Ketika itu, Halek Genuni juga menjelaskan bahwa, pihaknya tengah berupaya mendatangkan mobil damkar dari Bandara Sorong, sambil menunggu diperbaikinya mobil damkar milik Bandara Torea itu.
“Kami sudah mengirim surat kepada Kementerian Perhubungan di Jakarta, agar mengijinkan peminjaman mobil damkar dari Bandara Sorong. Kebetulan KM Kalabia sedang sandar di Sorong, sehingga kami berharap, mobil damkar segera diantar ke Fakfak. jika upaya ini berhasil, maka diharapkan Bandara Torea sudah bisa beroperasi beberapa hari lagi,” jelas Halek.
Dari keterangan Halek juga diketahui bahwa mobil damkar itu sudah tua yang sebenarnya kurang layak lagi untuk dipakai di bandara manapun, karena sering rusak, dan biaya perbaiki dan perawatannya sangat besar. Mengingat di Fakfak sama sekali tidak ada onderdil, maupun mekanik yang bisa memperbaikinya.
Untuk memperbaikinya saja harus dikirim ke Jakarta! Halmana pernah dilakukan pada 2012, tetapi kemudian rusak lagi pada 2013, diperbaiki di Jakarta, lalu pada 2015 itu rusak lagi. Kerusakan itu pun baru diketahui saat mobil damkar itu diperiksa oleh mekanik dari Bandara Sentani, yang lalu “dipergoki” oleh petugas dari Wings Air itu.
Jadi, rupanya, selama itu pula, diam-diam beberapakali terjadi Bandara Torea, Fakfak, tanpa satu pun mobil damkar dalam kurun waktu yang lama. Karena untuk memperbaikinya harus menunggu kapal yang bisa mengangkutnya menuju ke pelabuhan di Surabaya. Lalu, dari Surabaya dikirim ke Jakarta untuk diperbaiki.
Pertanyaannya, kenapa mobil damkar itu tidak diperbaiki saja di Surabaya, untuk memotong durasi waktu yang terlalu lama? Demikian pula, seharusnya disediakan dua unit mobil damkar di Bandara Torea itu. Supaya kalau salah satunya rusak, ada penggantinya, jika karus dikirim ke Jakarta.
Bagaimana pun apa yang saya sampaikan di atas ini, memperlihatkan betapa parahnya sistem keselamatan penerbangan di Papua.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan harus lebih serius mendalami perbaikan sistem keselamatan penerbangan di sana secara komprehensif dan berkesinambungan sehingga terciptanya sistem keselamatan penerbangan yang sesuai dengan standar internasional.
Apalagi tipografi dan cuaca di Papua, terutama di daerah pedalaman, tinggi sekali risiko kecelakaan pesawat terbang. Umumnya banyak bandara di Papua, yang di sekitarnya masih berupa hutan lebat, dan di pedalaman, cuacanya kerap berubah drastis secara tiba-tiba. Yang tadinya cerah, tiba-tiba berubah menjadi mendung tebal, hujan turun deras, disertai angin yang bertiup kencang.