadi korbannya bisa menderita lebih parah. Bukan hanya ditampar 2-3 kali seperti kami. Tetapi malah dipukul, ditinju berkali-kali, seperti sansak hidup. Murid-murid pun takut dengannya.

Bukan hanya murid-muridnya yang menjadi korban. Koleganya sesama guru pun pernah menjadi korban kelainan jiwanya itu.

Pernah, suatu ketika beberapa guru bersama-sama sedang berada di ruang guru, termasuk dia, ada guru di dekatnya yang mengobrol dengan guru lain. Tiba-tiba saja dia mengambil minuman tehnya dan menyiram mereka, lalu berdiri menantang mereka berkelahi. Dia menuding dua koleganya itu membicarakan hal-hal jelek mengenainya.

Sampai suatu ketika ada sekitar 3-5 murid sekaligus yang menjadi korban pemukulannya sampai menderita luka-luka memar. Mereka bukan hanya ditampar, tetapi dipukul berkali-kali, ditinju bertubi-tubi dari depan kelas sampai ke belakang kelas, kembali lagi ke depan kelas. Gara-garanya sama, mereka dituding membicarakan hal-hal jelek mengenainya. Murid-murid yang lain diam, gemetar ketakutan.

Ketika anak-anak itu pulang ke rumahnya masing-masing, orangtuanya heran melihat memar-memar di wajah anak-anaknya itu. Setelah didesak barulah anak-anak itu menceritakan kejadian dipukul gura itu. Tidak terima, para orangtua pun mendatangi sekolah, protes, dan menuntut guru itu dipecat.

Saya lupa, apakah saat itu juga guru itu dipecat. Yang pasti guru itu memang akhirnya dipecat karena semakin seringnya kasus dia menganiaya para murid, dan sering juga berselisih paham dengan sesama guru.

Selain guru yang saya nilai sebagai guru berkelainan jiwa itu, saya juga pernah menjadi korban guru yang tidak punya jiwa mendidik, masih di sekolah yang sama. Suatu ketika, saya merasa penglihatan saya kabur, tidak bisa membaca tulisan-tulisannya di papan tulis. Saya lalu bertanya kepadanya, karena tidak bisa kelihatan dengan jelas tulisannya itu. Guru itu datang ke dekat tempat duduk saya, lalu melihat ke arah papan tulis, ketika dia bisa melihat dengan jelas huruf-huruf di papan tulis itu, dia langsung menampar saya. Menurutnya, saya mempermainkannya, tulisan jelas begitu saya dianggap pura-pura tidak bisa membaca karena kabur. Padahal, rupanya, ketika itu, mata saya mulai menderita rabun jauh.

Sebelumnya, saya juga ingat ketika masih di Sekolah Dasar (SD), juga pernah punya guru yang tidak beres jiwanya. Ia juga suka memukul kami murid-muridnya secara berlebihan. Kadang-kadang, satu murid dianggapnya berbuat salah, semua murid sekelas kena dipukulnya. Alat yang menjadi favoritnya untuk dipakai memukul kami itu adalah dengan seikat sapu lidi, bagian kepalanya sapunya yang dipakai untuk memukul kami. Kami disuruh meletaknya kedua tangan di atas meja, kemudian dia berkeliling memukul tangan-tangan itu satu persatu dengan sapu lidi itu.

Selain sapu lidi, guru itu juga suka memukul kami dengan mistar kayu, sepanjang 100 cm. Dengan mistar kayu itu. Sasaran bagian tubuh kami yang dipukul dengan mistar kayu itu adalah di bagian punggung. Ada kalanya sampai mistar kayu itu patah di salah satu punggung dari kami.

Puluhan tahun kemudian, ternyata kasus-kasus seperti yang pernah saya alami ketika duduk di SD dan SMP itu masih saja terus terjadi. Bahkan lebih parah lagi, dalam beberapa kasus sampai mengakibatkan murid yang dipukul guru itu meninggal dunia, seperti kasus guru memukul muridnya di Ternate tersebut diatas. *****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun