[caption id="attachment_364808" align="aligncenter" width="583" caption="Megawati dan Jokowi (http://joss.today/)"][/caption]
Kabar bahwa akan terjadi perombakan atau reshuffle kabinet di pemerintahan Presiden Jokowi kian lama kian santer saja. Kabar tersebut semakin terasa pasti saat Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang lebih dulu memastikan hal tersebut. Sedangkan Presiden Jokowi sendiri pemilik sepenuhnya hak prerogatifnya justru lebih memilih tidak mau berbicara tentang hal tersebut sekarang.
Senin pagi, 4 Mei 2015, ketika ditanya wartawan, di Kantor Wakil Presiden, JK memastikan bahwa memang dalam waktu dekat ini akan dilakukan reshuffle kabinet.
JK menjelaskan perombakan kabinet dirasa perlu mengingat dibutuhkannya kinerja yang mumpuni untuk mengintensifkan program kerja Jokowi-JK. Namun, ia menolak menjelaskan rinci sektor kementrian mana yang menjadi sasaran perombakan (cnnindonesia.com).
Malam harinya, di hari yang sama, seusai menghadiri kegiatan pelepasan Tim Nusantara Sehat Angkatan I di Istana Negara, Jakarta, Presiden Jokowi sendiri ketika diminta konfirmasi tentang rencana reshuffle kabinet itu menolak menjawabnya. Entah bermaksud menyindir JK yang mendahuluinya berbicara tentang itu, atau hanya sekadar berkelakar, Jokowi hanya bilang kepada wartawan, tentang reshuffle kabinet itu, tanya saja kepada JK.
"Ya itu tanya Pak JK aja. Tanya dong soal acara ini. Tanya soal Nusantara sehat, gimana sih. Tadi kan baru saja bicara soal Nusantara sehat," ujar Jokowi menghindar.
Jokowi tetap tak mau menjawab pertanyaan tentang reshuffle kabinet itu, meskipun berulang kali didesak wartawan. "Tanya aja soal tim Nusantara sehat," tegasnya sambil berlalu (jpnn.com).
Jokowi boleh saja menghindar menjawabnya, tetapi kabar tentang rencana reshuffle kabinet itu kelihatannya memang bukan sekadar kabar angin belaka. Reshuffle kabinet itu diperkirakan sudah dilakukan Jokowi paling lambat dua-tiga bulan ke depan.
Yang menarik tentu saja memperkirakan siapa saja menteri atau bawahannya di kabinet kerja yang akan diganti oleh Presiden Jokowi itu?
Satu-satunya Menteri yang Tak Berani Diganti Jokowi
Sebelum memperkirakan siapa menteri/pembantu Presiden yang akan diganti Jokowi, lebih dulu kita perkirakan siapa menteri yang tak bakal berani diganti Jokowi, kalau hanya sekadar digeser mungkin saja, tetapi kalau dicopot, mana berani Jokowi? Cuma ada satu orang! Siapa lagi, kalau bukan Puan Maharani, sang Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK).
Meskipun ia adalah Presiden dengan hak prerogatif yang melekat pada dirinya, apa pun prestasi Puan, Jokowi tak bakal berani mencopot Puan. Betapa tidak, bagi PDIP, Jokowi tak lebih dari petugas partainya. Halmana sudah secara tegas disebut Ketua Umum PDIP Mengawati Soekarnoputri baru-baru ini di pidatonya pada Kongres IV PDIP di Bali. Dan, Jokowi tak berani membantahnya.
Bagaimana mungkin seorang petugas partai yang diutus menjadi Presiden itu berani mencopot atasannya di kabinetnya itu, tanpa keinginan yang bersangkutan sendiri?
Pada 16 April 2015, Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Program dan Pemerintahan DPP PDIP, Ahmad Basarah mengaku saat Kongres PDIP di Bali itu, para petinggi partai itu telah membisiki Presiden Jokowi nama-nama menteri/pembantu presiden yang semestinya diganti (jpnn.com).
Meskipun Ahmad Basarah tak memberitahu siapa saja mereka, tetapi pasti tidak mungkinlah dalam daftar nama yang diminta untuk diganti itu terdapat nama Puan Maharani, atau bahkan Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri yang mantan Sekretaris Jenderal PDIP itu.
Pidato Presiden yang Tak Pernah Dibacakan
Saat Kongres IV PDIP di Bali itu berlangsung (9 April – 12 April 2015), status Jokowi sebagai Presiden itu terlihat memang nyaris tak ada bagi PDIP. Saat rombongan memasuki ruangan kongres saja, Jokowi berjalan di belakang Megawati. Demikian juga acara yang sebelum direncanakan diisi dengan pidato Presiden (sesuatu yang lazim jika Presiden hadir), mendadak ditiadakan. Padahal berdasarkan susunan acara yang tercantum di undangan, Jokowi bersama stafnya sudah mempersiapkan pidatonya untuk dibacakan di acara Kongres itu
Untuk menyusun draf pidato itu, Jokowi mengajak Sekretaris Kabinet Pratikno, yang didampingi dua anggota stafnya, untuk berdiskusi. Disepakati tema yang dimasukkan di dalam pidato Jokowi itu adalah tekad pemerintah memberantas korupsi. Salah satu bagian draf teks pidato yang sedianya akan dibacakan Jokowi itu adalah: “Sebagai panglima tertinggi, saya ingin Polri bersih”.
Seorang saksi pertemuan itu mengatakan, Jokowi tak keberatan dengan kalimat itu. Bahkan dia berkata, “Tak ada kalimat yang lebih keras lagi, ya?” Namun naskah pidato itu kemudian menjadi pidato presiden yang tidak pernah dibacakan.
Ketika dikonfirmasikan langsung ke Jokowi, kenapa saat kongres itu tidak jadi berpidato padahal naskahnya sudah disiapkan, Jokowi menjawab: “Ya, ditanyakan ke panitia. Kok, tanya ke saya? Hahaha ... “ (Majalah Tempo, 13-19 April 2015).
Mungkin saja, sebelum berpidato, naskah pidato tersebut disensor terlebih dulu oleh sang Ketua Umum, dan ternyata tak lolos sensor, maka itu sesi pidato Presdien itu dibatalkan begitu saja, dan teks yang menyatakan “Sebagai panglima tertinggi ...” itu diingatkan dengan penegasan sang Ketua Umum bahwa semua kader PDIP yang sekaligus pejabat negara (termasuk Presiden) adalah petugas partai! “Jika tidak mau disebut petugas partai, silakan keluar!”
Rabu kemarin (6 Mei 2015) seusai mendaftarkan kepengurusan baru PDIP di kantor Kemenkum HAM di Jakarta, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga mengaku bahwa PDIP telah menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk Jokowi jika reshuffle kabinet itu jadi dilakukan (Jawa Pos, 07/05/15). Bisa diduga pula bahwa di dalam usulan nama-nama tersebut, tidak mungkin ada pencoretan nama Puan Maharani.
Mereka yang Paling Mungkin akan Diganti
Sekarang, kita bicara tentang siapa saja menteri/pembantu Presiden Jokowi itu yang paling mungkin akan diganti. Siapa saja mereka itu rasanya tidak akan lepas dari status Jokowi sebagai “petugas partai” itu, dengan kata lain mereka yang akan digantikan Jokowi itu lebih dikarenakan “perintah”, atau desakan PDIP dan partai-partai pendukung lainnya.
Karena PDIP sangat didominan oleh Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri, maka bisa diduga pengaruh Mega sangat kuat di dalam rencana perubahan kabinet tersebut. Ini bisa jadi sekaligus merupakan kesempatan Jokowi untuk “memperbaiki kesalahannya” terhadap Megawati ketika menyusun kabinetnya itu, karena terdapat beberapa nama yang sangat tidak disukai oleh sang Ketua Umum, tetapi tetap saja diangkat oleh Jokowi.
Seorang pejabat di pemerintahan Jokowi, mengatakan kepada Tempo, Megawati berulangkali menyorot langkah Jokowi yang dianggap keliru dalam menempatkan beberapa orangnya sebagai pembantunya di kabinetnya itu. Dia mengklaim, sebagai mantan presiden dan anak presiden yang dibesarkan di Istana, paham sekali seluk-beluk pusat kekuasaan itu.
Tiga nama yang paling mungkin digantikan oleh Presiden Jokowi atas “perintah” Megawati adalah Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan, Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno, dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan seorang menteri yang dekat dengan Megawati bahwa Rini, Luhut, dan Andi memang adalah sumber kekecewaan dan kerenggangaan hubungan Megawati dengan Presiden Jokowi (Majalah Tempo, 13-19 April 2015).
1. Luhut Binsar Panjaitan
Meskipun Luhut adalah sahabat lama dan sangat dekat dengan Jokowi, bahkan sejak sebelum Jokowi menjadi Walikota Solo keduanya sudah menjalin kerjasama bisnis di Solo, Luhut merupakan salah satu dari tiga pembantu Presiden Jokowi yang paling mungkin dengan terpaksa akan diganti Jokowi.
Luhut berada di urutan pertama yang harus “dikoreksi” Jokowi yang “terlanjur” memberi jabatan kepadanya sebagai Kepala Staf Kepresidenan itu dikarenakan Luhut-lah yang paling tidak disukai oleh baik Megawati, maupun Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Peran JK dan Rencana “Menyingkirkan” Luhut
Beberapa kali JK sudah menyatakan keberatannya dengan keberadaan Luhut sebagai Kepala Staf Kepresidenan itu, alasannya terutama karena dianggap kewenangannya tumpang-tindih dengan kewenangan Wakil Presiden, terutama saat di Maret 2015, Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 yang menambah kewenangan Kepala Staf Kepresidenan, dari semula hanya mendukung komunikasi politik dan mengelola isu-isu strategis kepresidenan sesuai Peraturan Presiden Nomor 190 Tahun 2014 tentang Unit Kantor Presiden, kini ikut mengendalikan program prioritas.
JK menilai penambahan kewenangan kepada Kepala Staf Kepresidenan melalui Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 itu berpotensi menimbulkan koordinasi yang berlebihan. Pada akhirnya, koordinasi yang berlebihan ini dinilainya berpotensi menciptakan kesimpangsiuran koordinasi pemerintahan (Kompas.com).
Dengan adanya kabar mengenai reshuffle kabinet yang dipastikan pertama kali oleh JK sendiri itu – sedangkan Presiden Jokowi sendiri justru belum mau berbicara tentang itu --, JK pula yang bersemangat menyatakan bahwa reshuffle tersebut bisa saja termasuk penggantian terhadap Luhut Panjaitan.
"Yang diangkat oleh Presiden bisa diganti oleh Presiden, itu saja rumusnya," kata JK di Hotel Luwansa usai menghadiri acara Seminar Proteksi & Monetisasi Hak Kekayaan Intelektual untuk Industri Film Indonesia, di Jakarta, Rabu (06/05/2015), saat ditanya mengenai nasib Luhut di Kabinet Kerja (Tempo.co).
Padahal, jangankan bicara tentang status Luhut secara khusus, berbicara tentang rencana reshuffle kabinet secara umum saja, sang empunya hak prerogatif, Presiden Jokowi belum mau bicara.
Sampai dengan Rabu, 6 Mei 2015, Menteri Sekretaris Negara Pratikno juga mengatakan hingga saat ini Presiden Jokowi belum menyampaikan rencana meng-reshuffle kabinet.
Sedangkan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, pada 11 Maret 2015, pernah mengatakan bahwa memang ada evaluasi terhadap kinerja para menteri, tetapi belum sampai pada tahapan kepastian melakukan reshuffle itu. Namun demikian, dia juga memastikan bahwa Kepala Staf Kepresidenan tidak akan masuk dalam radar evaluasi. Pasalnya, Kepala Staf Kepresidenan bertugas memonitor program berskala prioritas. Andi juga menampik bahwa Kepala Staf Kepresidenan itu memiliki wewenang untuk menilai kinerja menteri Kabinet Kerja.
"Pasti tidak (di-reshuffle) karena kantor itu yang akan memantau pelaksanaan program prioritas. Cenderung tak akan buat rapor merah atau biru seperti UKP4," pungkas Andi (Kompas.com).
Kelihatannya momen kabar tentang akan dilakukan reshuffle kabinet ini benar-benar dimanfaatkan oleh JK untuk banyak bicara tentang hal tersebut, sekaligus untuk menyuarakan ketidaksukaannya terhadap keputusan Jokowi yang mengangkat dan memberi kewenangan besar kepada Luhut sebagai Kepala Staf Kepresidenan itu. Saking terlalu semangatnya, sampai-sampai JK lupa kalau aksinya itu bisa memberi kesan seolah-olah ia melangkahi kewenangan Presiden untuk berbicara tentang hal itu.
Indikasi desakan kepada Jokowi untuk menggantikan Luhut juga datang dari Partai Nasdem. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai NasDem Victor Laiskodat. Menurutnya, Luhut turut menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Latar belakang Luhut sebagai pengusaha pun diungkit-ungkit. Demikian juga mengenai adanya dualisme komando antara Luhut dan JK, yang membuat terganggunya lajunya pertumbunhan perekonomian.
Ia menilai Luhut memiliki peran dan wewenang yang lebih, sehingga terjadi overlapping terutama di sektor ekonomi. "Dia tidak tidak berada posisi yang secara konstitusi itu masuk, tapi dia diberikan kewenangan yang lebih," jelasnya. Peran staf presiden, menurutnya, "melampaui wakil presiden dalam pengawasan pembangunan terutama di sektor ekonomi (cnnindonesia.com).
Faktor Utama: Megawati
Dari semua faktor kemungkinan itu, faktor probilitas Luhut akan terpaksa dicopot Jokowi atas “perintah” partainya adalah faktor Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hubungan antara Megawati dengan Luhut sudah memburuk sejak lama. Diawali dengan penolakan Luhut untuk bergabung dengan Megawati saat Gus Dur dilengserkan dari jabatannya sebagai Presiden secara paksa oleh MPR, dan digantikan oleh Megawati (Juli 2001). Sebelumnya Luhut adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan di kabinet Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
“Lancangnya” Jokowi, ia berani-beraninya, terkesan diam-diam dan tiba-tiba pula mengangkat Luhut sebagai Kepala Staf Kepresidenan itu, tanpa sepengetahuan dan seizin Megawati. Lewat reshuffle kabinet nanti, Jokowi akan menebus “kesalahannya” tersebut.
Menurut sumber Tempo dari pemerintahan, setelah Jokowi mengangkat Luhut sebagai Kepala Staf Kepresidenan itu, Megawati berulangkali menyorot keputusan Jokowi itu dengan perasaan kecewa.
Ketika terjadi pertemuan Megawati dengan para anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Senin, 30 Maret 2015, Megawati dikabarkan menyampaikan uneg-uneg-nya tentang kekecewaannya terhadap Jokowi yang telah menempatkan Luhut, Rini, dan Andi di kabinetnya itu. Khusus tentang Kepala Staf Kepresidenan yang dijabat Luhut, Mega mengatakan ketika ia menjadi Presiden ia tak pernah membentuk lembaga yang dianggapnya ekstra-konstitusional seperti itu.
Megawati juga mempersoalkan terlalu besarnya kewenangan dan kepercayaan yang diberikan Jokowi terhadap Luhut Panjaitan. Seorang staf Istana, yang dijadikan sumber Tempo, mengatakan Mega mempersoalkan keputusan Jokowi yang pernah mengutus Luhut untuk melobi ketua-ketua partai politik dari KMP (pendukung Prabowo), untuk menyetujui APBN Perubahan yang sudah dibahas parlemen pada Januari 2015 lalu. Lobi itu juga membuat KMP tak mempersoalkan lagi keputusan Jokowi yang membatalkan pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Seorang menteri menyebutkan, Megawati khawatir Luhut memberi masukan yang bisa membahayakan Jokowi. Selain itu, Mega juga mempersoalkan konflik kepentingan Luhut, yang merupakan seorang pengusaha. Meskipun Luhut sudah berkali-kali mengatakan hal tersebut tidak perlu dipersoalkan karena dia sudah melepaskan semua jabatannya di perusahaan-perusahaannya itu. Hal mana sebetulnya juga pasti sudah dipertimbangkan Jokowi sebelum menggunakan hak prerogatifnya itu saat mengangkat Luhut dengan jabatannya yang terus dipersoalkan Megawati dan Jusuf Kalla itu.
Namun, apapun alasan Jokowi dan Luhut, mampu dan beranikah Jokowi mempertahankan Luhut dengan menegaskan hak prerogatifnya sebagai Presidennya itu di atas tugasnya sebagai petugas partai yang pernah dipertegaskan oleh Megawati itu?
2. Rini Mariani Soemarno
Meskipun dia adalah sahabat lama/dekat Megawati, dan pernah menjadi Menteri Perindusrian dan Perdagangan-nya Megawati saat Mega menjadi Presiden (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004). Juga meskipun dia berperan besar sebagai salah satu dari anggota tim sukses Jokowi-JK di masa Pilpres 2014, Rini Mariani Sumarno termasuk dalam menteri yang kemungkinan besar terpaksa juga diganti oleh Jokowi.
Rini berperan besar dalam penyiapan logistik, sejumlah rapat yang dihadiri Jokowi, JK, dan Megawati dalam rangka persiapan kampanye Pilpres 2014 itu, termasuk persiapan debat capres-cawapres diselenggarakan di rumah pribadi Rini. Tak heran jika kemudian ketika membentuk Tim Transisi Pemerintahan untuk menentukan langkah-langkah politik pemerintahan Jokowi-JK, Jokowi langsung menunjuk Rini sebagai ketuanya.
Namun justru posisinya itulah yang mebuat hubungan baiknya dengan Megawati memburuk, Mega merasa dilangkahi oleh Jokowi yang memberi peran yang terlalu besar kepada Rini – juga Andi Widjajanto –, tanpa berkonsultasi dengannya.
Saat pembentukan Tim Transisi itu (Agustus 2014), Megawati sedang berada di luar negeri, sepulang dari sana, Mega memanggil Rini ke rumahnya. Saat Rini datang, Mega menumpahkan kekesalannya kepada Rini tentang peran Rini yang terlalu dominan, tanpa melibatkannya. Rini tidak menerima begitu saja amarah Mega kepadanya itu, dia membela diri dan balas memarahi Megawati. “Suasana panas karena mereka sama-sama marah dan saling tunjuk,” kata sorang menteri yang menjadi sumber Tempo itu.
Megawati yang tidak pernah mengalami perlawanan seperti itu, merasa sakit hati kepada Rini. Sejak itulah posisi Rini sebagai Menteri BUMN dipermasalahkan. Kabarnya Rini akan diganti dengan alasan ia terlalu banyak membiarkan beberapa direksi BUMN-BUMN terus dengan jabatannya itu, padahal mereka adalah pendukung Prabowo di Pilpres 2014.
Rini yang diminta konfirmasi, memilih tak mau menjawabnya, apakah benar atau tidak informasi tersebut. Tetapi jika tak benar, bukankah pasti Rini sudah membantahnya? Kata pepatah: diam itu berarti setuju.
3. Andi Widjajanto
Mirip dengan Rini Soemarno, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto juga sebenarnya adalah orang dekat Megawati. Ayahnya, Theo Syafei adalah karib Mega sejak lama di PDI(P). Theo juga adalah ketua tim kampanye Mega-Prabowo di Pilpres 2009. Ayahnya pula yang membawa masuk Andi ke PDIP.
Pada April 2013, Mega memberi tugas kepada Andi untuk membuat kajian kemenangan PDIP untuk Pemilu 2014, lalu memimpin Tim Sebelas untuk menyaring calon-calon presiden PDIP, dan mendampingi Jokowi selama Pilpres 2014, serta menjadi penghubung antara Mega dengan Jokowi.
Saat sudah ada kepastian JK berpasangan dengan Jokowi di Pilpres 2014, Andi ditunjuk sebagai sekretaris mereka. Setelah menang Pilpres, Jokowi menunjuk Andi menjadi deputi Tim Transisi Pemerintahan, yang tugasnya menyusun calon-calon pembantu Jokowi-JK di kabinet.
Andi akhirnya ditunjuk sebagai Sekretaris Kabinet Jokowi sampai sekarang.
Mirip dengan kasus dengan Rini, dalam posisinya seperti itulah justru membuat hubungan Andi dengan Megawati memburuk. Mega menganggap Andi tidak memperjuangkan beberapa nama yang dikehendaki Mega menjadi bagian dari kabinet Jokowi. Beberapa nama itu dikabarkan mendapat catatan merah dari KPK, sehingga memang Andi tidak bisa memperjuangkannya sesuai keinginan Megawati.
Diduga salah satu dari nama-nama itu adalah bekas ajudan Megawati sewaktu dia menjadi Presiden, Komjen Budi Gunawan, yang dikehendaki Mega menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Tapi karena termasuk daftar merah KPK, Budi gagal menjadi menteri. Sebagai gantinya, Budi Gunawan diplot sebagai Kapolri, yang kemudian juga gagal karena dijadikan tersangka oleh KPK, dan berujung pada berbagai masalah hukum bercampur politik yang sangat pelik, terutama Polri vs KPK sampai sekarang itu.
Kekecewaan Mega kepada Andi semakin menjadi-jadi karena dia merasa selama ini Andi juga tidak pernah melaporkan kepadanya perkembangan yang terjadi di Istana. Mendukung sikap Mega itu beberapa politikus PDIP pun mulai antipati terhadap Andi. Meskipun tidak secara langsung, Puan Maharani, putri Megawati juga berkomentar tentang hal ini. Saat diwawancara wartawan di Kongres IV PDIP di Bali, Puan mengatakan ada orang di Istana yang membatasi hubungan ibunya dengan Presiden Jokowi, dan itu harus diakhiri.
Kubu Wakil Presiden JK pun pikut-ikutan menyerang Andi. Alwi Hamu, orang dekat JK, menilai Andi terlalu muda dan kurang pengalaman untuk menjadi Sekretaris Kabinet.
Menjawab rasa tidak suka Mega terhadap Andi itu, Jokowi dikabarkan mulai membatasi peran Andi. Ia tidak lagi diikutkan dalam rapat-rapat terbatas. Andi hanya diundang dalam rapat-rapat yang juga dihadiri anggota Kabinet Kerja.
Andi membantah kabar ini. Kata dia, semua sidang kabinet dan rapat terbatas masih dihadirinya.
*
Apakah semua analisa di atas benar? Kita tunggu saja realitasnya dua-tiga bulan ke depan. Waktu dikabarkan reshuffle kabinet itu akan benar-benar dilakukan oleh Presiden Jokowi. Dari momen ini kita akan bisa melihat apakah nanti Jokowi benar-benar "menebus kesalahannya" dengan menuruti "perintah" dari partainya untuk membersihkan kabinetnya dari orang-orang yang sebetulnya disukainya tetapi tidak disukai ketua Umum partainya, seperti tiga tokoh yang disebut di artikel ini? Atau Jokowi punya pilihan dan alasan sendiri?
Bagaimana pun kita harus mengingatkan Jokowi agar selalu ingat bahwa dia adalah Presidennya rakyat Indonesia, bukan Presiden petugas partainya.
*****
** Sumber utama data tentang hubungan Megawati dengan Luhut Panjaitan, Rini Soemarno dan Andi Widjajanto: Majalah Tempo edisi 13-19 April 2015 **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H