Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Hari Bersejarah yang Menentukan "Kompas" Bisa Eksis Sampai Sekarang

29 Juni 2015   09:34 Diperbarui: 29 Juni 2015   09:34 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harian Kompas memang dilahirkan pada 28 Juni 1965, atau lima puluh tahun yang lalu, dengan kata lain ini adalah HUT Emas dari Harian terbesar di Indonesia ini. Tetapi bisa juga dikatakan bahwa umur Kompas bisa panjang sampai hari ini ditentukan juga pada dini hari 5 Februari 1978, di sebuah ruangan di kantornya di Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Selatan.

Dari 4 Februari tengah malam sampai dengan 5 Februari dini hari itu terjadi pembicaraan serius antara dua pendiri Kompas: P.K. Ojong dengan Jakob Oetama mengenai tawaran dari penguasa Presiden Soeharto, jika ingin terbit kembali setelah dilarang terbit (dibredel).

Harian Kompas, salah satu dari 12 koran dan majalah yang dilarang terbit sejak 21 Januari 1978, diperbolehkan terbit kembali dengan syarat harus bersedia menandatangani pernyataan tertulis. Isinya permintaan maaf sekaligus berjanji tidak memuat tulisan yang menyinggung penguasa. Permintaan maaf itu merupakan suatu pengakuan bersalah. Disertai suatu sikap yang menyatakan kesetiaan dan kepatuhan kepada Presiden Soeharto.

Pada intinya pernyataan dan janji itu berisi empat poin penting, yakni:

Pertama, tidak akan menulis tentang keluarga Presiden Soeharto dan asal-usul kekayaan keluarganya.

Kedua, tidak akan mempersoal dwi fungsi ABRI.

Ketiga, tidak akan menulis tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Keempat, tidak akan menurunkan tulisan yang memperuncing konflik.

Apa itu suatu tulisan yang tidak menyinggung perasaan penguasa, khususnya Soeharto dan keluarganya? Tidak ada kepastian, tergantung selera dan sensitifitas penguasa. Oleh karena itu Ojong yang dikenal berkepribadian teguh dan tegas menolak tawaran tersebut. “Jakob, jangan minta maaf. Mati dibunuh hari ini, nanti tahun depan, sama saja,” kata Jakob mengutip apa yang dikatakan Ojong.

 

Membaca buku biografi Auw Jong Peng Koen alias Petrus Kanisius Ojong atau yang paling dikenal dengan P.K. Ojong (25 Juli 1920 – 31 Mei 1980), yang berjudul Hidup Sederhana, Berpikir Mulia  oleh Helen Ishwara, Penerbit Buku Kompas (2014), kita sedikit-banyak bisa mengenal karakter salah satu pendiri Kompas ini. Orangnya sangat teguh dalam memegang prinsip hidupnya, lurus, jujur, tegas, dan tanpa kompromi terhadap segala bentuk penyelewengan. Ia juga sangat benci terhadap segala bentuk tindakan represif dari pemerintah, apalagi sebelumnya ia juga pernah mengalami pembredelan di era pemerintahan Presiden Soekarno, saat memimpin mingguan Star Weekly (7 Oktober 1961) dan koran Keng Po (1 Agustus 1957).

Saat memimpin koran Kompas di saat Presiden Soeharto mulai menunjukkan gaya pemerintahannya yang represif, tirani dan diktatoris, dengan mulai mengawasi dan membredel media massa yang kritis terhadap pemerintahan dan keluarganya, Ojong pun mulai menunjukkan sikap antipatinya. Hal tersebut terekspresikan dengan “mogoknya” dia menulis rubrik favoritnya yang juga sangat disukai pembaca Kompas ketika itu: “Kompasiana.”

Rubrik Kompasiana oleh P.K. Ojong mulai hadir di koran Kompas edisi 2 April 1966, dan berakhir di Kompas edisi 22 Februari 1971. Rubrik Kompasiana berisi aneka ragam thema, mulai dari yang ringan-ringan, seperti mengenai kegemarannya menanam tanaman-tanaman hias, kegemarannya terhadap buku, kehidupan dia dan keluarganya, keadaan lalu lintas di Jakarta, sampai ke masalah politik.

Kepada orang-orang yang bertanya kepadanya, kenapa tidak lagi menulis Kompasiana, Ojong menjawab, “Sibuk.”  Namun demikian, banyak orang tidak percaya kebenaran alasannya itu. Termasuk sahabatnya Mochtar Lubis. Hal tersebut seiring dengan mulai berubahnya sikap pemerintahan Soeharto yang semula demokratis menjadi represif, diktatoris dan tiranis, termasuk kepada suara-suara media yang kritis terhadap pemerintahannya. Siapa pun media yang berani bersikap kritis terhadap Soeharto akan langsung dibredel begitu saja, tanpa perlu memberi alasannya. Media-media itu harus tahu sendiri kenapa mereka ditutup pemerintah.

Pada 2008, nama rubrik Kompasiana itulah yang kemudian diadopsi oleh Pepih Nugraha sebagai nama blog yang semula diperuntukkan untuk kalangan internal para wartawan Kompas, yang kemudian pada 2009 berubah menjadi blog publik sebagai media jurnalis warga biasa yang kita kenal sekarang ini (Kompasiana, Etalase Warga Biasa, oleh Pepih Nugraha, Gramedia Pustaka Utama, 2013).

Ya, Kompasiana kita yang sekarang ini!

 

Kembali ke pertemuan P.K. Ojong dengan Jakob Oetama tersebut di atas.

Sikap Ojong yang terlalu teguh memegang prinsip untuk menolak permintaan maaf dan berjanji setia kepada pemerintahan Soeharto sebagai syarat Kompas bisa terbit kembali itu diimbangi oleh sikap yang lebih luwes, penuh pertimbangan dan memandang jauh ke depan dari Jakob Oetama.

Jakob berpandangan pembredelan Kompas di 1978 itu berbeda dengan ketika semua koran dilarang terbit oleh militer di bawah kendali Soeharto pada 1965. Penutupan semua koran selain harian Angkatan Bersenjata milik ABRI yang dikelola oleh Kepala Puspen ABRI dan Berita Yudha milik TNI AD yang dikelola oleh Kepala Dinas Penerangan TNI AD itu, mutlak karena krisis politik dan keamanan saat itu pasca terjadinya peristiwa G30S. Penutupan di 1965 itu pun hanya berlangsung empat hari, yaitu dari 2 – 5 Oktober 1965.

Terhadap pembredelan 1978 yang tanpa batas waktu itu, Jakob berpandangan: “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, di antaranya melalui media massa.”

Jakob pun mengambil alih tanggung jawab, ia menandatangani persoalan, maju ke depan, siap memikul risiko, menandatangani pernyataan maaf dan janji tertulis kesetiaan yang diminta penguasa Soeharto.

Kenapa Kompas dibredel?

Seperti yang sudah disebutkan, setiap kali melakukan pembredelan terhadap media mana pun, penguasa Soeharto tidak pernah memberi alasannya. Media bersangkutan harus tahu sendiri kesalahan apa yang mereka perbuat dengan artikelnya kepada pemerintah, termasuk meskipun tak merasa bersalah, seperti yang dirasakan Kompas.

Namun demikian diduga kuat pembredelan Kompas itu ada kaitannya dengan pemberitaan dan artikel tentang situasi politik ketika itu yang sedang panas-panasnya. Mulai November 1977 sampai dengan Januari 1978, demontrasi-demontrasi mahasiswa anti Soeharto marak di beberapa kota besar, mulai dari memperingati Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) sampai mengerucut kepada menuntut Soeharto meletakan jabatannya. Salah satunya demonstrasi besar berujung rusuh di Surabaya.

Tajuk Rencana Kompas, 16 Januari 1978, berjudul “Aspirasi Mahasiswa” ditulis Jakob Oetama, pada intinya berpendapat bahwa aksi-aksi unjuk rasa para mahasiswa itu perlu mendapat perhatian dan diakomodir.

“... Aspirasi yang dibawakan para mahasiswa itu seberapa jauh benar dan akan membawa manfaat untuk kelanjutan pembangunan, keadilan, kemakmuran, demokrasi Pancasila, ketahanan nasional, kesegaran iklim, dan pembaruan motivasi.

Kita diminta terbuka dan jujur karena memang ikut terlibat berbagai kepentingan status quo di sini. Ini bisa mempengaruhi pandangan obyektif dan subyektif, bisa mengaburkan sikap kenegarawan.”

Setelah Jakob Oetama bersama dengan para pemimpin Redaksi media lainnya yang terkena nasib yang sama menandatangani pernyataan minta maaf dan janji setia kepada pengasa itu dilakukan di Sekretariat negara, Jakarta,  keesokan harinya, 6 Februari 1978 harian Kompas pun terbit kembali. Di halaman depannya dimuat karikatur Oom Pasikom karya G.M. Sudarta, yang tersenyum lebar sambil mengucapkan: “Selamat Pagi!” Tentu kepada para pembaca setianya.

 

Pada edisi itu juga Jakob menulis di “Tajuk Rencana” seolah-olah memperkuat pernyataan permohonan maafnya itu kepada penguasa Presiden Soeharto:

Maka bersyukurlah kami, bahwa pada akhirnya harian ini diperkenankan terbit kembali. Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah ikut memungkinkan terbitnya kembali surat kabar ini.

....

Dengan ikhlas hati, kami menerima ajakan agar kami mawas diti. Itulah sikap dasar yang paling wajar, apabila orang tertimpa musibah. Dan selama ini harian ini tidak diperknenakan terbit, introspeksi itu kami lakukan.

.....

Dengan gagah berani dan benar, orang bisa bilang, manusia hidup tidak hanya dari roti. Namun ada juga ungkapan yang sama benarnya: orang perlu hidup lebih dulu, untuk bisa berfilsafat.”

Setelah semuanya itu berlalu, tekanan kepada Kompas dan media massa lainnya dari penguasa Soeharto tetap saja semakin kuat. Meskipun sudah berusaha sekuat mungkin untuk netral, tetap saja ada pihak penguasa yang merasa tidak puas dan menyampaikan ancamannya kepada Kompas.

Pada acara peringatan Hari Pers Nasional ke-32, 9 Februari 1978, di Solo, ketika acara para wartawan  berjabat tangan dengan Soeharto, saat giliran Jacob Oetama, Soeharto menyambut uluran tangannya, menjabat tangannya sambil tersenyum dengan senyuman khasnya (yang membuat ia dijuluki juga “The General’s Smile”), ia berkata pendek kepada Jacob: “Aja meneh-meneh!” Singkat padat, tetapi menyentak.

Jacob menerjemahkan peringatan Soeharto itu dengan kalimat lanjutannya: “Jangan lagi kamu lakukan, saya habisi kamu!”

Soeharto mengulangi ancamannya itu sekali lagi, saat berada di atas pesawat dalam penerbangan lawatan kenegaraan dari Yugoslavia dan Uni Soviet pulang ke Tanah Air, tahun 1980-an.

“Tak Gebuk!,” jawab Soeharto sambil mengepal tinjunya, diikuti dengan tawanya yang terbahak-bahak, saat menjawab pertanyaan wartawan tentang sikapnya terhadap media yang memberitakan berbagai aksi demonstrasi para mahasiswa di tahun 1970-an dibandingkan dengan saat itu (1980-an).

Sampai sekarang, Jakob yakin bahwa keputusan untuk menandatangani pernyataan minta maaf dan setia kepada pemerintahaan Soeharto itu sudah tepat, bukan suatu tindakan menjual diri atau kompromis, melainkan bentuk dari prinsip teguh dalam perkara tetapi lentur dalam cara. Prinsip dan cara Jakob dalam menghadapi setiap masalah seperti ini mungkin tak lepas dari kulturnya sebagai orang Jawa, dan pernah mengikuti pendidikan di Seminari selama beberapa tahun. Prinsip sebagai pedoman kerja tersebut telah dikembangkan sejak Kompas lahir.

Kees de Jong dari Universitas Nijmegen, pada 1990, dalam disertasi doktornya tentang Kompas, menemukan bahwa filsafat humanisme trasedental, merupakan pandangan hidup koran Kompas. Manusia seyogyanya banyak menenggang rasa karena setiap manusia bisa berbuat salah. Tidak ada malaikat di dunia ini. Manusia amatlah kecil dibanding kebesaran Tuhan. Manusia memiliki keagungan sekaligus kekerdilan. Kalau menunjuk pada kekurangan, amatlah banyak kekurangan setiap orang, tetapi setiap orang niscaya ada baiknya.

Kalimat-kalimat itu menghujam dalam hati sanubari Jakob, tidak lagi sebagai slogan atau tag line, tetapi dihidupi dan menjadi nilai-nilai kemanusiaan yang senantiasa dia sampaikan dalam berbagai kesempatan dan tulisan. Critic with understanding. No angel in the world. Keagungan dan kekerdilan manusia. Itulah tiga dari puluhan kalimat-kalimat kunci dan kalimat-kalimat mutiara yang dia coba sampaikan agar menjadi milik diri setiap wartawannya dalam bekerja.

Kompas menjadi wadah pertemuan segala macam pikiran yang hidup dalam masyarakat menuju tingkat perkembangan lebih sehat, sehingga Kompas lebih merupakan viewerspaper daripada newspaper.

 

Kepada Ojong, Jakob mengatakan, "Tanda tangan ini basa-basi saja. Tidak akan berlaku seumur hidup."

Ojong pun menyerahkan masalah tersebut kepada Jakob apa yang menurutnya terbaik bagi Kompas. Tetapi, sejak itu Ojong tidak lagi mau mengurus mengenai redaksional Kompas sampai tutup usianya pada 31 Mei 1980.

Jakob Oetama sangat menghormati P.K. Ojong, demikian pula sebaliknya. Setiap tahun, setiap tanggal 31 Mei, Jakob selalu tidak lupa mengajak para pemimpin Kompas Gramedia berziarah ke makam P.K. Ojong.

Di setiap momen penting yang berkaitan dengan sejarah Kompas Gramedia, Jakob tidak pernah lupa menyebutkan jasa besar rekannya sesama pendiri Kompas Gramedia itu. Tidak terkecuali pada saat memperingati HUT ke-50, atau “HUT Emas” Kompas, sekaligus peluncuran buku 50 Tahun Harian Kompas, pada Minggu kemarin, 28 Juni 2015, di Bentara Budaya, Jakarta. 

Demikian juga rasa syukur tiada akhir yang selalu diucapkan dan diingatkan Jakob kepada dirinya sendiri dan kepada segenap pemimpin dan karyawan grup Kompas Gramedia di dalam berbagai kesempataan, terutama sekali saat memperingati setiap HUT Kompas.

Saat memperingati HUT ke-50 Kompas sekaligus peluncuran buku 50 Tahun Harian Kompas, kemarin itu, Jakob kembali mengingatkan pentingnya bersyukur dan berterima kasih.

Kompas.com, Minggu, 28 Juni 2015, menulis beritanya:

.....

Jakob mengaku bersyukur atas karunia serta nikmat dari Yang Mahakuasa sehingga Kompas bisa terus berjalan hingga usianya yang ke-50 saat ini. "Dalam merayakan 50 tahun, tidak ada kata lain selain syukur dan terima kasih. Syukur atas karunia dan berkah yang dilimpahkan Tuhan, yang merestui kerja sama yang sinergi dan usaha keras yang membuahkan hasil bagi banyak orang," kata Jakob.

Jakob berterima kasih kepada Tuhan karena Kompas bisa berdiri sebagai lembaga yang idealis, sekaligus mengembangkan bisnis yang membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang.

....

Dalam kesempatan itu, Jakob berterima kasih secara khusus kepada almarhum P.K. Ojong yang menjadi salah satu perintis serta pendiri Kompas. Tak lupa, ucapan terima kasih juga disampaikannya kepada rekan kerja serta karyawan Kompas yang sudah berjasa dalam mengembangkan Kompas.

"Seperti para pemasang iklan, pelanggan, narasumber, kontributor artikel, dan mereka yang bekerja di bagian bisnis serta distribusi. Berterima kasih kepada semua pimpinan dan karyawan," ucap Jakob lagi.

Selain dukungan dari para karyawan, Jakob menilai Kompas tidak akan bisa berdiri jika tidak diberi ruang oleh pemerintah. Karena itulah, Jakob juga menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada pemerintah yang telah memberi ruang kepada Kompas untuk bisa terus hidup serta mencerdaskan masyarakat melalui usaha media massa.

"Kompas jadi seperti sekarang akibat kerja keras, tiada hari tanpa berterima kasih. Pantas kita ucapkan, semua tidak secara kebetulan, tetapi selalu dalam penyelenggaraan Allah," tutur dia.

Dalam rentang 50 tahun, terbentang pergulatan jatuh bangun Kompas. Ada keberhasilan, tetapi ada juga kegagalan yang dialami dalam kondisi sosial, politik, budaya, dan perekonomian.

Kompas pun pernah ditutup pada 20 Januari hingga 5 Februari 1978. Hingga pada 6 Februari, Kompas diizinkan untuk terbit kembali. "Kami mulai dari serba nol, modal kami adalah tekad dan semangat. Media adalah eksistensi masyarakat. Kompas juga tumbuh sesuai dengan perkembangan bangsa dan negara," ucap Jakob.

Saat menggagas Kompas bersama dengan PK Ojong, Jakob memaknai Kompas sebagai realitas Indonesia. Koran baru yang menjadi reperkusi sekaligus fotokopi Indonesia mini. "Media yang kami rintis, dirikan, dan kembangkan itu sebuah kebinekaan dalam kesatuan, Bhinneka Tunggal Ika, ciptaan Empu Tantular yang menjadi semboyan negeri tercinta, Indonesia," kata Jakob.

Ke depan, Jakob mengingatkan soal tantangan Kompas yang semakin berat. Tantangan untuk terus tumbuh di tengah era multimedia, multichannel, dan multiplatform.

-----

“Syukur Tiada Akhir” adalah judul buku yang khusus disusun dan ditulis oleh St. Sularso sebagai refleksi perjuangan Jakob Oetama (bersama P.K. Ojong), dan kawan-kawan mereka membesarkan Kompas (diawali dengan adanya majalah Intisari) menjadi sampai sebesar sekarang, dan masih terus dikembangkan itu,  dirilis pada 2011, sekaligus dalam rangka memperingati HUT-nya yang ke-80 (lahir: 27 September 1931) benar-benar menjadi pegangan hidup abadi Jakob Oetama dalam terus membangun Kompas dan grup usahanya, sungguh-sungguh dihayati, dan berupaya terus ditularkan kepada semua pemimpin dan karyawan grup Kompas Gramedia, sampai kapan pun juga. *****

 

 Artikel ini disari dari bab-bab tertentu buku:

  • Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama, Penyusun: St. Sularto, Penerbit Buku Kompas, cetakan ke-3 (2012).
  • Hidup Sederhana, Berpikir Mulia, oleh Helen Ishwara, Penerbit Buku Kompas, cetakan pertama (2014).

 

Artikel terkait:

Sejak Kecil Saya Sudah Cinta "Kompas"

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun