Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kontradiksi Calon Pimpinan KPK dari Polri dan Kejagung

10 Juli 2015   17:22 Diperbarui: 10 Juli 2015   17:22 2518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seratus sembilan puluh empat orang telah dinyatakan lolos seleksi tahapan pertama calon pimpinan (komisioner) KPK, termasuk di dalamnya adalah empat orang dari Polri dan lima orang dari Kejaksaan Agung (Kejagung). Dari Polri terdiri dari Inspektur Jenderal Yotje Mende, Inspektur Jenderal Syahrul Mamma, Inspektur Jenderal Tubagus Anis Angkawijaya, dan Brigadir Jenderal (Pol) Basaria Panjaitan. Keempat perwira polisi calon pimpinan KPK ini dikabarkan juga merupakan rekomendasi dari Wakapolri Budi Gunawan, yang sempat berseteru hebat dengan KPK. Sedangkan dari Kejagung terdiri dari Sri Harijati, M Rum, Paulus Joko Subagyo, Jasman Panjaitan, dan Suhardi.

Secara formal tidak ada yang salah dari sembilan orang calon dari Polri dan Kejagung ini, karena memang tidak ada undang-undang yang melarangnya. Semua orang berhak mencalonkan dirinya asalkan memenuhi syarat-syarat sebagaimana tersebut di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tetapi, jika kita menelisik sejarah dan pertimbangan pembentukan KPK, maka keberadaan calon-calon pimpinan KPK dari Polri dan Kejagung sebenarnya merupakan suatu kontradiksi. Apalagi dalam programnya pelaksana tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dalam masa tugasnya yang sampai Desember 2015 ini akan membuka pintu lebar-lebar untuk semakin banyak masuknya penyidik dari Polri.

Padahal sejarah latar belakang pembentukan KPK itu sendiri adalah justru karena selama ini kedua lembaga tersebut: Polri dan Kejagung dianggap gagal dalam melaksanakan kewajibannya dalam pemberantasan korupsi. Sebaliknya dari tahun ke tahun dari berbagai survei dan pemeriksaan keuangan kedua lembaga ini justru selalu termasuk dalam daftar lembaga negara terkorup di Indonesia.

Di dalam konsideran Undang-Undang KPK hal tersebut dengan sangat jelas disebutkan:

Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;

 

  1. bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi; 
  1. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 
  1. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ...

 

Kinerja dan predikat lembaga Polri dan Kejagung yang disebutkan di atas itu dari dahulu (sebelum ada KPK) sampai sekarang belum juga menunjukkan perubahan.

Pada 15 Juli 2012, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebutkan berdasarkan hasil pemeriksaan BPK tahun 2008-2010, lembaga Kejaksaan adalah lembaga paling korup se-Indonesia. Di lembaga penegak hukum itu, terdapat potensi kerugian negara sekitar Rp 5,43 triliun dari total potensi kerugian negara senilai Rp 16,4 triliun di 83 kementerian atau lembaga negara (Kompas.com).

Sedangkan Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi  (Satgas P3TPK) yang terdiri dari 100 jaksa yang dibentuk dan dilantik Jaksa Agung M Prasetyo pada 8 Januari 2015, yang katanya khusus untuk memburu para koruptor kelas kakap, sampai sekarang nyaris tak terdengar prestasinya. Belum ada satu pun koruptor kakap yang berhasil mereka tangkap dan dipenjara.  Sehingga lebih terkesan hanya formalitas gagahan semata.

KPK sendiri dalam konferensi persnya pada 2013 pernah menyebutkan Polri bersama DPR adalah lembaga yang paling korup. Sedangkan hasil survei terbaru (31/01/2015) dari lembaga kajian nonprofit Populi Center menyatakan Polri dan DPR adalah lembaga paling korup di Indonesia (Kompas.com).

Singkatnya: Polri dan Kejagung tidak bisa memenuhi harapan masyarakat dalam pemberantasan korupsi, sebaliknya justru dua lembaga penegak hukum ini dikenal sebagai lembaga paling korup. Oleh karena itulah negara membentuk lembaga penegak hukum baru dengan nama KPK dengan segala kewenangannya yang luar biasa (super body) demi menghadapi kejahatan korupsi yang juga luar biasa (extra ordinary crime).

Sekarang, seolah-olah logika tersebut hendak dijungkir-balikkan dengan merekomendasikan para pejabat Polri dan Kejagung menjadi ketua dan pimpinan KPK. Apalagi entah bagaimana caranya nanti jika justru dari lima pimpinan KPK yang baru nanti didominasi dari Polri dan/atau Kejagung? Apalagi jika program Ruki berjalan mulus sehingga penyidik-penyidik KPK pun mayoritas dari Polri? Bisa-bisa KPK akan berubah menjadi “cabang” Polri dan/atau Kejagung, karena dari pimpinan sampai para penyidiknya mayoritas dari dua lembaga ini. Hanya namanya saja “KPK” tetapi isinya didominasi orang-orang Polri dan/atau Kejagung.

Sedangkan menurut catatan ICW di antara calon kepolisian dan kejaksaan yang lolos, terdapat beberapa nama yang kontroversial. Bahkan, ada calon yang pernah mendapatkan hukuman dari instansinya karena pernah melakukan kesalahan fatal. Demikian yang dikatakan oleh koordinator investigasi ICW Febri Hendri, di Jakarta, Minggu, 5 Juli 2015.

Febri mengatakan, ICW tidak menganggap semua calon dari Polri dan Kejagung itu buruk. Masih banyak polisi dan jaksa yang masih baik. ’’Namun perlu diwaspadai karena hubungan polisi dan KPK sering bermasalah,’’ ujarnya (Harian Jawa Pos, Senin, 06/07/2015).

Lepas dari apakah kwalitas calon dari Polri baik atau buruk, fakta yang diutarakan oleh Febri itu sendiri, yakni hubungan antara lembaga Polri dengan KPK sering bermasalah, sebetulnya juga merupakan suatu kontradiksi tersendiri. Apakah pejabat Polri yang direkomendasikan lembaganya untuk menjadi pimpinan KPK itu tidak akan menciptakan terjadinya konflik kepentingan di antara kedua lembaga itu kelak? Apakah mungkin pimpinan KPK dari Polri yang sejatinya direkomendasikan atasannya itu (Kapolri/Wakapolri) bisa benar-benar bersikap independen dan lebih mementingkan penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi, jika kelak ditemukan adanya korupsi di Kepolisian?

Baik dari Polri, maupun Kejagung menyatakan calon-calon yang mereka rekomendasikan untuk mejadi pimpinan KPK itu merupakan pejabat-pejabat terbaik yang mereka miliki. Pertanyaannya, jika benar demikian, bukankah lebih baik terlebih dahulu pejabat-pejabat terbaiknya mereka itu dipakai sendiri untuk memperbaiki lembaganya masing-masing yang sampai sekarang bereputasi buruk di mata masyarakat? Kok sekarang malah dikirim untuk menjadi pimpinan KPK, yang justru reputasinya lebih baik dari lembaga mereka masing-masing itu?

Pernyataan tersebut jelas merupakan suatu kontradiksi lagi.  *****

Keterangan gambar:

Suasana ujian penulisan makalah tentang diri dan kompetensi seleksi calon pimpinan KPK 2015-2019, di Pusdiklat Setneg, Jakarta Selatan, Rabu (8/7/2015). Sebanyak 194 calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasuki tahap seleksi uji kompetensi serta penulisan makalah. TRIBUNNEWS/HERUDIN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun