[caption id="attachment_359678" align="aligncenter" width="428" caption="Megawati (aktual.co)"][/caption]
Kamis sampai dengan Minggu (9-12 April 2015), PDIP akan menyelenggarakan Kongres-nya yang keempat di Bali. Pada saat itu, tentu saja Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri akan menyampaikan pidatonya.
Nah, dengan kondisi ekonomi, sosial, dan politik sekarang ini, apakah nanti dalam pidatonya itu Megawati akan menangis sampai sesenggukan lagi? Apakah Megawati akan menyatakan lagi kesedihannya yang tak tertahankan itu, karena rakyat banyak menderita sebagai akibat dampak kenaikkan harga BBM sekarang?
Pertanyaan ini diutarakan karena mengingat pada masa lalu, saat pemerintahan dipegang oleh Presiden SBY, Megawati dan PDIP sangat gencar menentang kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM itu. Dipimpin oleh berbagai petingginya, PDIP menggalang unjuk rasa besar-besaran di berbagai kota di seluruh Indonesia, untuk menyatakan penolakan kebijakan pemerintahan SBY itu (maklum saat itu sudah semakin dekat Pilpres 2009).
Pada 27 Mei 2008, saat membuka Rakernas PDIP di Makassar, Megawati menyampaikan pidatonya. Pada saat itulah Megawati sampai menangis tersedu-sedu menyatakan kesedihannya atas kesusahan rakyat karena Presiden SBY menaikkan harga BBM itu.
Pada kesempatan itu, Megawati sempat mendendang lagunya Iwan Wals, “Gawang Rambu Anarki”, dengan mengubah syairnya untuk menyindir kebijakan Presiden SBY itu.
"BBM naik tinggi susu tak terbeli, orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi ...” Megawati bersenandung, yang disambut tepuk tangan riuh dari peserta Rakernas itu. Ia mengaku hatinya teriris-iris menyaksikan penderitaan rakyat yang semakin berat dengan naiknya harga BBM itu.
"Bangsa Indonesia terpuruk dan telah kehilangan martabat dan harga diri. ... Banyak rakyat lapar karena tingginya angka kemiskinan, tidak mendapatkan pendidikan yang bagus, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik ...," Mega tampak tak mampu melanjutkan kata-katanya, nafasnya terdengar sesak, ia menangis, menyeka air matanya dengan tangannya.
Beberapa saat suasana dalam ruangan Rakernas itu hening, seolah-olah seluruh kader pDIP turut merasakan kesedihan Ketua Umumnya itu terhadap rakyat kecil. Setelah berhasil mengendalikan dirinya lagi, Mega melanjutkan pidatonya itu, "Saya sedih melihat rakyat banyak yang menderita, padahal kita punya banyak kekayaan alam, namun angka kemiskinan tinggi" (Okezone.com).
Sekarang, bagaimana dengan sikap Megawati/PDIP saat giliran mereka yang menjadi partai berkuasa dengan kadernya, Jokowi sebagai presiden yang menaikkan harga BBM?
Apakah dalam pidatonya di Kongres IV PDIP di Bali nanti itu Mega akan kembali menyatakan kesedihannya atas dampak sosial dan ekonomi terhadap rakyat kecil akibat dinaikkan harga BBM oleh Presiden Jokowi, sekarang?
Tentu Mega tidak akan menangis lagi. Tapi, apakah itu karena kondisi dampak kenaian harga BBM pada 2008 dengan kondisi sekarang itu berbeda? Dulu (2008), menurut Mega, rakyat menderita karena kenaikan harga BBM, dan sekarang, tidak, karena suasananya berbeda, dan Presidennya Jokowi?
Megawati pernah menjelaskan bahwa ia dan PDIP sama sekali tidak bersikap mendua mengenai kenaikan harga BBM. Sikap mereka berubah bukan karena Jokowi yang menaikkan harga BBM, dan PDIP sekarang sebagai partai penguasa, tetapi karena memang kondisi ekonomi 2008 itu berbeda dengan kondisi sekarang. Dalam pernyataannya itu Megawati malah masih sempat menyalahkan SBY. Mega menyalahkan SBY, karena, katanya, di masa mendekati akhir masa jabatannya itu SBY tidak berani mengambil tanggung jawab dengan menaikkan harga BBM, sehingga akhirnya Jokowi-lah setelah menjadi Presiden yang melakukannya.
Apakah memang betul kondisi sosial ekonomi 2008 berbeda dengan sekarang, sehingga saat ini PDIP justru berbalik mendukung kenaikan harga BBM?
Lalu, pada 2008 itu, air mata apa yang dulu mengalir dari sepasang mata Megawati? Murni air mata seorang tokoh bangsa yang sangat perduli dengan nasib rakyat kecil, ataukah air mata politikus yang sedang mengincar kursi presiden dalam Pilpres 2009, ataukah memang ciri khas politikus yang pandai bermain sandiwara dengan air mata buayanya? Ini perlu diperjelas.
Yang pasti dalam momen ini telah terjadi paradoks dan ironi: saat pemerintah menaikkan harga BBM, yang diikuti dengan naiknya harga barang-barang kebutuhan sehari-hari, menghimbau rakyat untuk menghemat, kok bisa Presiden Jokowi malah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) yang menaikkan fasilitas uang muka bagi pejabat negara untuk membeli mobil mereka, dari Rp. 116.650.000 menjadi Rp. 210.890.000.
Setelah mendapat banyak sekali kecaman atas keputusannya itu, Jokowi -- entah pura-pura atau benaran – menyatakan keterkejutannya adanya fasilitas uang muka pembelian mobil pejabat negara yang dinaikkan sampai Rp 210 juta lebih itu. Ia bilang, ia tidak tahu, padahal Surat Keputusan itu ia yang tanda tangan. Jokowi pun memberi pernyataannya yang sangat mengejutkan, rupanya ia begitu saja tanda tangan Perpres itu tanpa tahu apa isinya!
"Tidak semua hal itu saya ketahui 100 persen artinya hal seperti itu harusnya di kementerian sudah meng-screening apakah berakibat baik dan tidak untuk negara," kata Jokowi di Bandara Soekarno-Hatta, Minggu (5/4), sepulangnya dari Solo.
Jokowi justru menyalahkan menteri terkait, karena dalam beberapa rapat terbatas tidak mempersoalkan hal itu. Apalagi, usulan itu berasal dari Ketua DPR Setya Novanto ke yang diproses di Sekretaris Kabinet dan dikaji oleh Kementerian Keuangan.
Jokowi mengaku banyak perpres, keppres dan peraturan lainnya yang membutuhkan tanda tangannya. Untuk itulah, Jokowi menyerahkan urusan yang sifatnya teknis atau administrasi kepada para menterinya.
"Tiap hari ada segini banyak yang harus saya tanda tangan. Enggak mungkin satu-satu saya cek kalau sudah satu lembar ada 5-10 orang yang paraf atau tanda tangan apakah harus saya cek satu-satu? Berapa lembar satu Perpres satu Keppres. Saya tidak tahu, saya cek dulu," terangnya (Kompas.com).
Karena kecaman yang bertubi-tubi dari masyarakat itu, Jokowi akhirnya mencabut kembali Keppres yang baru saja ia tandatangan sendiri itu.
Tidak mungkin cek satu per satu? Apakah harus cek satu per satu sebelum membubuhi tanda tangan? Jawabannya: Tentu saja mungkin dan harus! Jika, tidak, pasti akan ada peristiwa serupa dengan Perpres tentang menaikkan uang muka mobil pejabat negara itu. Yang bisa bahkan lebih fatal lagi akibatnya. Untung saja Indonesia tidak punya senjata nuklir!
Sangat berbahaya jika Presiden menandatangani suatu dokumen tanpa tahu apa isinya. Jangankan urusan negara, dalam urusan skala mini pun menandatangan sesuatu dokumen tanpa tahu apa isinya bisa sangat fatal akibatnya. Anda berani tandatangan begitu saja sebuah dokumen, padahal isinya surat pengakuan hutang anda!
Jangan-jangan, sewaktu menandatangani surat keputusan menaikkan harga BBM pun Jokowi sebenarnya tidak tahu kalau itu surat keputusan menaikkan harga BBM?
Kalau sampai begitu, rasanya, nanti Megawati patut menangis lagi di Kongres IV PDIP di Bali. Kali ini, bukan karena penderitaan rakyat sebagai dampak naiknya harga BBM, tetapi karena terlalu sedih: Kok punya kader Presiden bisa begitu gegabah!?
Tapi, apa pun yang terjadi, seharusnya seorang tokoh itu tak mudah menangis di depan umum, apalagi kalau tangisan itu tangisan politik. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H