Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penelusuran Rekam Jejak Calon Pimpinan KPK Tak Menjamin Tak Bakal Ada Lagi Kriminalisasi terhadap KPK

30 Juli 2015   23:42 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:07 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Selasa, 28 Juli 2015, Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menyerahkan daftar 48 nama calon pemimpin KPK di Gedung KPK. Penyerahan daftar nama itu dimaksud untuk meminta bantuan KPK menelusuri rekam jejak para calon dari aspek bersih-tidaknya mereka dengan kasus korupsi. Dalam penelusuran itu KPK akan dibantu oleh PPATK untuk menelusuri ada-tidaknya transaksi keuangan yang mencurigakan bagi para calon itu.

Selain KPK, Pansel juga akan mendatangi Mabes Polri, Kejaksaan Agung, dan BIN untuk mengetahui rekam jejak para calon dari aspek lainnya yang berhubungan erat dengan wewenang ketiga lembaga negara tersebut.

Khusus untuk Kepolisian dan Kejaksaan Agung titik berat penelusuran rekam jejak para calon adalah yang berkaitan dengan pernah-tidaknya mereka tersangkut tindak pidana lainnya selain korupsi, misalnya, apakah pernah menyuruh orang lain membuat kesaksian palsu, apakah pernah terlibat dalam pemalsuan dokumen kependudukan.

Semua itu dengan maksud agar di kemudian hari jangan ada lagi kriminalisasi dengan berbagai cara terhadap pemimpin KPK sehingga melemahkan KPK, seperti yang sekarang sudah terjadi itu.

"Kami berharap siapa pun yang sudah terpilih dan dinyatakan bersih rekam jejaknya tidak akan lagi dikriminalkan atau diganggu dengan perkara-perkara lain. Kalau di awal sudah ada indikasi koruptif dan bermasalah, jangan sampai lolos menjadi pimpinan KPK," kata Yenti Garnasih, anggota Pansel KPK yang datang ke Gedung KPK bersama dengan koleganya Natalia Soebagjo untuk kepentingan tersebut.

Dengan pernyataannya ini, secara tak langsung Pansel pun mengakui bahwa saat ini telah terjadi kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.

Apakah harapan Pansel dan juga tentu harapan kita itu akan tercapai?

Dalam hal penelusuran rekam jekan para calon menyangkut pernah-tidaknya mereka terlibat kasus korupsi, langkah tersebut optimis positif efektif tercapai. Meskipun seharusnya tidak cukup sampai di situ saja penelusurannya, tetapi juga harus dilihat pula pola hidup calon dan keluarganya sehari-hari dibandingkan dengan pendapatannya dan pajak yang dibayarnya selama ini.

Tidak demikian dengan hal penelusuran rekam jejak apakah para calon pernah terlibat dalam tindak pidana kriminal tertentu yang penanganannya merupakan kewenangan Polri atau Kejaksaan Agung, terutama sekali Polri. Karena bisa saja sekarang saat masih berstatus calon, komisoner dinyatakan bersih, tetapi kelak jika ada pihak tertentu yang mesti berurusan dengan KPK, dan ia didukung oleh aparat yang punya kewenangan besar di Kepolisian, maka potensi kesalahan masa lalu komisoner KPK tetap saja bisa “ditemukan” kembali.

Siapa yang bisa menjamin bahwa dengan adanya penelusuran rekam jejak calon pemimpin KPK di Kepolisian dan Kejaksaan Agung seperti ini bisa menghilangkan secara efektif kemungkinan kelak saat ada kepentingan (politik) tertentu dari pihak tertentu terkait kasusnya dengan KPK, maka tindak pidana masa lalu mereka itu bisa “ditemukan” kembali? Jika pejabat yang berwenang di kepolisian/kejaksaan agung berpihak kepada pihak tertentu itu, maka hal tersebut sangat mungkin terjadi, atau lebih tepatnya terulang lagi. Sebagaimana kasus yang dialami Bambang Widjajanto dan Abraham Samad.

Asalkan ada kepentingan pihak tertentu yang dimaksud karena tersangkut kasus di KPK, maka tindak pidana masa lalu pemimpin KPK itu bisa “dicari dan ditemukan kembali”, sehingga cukup ada alasan hukumnya mereka ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian, atau Kejaksaan Agung. Tidak perlu “temuan” itu merupakan suatu tindak pidana berat, tetapi cukup suatu tindak pidana ringan bahkan ecek-ecek, maka ada alasan hukum menetapkan mereka sebagai tersangka.

Demikian juga soal apakah nanti dalam proses hukum selanjutnya bisa diteruskan sampai ke pengadilan atau tidak, dan jika sampai di pengadilan apakah terbukti bersalah atau tidak, itulah tidak terlalu penting. Karena dengan status tersangka itu saja sudah cukup membuat KPK lemah lagi dengan diberhentikannya untuk sementara oleh Presiden pemimpin KPK yang diincar. Memerlukan waktu proses hukum yang relatif lama untuk memastikan status hukum pimpinan KPK yang menjadi target itu, apalagi jika masa jabatannya sudah mendekati habis.

Langkah yang dilakukan Pansel Calon Komisooner KPK sekarang ini bukanlah hal yang baru pertamakali dilakukan, sebelum-sebelumnya juga sudah lazim dilakukan, termasuk terhadap pemimpin KPK periode ketiga atau di era Abraham Samad. Namun apa yang terjadi kemudian? Kita semua sudah tahu.

Padahal kasus yang dituduhkan kepada Bambang sebagai penyuruh orang lain membuat kesaksian palsu di sidang MK, misalnya, sudah pernah juga ditelusuri oleh pansel calon pemimpin KPK ketika itu, bahkan saat di uji kelayakan dan kepatutan di DPR, kasus itu juga ditanyakan. Hasilnya saat itu, semua sudah klir.

Tetapi, saat KPK menetapkan Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai tersangka penerima gratifikasi, Mabes Polri langsung melakukan serangan balik dengan “menghidupkan” kembali kasus tersebut. Yang kemudian dipakai sebagai alasan untuk menetapkan Bambang sebagai tersangka. Demikian juga dengan kasus tindak pidana ringan kelas “ecek-ecek”, pemalsuan KTP, yang ditudingkan kepada Abrahaman Samad, dengan mudah dan efektifnya diciptakan dan manfaatkan untuk menetapkan mereka sebagai tersangka. Lalu, dengan alasan demi Undang-Undang, Presiden Jokowi pun memberhentikan mereka sebagai pemimpin KPK. Teorinya untuk sementara, faktanya sama saja dengan pemberhentian selamanya, karena proses hukumnya yang lama melampui sisa waktu jabatan mereka.

Soal proses hukum selanjutnya dari kedua pemimpinan KPK itu bagaimana, tidak penting lagi. Yang terpenting target sudah tercapai, yaitu melengserkan kedua tokoh utama KPK itu, sehingga KPK yang tadinya dikenal paling garang bak malaikat maut bagi para koruptor kelas paus sekalipun, berubah dalam sekejap mata menjadi nyaris lumpuh, dan kelanjutan kasus Budi Gunawan pun terhenti melalui sinetron hukum yang konyol.

Selain Bambang dan Abraham, penyidik utama KPK yang menangani kasus Budi Gunawan, Novel Baswedan pun diungkitkan kembali kasus lamanya yang juga sebenarnya sudah selesai, dan langsung ditetapkan sebagai tersangka. Demikian juga dengan 20-an penyidik lainnya, dicari-cari kesalahannya, maka “ditemukan” soal pemilikan senjata api tanpa hak. Jika tak dihentikan, maka Bareskrim Polri sudah menetapkan mereka juga sebagai tersangka.

Jika tidak kasus KPK vs Polri tidak terhenti karena adanya perkembangan kasusnya sampai sedemikian rupa itu, maka dua pemimpin KPK sisanya, Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja, sebenarnya juga sudah dibidik sebagai target berikutnya dengan kasus lama mereka masing-masing.

Maka jadilah KPK yang sekarang ini adalah KPK yang paling lemah sepanjang sejarah sejak lembaga antirasuah itu didirikan pada 2002. Sangat ironis jika kita ingat dengan janji Jokowi di masa Pilpres yang akan memperkuat KPK berpuluh kali lipat dari sekarang; anggaran dinaikkan sepuluh kali lipat, penyidik diperkuat dengan seribu orang penyidik!

Dengan rekam jejak Mabes Polri seperti ini, dan selama Pasal 32 ayat 2 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK masih berlaku, maka argumen saya yang meragukan efektifitas penelusuran rekam jejak para calon di Kepolisian RI dengan tujuan agar kelak mereka tak lagi dikriminalisasikan, mempunyai dasar yang kuat.

Maka, secara satire bisa dikatakan sesungguhnya cara paling efektif mencegah terjadi lagi kriminalisasi terhadap para pemimpin KPK itu sebetulnya sederhana saja, yaitu: jangan sekali-kali berani mengusik perkara dugaan korupsi di Kepolisian RI atau Mabes Polri. Jika para pemimpin KPK itu kelak mau awet kedudukannya pura-pura tidak tahu saja seandainya kelak ada indikasi kasus korupsi di sana.

Jika kelak ada lagi pemimpin KPK yang seberani Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, mengusik  oknum perwira tinggi Polri yang diduga melakukan perbuatan korupsi, maka berpotensi terjadi lagi perseteruan KPK vs Polri. Polri akan melakukan serangan balik lagi terhadap pemimpin KPK dengan senjata “tersangka” itu dikombinasikan dengan ketentuan Pasal 32 ayat 2 dan 3 Undang Undang KPK tersebut (baca: “Tersangka”, Senjata Ampuh Melumpuhkan Lawan)

Pasal 32 ayat 2 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan: Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. Ayat 3:(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Oleh karena itu, sesungguhnya untuk mencegah terjadinya lagi kriminalisasi terhadap pemimpin KPK di kemudian hari, maka langkah yang paling efektif adalah mencabut ketentuan pasal tersebut, dan/atau diganti dengan ketentuan yang memberi hak imunitas hukum tertentu kepada para pemimpin KPK. Mereka tidak akan disidik sebagai tersangka atas tindak pidana tertentu (ringan) yang baru diketahui setelah mereka menjabat. Proses hukum baru akan dijalankan setelah masa jabatan mereka selesai. Hak imunitas itu dikecualikan terhadap tindak pidana berat seperti korupsi, narkoba, terorisme, pembunuhan, perampokan, dan sebagainya (baca: Kenapa Wacana Hak Imunitas kepada KPK Bisa Diterima).

Momen untuk mencabut ketentuan yang ada di Undang Undang KPK tersebut kini terbuka sangat lebar, yakni dengan adanya permohonan uji materi terhadap ketentuan Pasal 32 ayat 2 dan 3 tersebut oleh Bambang Widjojanto di Mahkamah Konstitusi. Jika MK benar-benar aspiratif dan pro terhadap pemberantasan korupsi seharusnya mereka mengabulkan permohonan uji materi dari Bambang Widjojanto tersebut.

Namun sekarang, kelihatannya MK juga mulai suka yang “aneh-aneh”, misalnya dengan melalui keputusannya melegalkan sistem dinasti kepala daerah, dan memberi hak kepada mantan narapidana koruptor untuk menjadi kepala daerah melalui Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada Desember 2015. Melalui keputusannya pada 9 Juli 2015, MK menyatakan mantan narapidana koruptor pun punya hak untuk ikut Pilkada begitu ia selesai menjalani masa hukumannya. Syaratnya, ia cukup harus bersikap jujur dengan mengemukakan statusnya tersebut kepada publik.

Maka segera saja, para mantan narapidana koruptor di sejumlah daerah, seperti di Semarang, Jawa Tengah, dan Sulawesi Utara memanfaatkan berkah bagi mereka ini dengan telah mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah di daerahnya masing-masing.

Jadi, apakah harapan kita bahwa MK akan mengabulkan permohonan uji materi terhadap ketentuan Pasal 32 ayat 2 Undang Undang KPK itu akan sia-sia, mengingat sekarang ini banyak sekali keputusan hukum yang bernuansa pro kepada koruptor.

Jangan sampai di era pemerintahan sekarang, justru menjadi era kebangkitan kembali para koruptor. *****

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun