Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apakah Ada "Devil's Advocate" di Kasus Pembunuhan Engeline?

4 Juli 2015   11:14 Diperbarui: 4 Juli 2015   11:14 3409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu menjadi pengacaranya Margariet Christina Megawe, pengacara kondang Hotma Sitompul langsung mengeluarkan pernyataannya bahwa kliennya sama sekali tidak bersalah dalam kasus pembunuhan Engeline, anak angkat Margariet. Bukan hanya itu ia pun menebar ancamannya kepada siapa pun yang berani membuat pernyataan dan analisa yang merugikan kliennya itu.

"Saya ingatkan, yang bicara tanpa dasar fakta, fitnah, memojokkan klien kami, semua harus bertanggung jawab secara profesional, bertanggung jawab secara hukum, yang pada waktunya akan kami minta pertanggungjawabannya," kata Hotma Sitompul di Denpasar, Bali, Rabu, 17 Juni 2015.

Hotma juga mengingatkan para pakar dan para ahli untuk tidak berbicara sembarangan dan memojokkan kliennya. Jika nantinya ditemui ada pihak-pihak lain yang memojokkan Margriet maka akan dimintai pertanggungjawabannya alias dituntut secara hukum.

"Saya ingatkan bagi para pakar, para ahli, jangan ngomong sembarangan dan jangan memojokkan klien kami. Kami akan tuntut pertanggungjawabannya," ujarnya.

Kemudian di acara “Indonesia Lawyer Club”, TV One, 23 Juni 2015, salah satu anggota tim pengacara dari Hotma itu, Dion Pongkor mengatakan bahwa Margariet itu sangat sayang kepada Engeline. Mengenai kabar bahwa Engeline yang setiap hari diharuskan memberi makan lima puluhan ekor ayam milik Margariet itu, sesungguhnya adalah karena kemauan Engeline sendiri yang sangat cinta binatang.

Pernyataan tersebut sama dengan beberapa kali pernyataan Hotma kepada wartawan bahwa Margariet sangat sayang kepada Engeline. "Dia tidak terlibat dalam kematian Engeline. Dia sangat sayang kepada anak angkatnya itu."  Salah satu bukti kliennya sangat sayang dengan Engiline, kata Hotma, adalah Margariet memberi nama anak angkatnya itu dari nama ibu kandungnya sendiri – suatu logika pembenaran yang sangat kelihatan dipaksakan (Tempo.co, Jpnn.com).

Penjelasan itu tentu saja sangat bertentangan dengan kesaksian-kesaksian sebelum Engeline ditemukan telah tewas terkubur di belakang rumahnya sendiri, seperti dari kesaksian ibu gurunya yang mengaku Engeline sampai pada hari hilangnya (16 Mei 2015) sangat pemurung, prestasi belajarnya merosot, kotor dan kumal, dan berbau tahi ayam, sampai-sampai ia tak tahan lagi dan memandikan bocah malang itu. Beberapa guru mengira Engeline dari keluarga miskin, dan mereka rencana hendak merawatnya sebagai anak angkat.

Sedangkan kesaksian beberapa orang lainnya seperti dari tetangga dan teman-temannya yang pernah tinggal di rumah itu mengaku melihat Engeline sering diperlakukan kasar dan dianiaya ibu angkatnya itu.

Logika dari mana ada seorang ibu yang katanya sangat sayang anaknya, tetapi bersamaan dengan itu anaknya mengalami penderitaan lahir bathin seperti yang dialami Engeline itu? Dari mana pula keyakinan Hotma dan Dion bahwa kliennya itu sama sekali tidak bersalah, padahal mereka baru saja menjadi pengacaranya? 

Saat Polda Bali menetapkan Margariet sebagai tersangka utama pembunuhan Engeline (28 Juni 2015), Hotma Stompul pun langsung bereaksi keras, dengan mengatakan Polda Bali sudah melakukan kecerobohan luar biasa, hanya berdasarkan pernyataan Kapolda Bali Ronny F. Sompie sebelumnya bahwa akan ada tersangka baru.

Bahkan ia menyatakan menduga penetapan kliennya sebagai tersangka utama pembunuhan itu karena ada tekanan dan paksaan terhadap Kapolda Bali dari masyarakat. Jadi, masyarakat juga dipersalahkan demi membela kliennya itu yang dinyatakan pasti bersih itu.

"Kami khawatir Kapolda mendapat tekanan dari masyarakat di luar. Kita kan sebagai lawyer harusnya terima dulu. Yang kami sesalkan, sesungguhnya kami tidak mau bicara menyinggung Kapolda. Tapi Kapolda sudah jauh hari, belum ada bukti, belum ada apa-apa, tapi sudah bilang akan ada tersangka baru," katanya, Minggu, 28 Juni 2015 (Merdeka.com).

Sebagai protes, Hotma pun menyatakan kliennya menolak diperiksa lagi sebagai tersangka pembunuhan utama Engeline itu. Ia menantang Polda Bali agar langsung saja ajukan Margariet ke pengadilan.

Demi membela Margariet, Dion Pongkor di acara “Indonesia Lawyer Club” itu juga membuat pernyatan konyolnya, yaitu bahwa tentang bercak darah yang ditemukan di kamar Margariet itu sebenarnya hanyalah darah kucing! Dari mana ia tahu itu bercak darah kucing? Apakah pernah juga ada kucing di rumah itu?

Padahal mungkin saja temuan bercak-bercak darah itu yang antara lain membuat Polda Bali menetapkan Margariet sebagai tersangka pembunuhan utama itu. Polisi sendiri sudah menyatakan mengenai alat-alat bukti yang membuat polisi menetapkan Margariet dan Agus sebagai tersangka akan diungkapkan semuanya di pengadilan.

Sedangkan Agus Tae Hamdani, pembantu rumah tangga Margariet, yang lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka, beberapa kali mengubah-ubah pengakuannya. Sampai terakhir menetapkan pengakuannya bahwa Margariet-lah yang membunuh Engeline. Karena saat ia dipanggil majikannya itu ke kamarnya, ia sudah melihat Engeline terkapar di lantai dalam keadaan diam tak bergerak. Ia disuruh menyulut rokok ke tubuh Engeline untuk memastikan kematiannya, disuruh memperkosa tetapi ia menolaknya, dan disuruh mengaku sebagai pembunuhnya dengan imbalan uang Rp 200 juta.

Meskipun pengakuannya beberapa kali berubah, tentu saja tim pengacara Agus yang belakangan dipimpin oleh pengacara kondang lainnya, Hotman Paris Hutapea itu tetap saja membela Agus.

Pengakuan yang mana yang benar, dan siapa sebenarnya pembunuh utamanya, tentu kita masih harus menunggu hasil dari sidang pengadilannya kelak.

Namun demikian melihat tingkah-polah para pengacara, terutama Hotma dan Dion, di dalam kasus pembunuhan Engeline, bocah perempuan cantik  yang sungguh memelas hati ini, saya menjadi teringat kembali dengan sebuah film. Judulnya: Devil’s Advocate.

**

Siapapun manusia normal pasti trenyuh hatinya saat mengetahui Engeline, bocah perempuan cantik imut-imut yang baru berusia delapan tahun itu tewas dibunuh. Pada 16 Mei 2015, dilaporkan hilang oleh ibu angkatnya Margariet Christina Megawe.  Pada 10 Juni 2015 ditemukan tewas dibunuh dan dikuburkan di belakang rumahnya sendiri, di Denpasar, Bali.

Sejak tersiarkan kabar hilangnya Engeline disertai dengan foto-foto dan kisah pilunya saja sudah membuat setiap manusia tersentuh hatinya, ikut merasa sedih dan mengharapkan bocah polos itu segera bisa ditemukan dalam keadaan selamat dan sehat. Bocah suci sekecil dan selemah itu sudah harus menjalani hidup yang penuh penderitaan lahir dan bathin. Apalagi kemudian ternyata ia sudah tewas karena dibunuh secara keji. Hanya manusia berhati iblis saja yang tega membunuh Engeline, lalu secara pengecut tidak mau mengakuinya.

Iblis itu memang ada, dan ia bisa saja berwujud sebagai manusia di bumi. Lewat perbuatan-perbuatannyalah kita bisa mengetahui iblis-iblis berwujud manusia itu.

Kisah kematian Engeline masih jauh dari tuntas. Polda Bali masih dalam tahapan meneruskan penyelidikan mereka secara lebih intensif lagi. Sampai sekarang, polisi sudah menetapkan ibu angkat Engeline, Margariet sebagai tersangka utamanya, dan pembantu rumah tangga Margariet, Agus Tae Hamdani sebagai tersangka turut melakukan pembunuhan tersebut.

Karena yang menjadi korban pembunuhan adalah seorang bocah perempuan cantik suci delapan tahun yang lemah dengan misteri-misteri di baliknya, maka tak heran kasus ini pun menjadi perhatian besar di seluruh Indonesia. Dari rakyat biasa sampai presiden.

Tak heran jika kemudian kasus ini menarik perhatian pengacara-pengacara besar untuk menanganinya langsung. Terutama pengacara-pengacara yang selalu menomorsatukan uang, prestasi, prestise, pengakuan, dan ketenaran ketimbang kebenaran dan keadilan.

Memenangkan suatu kasus kriminal yang mendapat perhatian besar secara nasional seperti kasus pembunuhan Engeline ini merupakan suatu tujuan mutlak, karena dengan kemenangan itu mereka akan merasa semakin disanjung sebagai pengacara hebat yang dengan ilmu hukum yang dikuasainya bisa menaklukkan siapa pun dan apapun, termasuk negara.

Karena itu apapun yang terjadi harus menang! Tidak perduli siapa korban pembunuhannya, dan apakah klien yang mereka bela itu sesungguhnya pelaku kejahatan yang sebenarnya ataukah bukan. Dalam pandangan pengacara jenis begini, kasus seperti kasus pembunuhan bocah perempuan bernama Engeline ini justru merupakan lahan yang sangat bagus untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas. Kondisi bocah Engeline yang begitu memprihatinkan sebagai korban pembunuhan keji itu sama sekali tidak mampu menyentuh nuraninya.

Semakin banyak kemenangan semakin tinggi pula tingkat arogansinya dengan semakin tak perduli lagi dengan nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. Hati nurani pengacara-pengacara jenis ini mungkin saja sudah mati karena dikuasai oleh uang, ketenaran, egoisme dan arogansi tingkat tinggi.

Oleh karena itu tak jarang pula ada pengacara besar bertarif super mahal yang rela menangani kasus yang melibatkan orang tak mampu, tanpa bayaran, asalkan kasusnya mendapat perhatian besar/nasional. Karena ada kompensasinya itu, yaitu ketenaran sebagai pengacara luar biasa hebatnya yang tak pernah kalah dalam berperkara. 

Di pengadilan, dengan kelihaian di bidang hukum dan “ilmu kelicikan” yang sangat mereka kuasai itu mereka mampu menemukan kelemahan-kelemahan hukum demi keuntungan kliennya, sehingga meskipun mereka sendiri tahu kliennya itulah pelaku kejahatan sebenarnya, mereka mampu membuatnya menjadi orang yang tidak bersalah, sehingga dibebaskan hakim.

Apa yang dilakukan oleh pengacara-pengacara jenis ini tentu saja akan sangat disenangi iblis. Karena mereka telah membela orang-orang yang telah melakukan perbuatan-perbuatan iblis. Dengan kata lain pengacara-pengacara jenis ini adalah pembela dari iblis-iblis berwujud manusia itu. Jika mereka sudah tahu bahwa kliennya itu sesungguhnya seorang monster pembunuhan keji, tetapi tetap bertekad membelanya habis-habisan sampai terpaksa dibebaskan hakim karena tak terbukti secara hukum, bukankah sesungguhnya pengacara-pengacara itu sendiri merupakan iblis berwujud manusia, pengacara-pencaranya iblis di dunia?

Hollywood pernah membuat sebuah film bagus yang mempunyai premis ceritanya berdasarkan pengacara muda hebat yang selalu sukses membebaskan para penjahat dari hukuman penjara atau mati, padahal ia sendiri tahu bahwa klien yang dibelanya itu memang penjahat-penjahat keji. Karena penjahat-penjahat keji itu sesungguhnya adalah iblis berwujud manusia, maka pengacaranya pun patut disebut sebagai pengacaranya iblis atau devil’s advocate.

Judul film itu juga adalah “The Devil’s Advocat” (1997).

**

Film ini menceritakan tentang seorang pengacara muda bernama Kevin Lomax (Keanu Reeves) yang sangat piawai di Gainsville-Alachua Country, Amerika Serikat. Semua perkara kejahatan yang ditangani selalu dimenangkan, tidak pernah kalah satu kali pun, termasuk dalam membela kasus-kasus yang jelas-jelas dia tahu kliennya itu bersalah. Misalnya, ketika membela perkara seorang guru yang melakukan pelecehan seks terhadap muridnya. Lomax tahu kliennya itu bersalah, karena dia menyaksikan sendiri tabiat guru bejat itu, tetapi demi karier pengacaranya dia tetap membela mati-matian guru itu, sampai berhasil memenangkan perkara itu. Guru itu bebas.

Kemudian ada sebuah firma hukum besar di New York milik John Milton (Al Pacino) yang tertarik dengan kehebatan Lomax, dan mengundangnya untuk bergabung. Firma besar di kota sebesar megapolitan New York adalah sebuah jaminan karier hukum maha hebat bagi Lomax. Dia pun menerimanya, dan memboyong istrinya, Mary Ann (Charlize Theron) untuk pindah ke sana, meskipun sebelumnya ibunya, seorang Kristen yang saleh melarangnya. Karena bagi ibunya kota sebesarnya New York adalah representasi dari Babilonia yang dikisahkan di Alkitab. Penuh dengan godaan duniawi untuk memperoleh kenikmatan yang semu.

Di New York, bergabung bersama John Milton, impian Kevin Lomax sebagaimana impian kebanyakan pengacara, yakni ketenaran dan kekayaan yang luar biasa benar-benar terwujud sekaligus menjadikannya sebagai seorang “devil’s advocate” dalam arti kiasan, maupun dalam arti yang sebenarnya. Karena ternyata ia memang benar-benar mengabdi kepada iblis.

Semua kasus besar yang ditanganinya selalu dimenangkan, sampai pada kasus pembunuhan besar yang melibatkan seorang tokoh berpengaruh di New York sebagai pelaku utamanya. Tokoh itu dituduh telah menghabisi seluruh keluarganya sendiri dengan sadis. Saat menangani kasus pembunuhan tersebut, Lomax menjadi tahu bahwa memang benar kliennya itu pelakunya. Tetapi lagi-lagi karena egoisme dan arogansinya yang mengutamakan karier pengacaranya, di pengadilan, Kevin Lomax tetap membela kliennya itu dengan mengerahkan semua kemampuan ilmu  hukumnya sampai berhasil membebaskan tokoh penjahat keji pembantai seluruh keluarganya itu.

Sebelumnya, melalui kejadian-kejadian mistik yang menyeramkan yang dialami istrinya di apartemen mewah mereka, Lomax sudah diperingatkan untuk berhenti menjadi pengacara yang membela para penjahat itu, tetapi arogansi, egoisme dan godaan uang dan ketenarannya membuatnya mengabaikan semua permohonan dari istinya itu. Termasuk mengabaikan istrinya yang semakin kesepian dan semakin sering mengalami kejadian-kejadian mistik menyeramkan itu. Sampai puncaknya ketika setelah memenangkan kasus besar itu Lomax mulai merasakan sendiri kejadian-kejadian mistik yang mengerikan itu. 

Lomax mulai sadar bahwa ia ternyata selama ini benar-benar telah mengabdi kepada iblis dalam arti sebenarnya. Bahwa pemilik firma hukum itu, John Milton ternyata adalah iblis yang menyaru sebagai manusia di dunia. Ia membentuk firma hukum itu untuk menghimpun para pengacara hebat seperti Lomax agar bisa membela para pengikutnya di dunia, yaitu para pelaku kejahatan itu. Yang lebih mengejutkan Lomax adalah ternyata John Milton adalah ayahnya sendiri, yang ingin Lomax menjadi putra mahkotanya membangun kerajaan iblis di dunia.

Kevin Lomax pun berusaha untuk melepaskan dirinya dari jerat iblis itu dan membebaskan istrinya yang juga sudah dikuasai oleh kuasa kegelapan itu.

Para “pengacara iblis” ini mempunyai salah satu ciri khas utama, yakni sangat arogan. Karena merasa dengan ilmu hukum yang sedemikian hebat yang mereka miliki itu, mereka bisa membuat yang salah menjadi benar, dan yang benar menjadi salah. Semakin jahat seseorang yang bisa mereka bebaskan akan menjadi mereka menjadi semakin bangga dan sombong.

Oleh karena itulah dalam dialog film The Devil’s Advocate itu, beberapa kali terdengar ucapan John Milton yang sebenarnya penjelmaan dari Lucifer: “Venity, definitely my favorite sin!”, “Kesombongan/takabur adalah dosa favoritku!”

 

**

Apakah dalam kasus pembunuhan Engeline itu ada juga “devil’s advocate”-nya?

Seperti yang saya sebutkan di atas, dalam konteks kasus pembunuhan Engeline ini, terus terang, dalam melihat tingkah polah pengacara terutama sekali pengacaranya Margariet, yaitu Hotma Sitompul, saya lantas spontan teringat dengan film Devil’s Advocate tersebut.

Pengacara tentu saja punya kewajiban membela kliennya secara maksimal, tetapi bukan berarti juga berupaya keras dengan segala cara membebaskan kliennya meskipun ia tahu kliennya itu bersalah sebagai pelaku suatu kejahatan berat. Dengan memanfaatkan keahlian hukumnya yang luar biasa dan kelemahan-kelemahan hukum adalah hal biasa jika seorang pengacara bertipe “devil’s advocate” merasa sukses dan hebat jika bisa membebasakan seorang pelaku pembunuhan.

Bagi saya pengacara yang baik saat membela kliennya saat ia tahu kliennya itu memang bersalah, maka ia bukan berupaya supaya kliennya itu bebas murni, tetapi berupaya kliennya itu mendapat hukuman seringan mungkin, jika itu memang bisa dilakukan sesuatu dengan tingakt berat-ringannya kejahatan itu.

Mudah-mudahan kesan saya terhadap pengacara Hotma Sitompul itu keliru, karena ternyata ia bukan tipe pengacara seperti itu. Hotma Sitompul bukan tipe pengacara yang hati nuraninya sudah tumpul. Semoga saja demikian. *****

 

Sumber gambar 1: Korannonstop.com

Gambar 2: stephenbrownprducer.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun