Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Seperti Deng Xiaoping, Ahok Juga Ingin Meniru Lee Kuan Yew

4 April 2015   16:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:33 2504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_359092" align="aligncenter" width="561" caption="Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (jpnn.com)"][/caption]

Kenapa Indonesia belum bisa maju-maju juga semaju negara-negara lain, seperti, sebut saja yang terdekat: Singapura? Padahal, tahun ini usia kemerdekaan Indonesia sudah 70 tahun.

Dulu, di era Orde Baru, saya sering mendengar penjelasan dari pejabat-pejabat kita dengan berbagai alasan untuk itu. Alasan-alasan tersebut sesungguhnya hanya cara untuk mencari pembenaran dari kegagalan untuk membawa Indonesia sejajar dengan negara-negara maju lainnya.

Alasan-alasan tersebut masih ada sampai sekarang, dan rupanya sudah menular ke sebagian masyarakat. Padahal, seharusnya tidak yang namanya alasan untuk tidak bisa menjadi negara maju, yang ada adalah masalah atau halangan, dan masalah atau halangan itu bukan alasan untuk tidak maju, tetapi harus dipandang sebagai  tantangan. Tantangan itu haruslah dihadapi, diatasi, dan dikendalikan oleh kita, sehingga ia pasti akan berubah menjadi kesuksesan, sukses untuk menjadi negara maju.

Syarat utama untuk bisa menjadi negara maju yang terpenting adalah harus punya pemerintah yang bersih dari korupsi dan perbuatan tercela lainnya, berintegritas tinggi dalam mengabdi kepada kepentingan rakyatnya, tegas dan berwibawa, kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya dilandasi dengan tingkat disiplin dan kepatuhan terhadap hukum yang tinggi.

Selain itu pemimpin negara itu juga harus mau belajar secara berkesinambungan tentang konsep-konsep pemerintahan yang telah diterapkan di negara-negara yang telah lebih dulu maju, untuk kemudian diterapkan dan disesuaikan di negaranya, dengan tetap pada landasan ketegasan yang tinggi tanpa kompromi dalam penegakan hukum. Politik harus bisa menjamin jalannya penegakan hukum itu, dan hukum itu harus bisa mengatur bahwa politik itu tidak melanggar hukum, apalagi menjadikan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan politik.

Tanpa itu semua cita-cita Indonesia menjadi negara maju hanyalah sebatas utopia dan hanya sebagai komoditi politik janji-janji manis di masa kampanye pemilu.

Pesimisisme dan Inferiorisme

Saya teringat kembali dengan alasan-alasan  yang saya sebutkan di atas saat membaca komentar dari salah seorang kompasianer yang bernama Mulyawan S, di artikel yang berjudul Kalau Saja Indonesia Dipimpin oleh Lee Kwan Yew, Bukan Soeharto! oleh Hanny Setiawan.

Saat berbicara tentang Singapura yang begitu maju dibandingkan Indonesia, Mulyawan mengemukan alasannya bahwa Indonesia belum juga bisa semaju Singapura karena Indonesia itu punya rakyat 200 juta, sehingga tidak semudah mengurus Singapura yang hanya punya 4 juta rakyatnya.

"Satu lagi mungkin mengurus 200 juta orang Indonesia tidak lebih mudah daripada mengurus 4jt orang singapura yg patuh2," tulis Mulyawan S.

Kalau kita malas berpikir kritis, kita pun mungkin akan mengiyakan alasan yang dikemukakan oleh Mulyawan itu. Indonesia sulit maju  seperti Singapura, karena Indonesia itu jumlah penduduknya ratusan kali lipat daripada Singapura, dengan luas wilayah yang juga ribuan kali lipat lebih besar daripada Singapura yang hanya berwujud sebuah kota. Bahkan dibandingkan dengan Jakarta saja, Singapura kalah dalam hal jumlah penduduk, maupun luas wilayahnya.

Juga, kata pembuat alasan itu, dengan jumlah penduduknya yang sedemikian banyaknya itu (sekarang lebih dari 250 juta orang, sedangkan Singapura hanya 5 juta lebih orang), rakyat Indonesia itu terdiri dari banyak sekali suku-bangsa, bahasa, adat-istiadat, budaya, dan agama. Sehingga tentu saja mengurusnya jauh lebih sulit daripada Singapura, yang tidak sedemikian banyak suku-bangsa, adat istiadat, bahasa dan sebagainya itu.

Lalu, apakah dengan demikian kita patut pesimis untuk bisa cepat semaju Singapura? Apakah untuk menjadi negara maju, negaranya harus tidak terlalu besar secara wilayah, dan penduduknya jangan terlalu banyak sehingga pemimpinnya bisa mengurusnya lebih gampang? Tentu saja tidak. Semua itu tidak terlalu berkaitan, dan bukan penyebab dari suatu akitab dari maju atau tidaknya sebuah negara. Seperti yang saya kemukakan di atas, inilah cara berpikir kaum pesimisitis yang berjiwa "passenger". Indonesia pasti sangat sulit maju jika pemimpin dan sebagian besar rakyatnya punya cara berpikir seperti ini.

Semua itu tergantung dari kualitas manusianya, baik itu pemimpin, maupun rakyatnya.

Di masa Orde Baru itu, ketika Singapura dijadikan alasan untuk mengatakan kenapa Indonesia belum juga bisa menjadi negara maju, seperti tersebut di atas, lalu orang akan bertanya lagi: Tetapi, Amerika Serikat juga punya jumlah penduduk yang sangat banyak, bahkan jauh lebih banyak daripada Indonesia. Juga secara wilayah, luas Amerika Serikat jauh lebih luas daripada Indonesia, tetapi kenapa bisa menjadi nomor satu di dunia?

Rakyat Amerika Serikat juga terdiri dari banyak sekali suku-bangsa, bahasa, adat-istiadat, budaya, dan agama, bahkan lebih kompleks daripada Indonesia, karena keanekaragaman penduduknya itu juga berasal dari berbagai penjuru dunia (para imigran yang kemudian menjadi warga negara).

Pertanyaan itu dijawab dengan jurus mengelak cari alasan pembenaran, yaitu bahwa karena Indonesia itu kan baru merdeka puluhan tahun, sedangkan Amerika itu sudah lebih dari 200 tahun. Jadi, apakah kita juga harus menunggu merdeka 200 tahun baru bisa semaju Amerika Serikat? Padahal, berbicara mengenai usia kemerdekaan negara, Singapura  baru merdeka dan mandiri selepas dari Malaysia pada 1965. Dua puluh tahun setelah Indonesia merdeka.

Dari dua alasan dengan membandingkan Indonesia dengan negara Singapura dan Amerika Serikat sebagai pembenaran kenapa Indonesia sulit maju itu saja, sudah terlihat sesungguhnya alasan itu hanyalah merupakan cara mengelak dengan mencari-cari alasan dari mereka yang tidak mempunyai jiwa seorang "driver", tetapi hanya mempunyai jiwa "seorang passenger", "passenger" yang buruk pula.

Alasan-alasan itu sejatinya hanyalah merupakan cerminan dari pejabat, dan  mereka yang tidak mempunyai jiwa kepimpinan yang sejati, ingin negaranya maju tetapi tidak mempunyai motivasi untuk menjadikannya demikian, bersikap apatis, inferior, suka mencari-cari alasan pembenaran dari kegagalannya, dan hanya mau mengikuti apa yang dikatakan atau dikerjakan orang lain.

Pakar manajemen ternama dan pemilik Rumah Perubahan, Rhenald Kasali menyebut mentalitas seperti ini adalah mentalitas seorang "passenger", yang selalu menjadi penghalang utama untuk bisa sukses/maju. Karena ia juga tidak punya inisiatif dan inovasi, hanya ikut apa saja yang dilakukan orang lain, dan jika gagal selalu saja mencari-cara alasan untuk membenarkan kegagalannya itu.

Untuk maju, setiap orang itu harus mempunyai jiwa seorang "driver." Istilah “driver” mengaju kepada sosok seseorang yang pada intinya mempunyai tiga prinsip yang selalu dijalankan secara otomatis dari dirinya sendiri, yaitu selalu:

- Berinisiatif: Bekerja tanda ada yang menyuruh. Berani mengambil langkah berisiko, responsif, dan cepat membaca gejala.

- Melayani: Orang yang berpikir tentang orang lain, mampu mendengar, mau memahami, peduli, dan berempati.

- Navigasi: Memiliki keterampilan membawa gerbong ke tujuan, tahu arah, mampu mengarahkan, memberi semangat, dan menyatukan tindakan. Memelihara “kendaraan” untuk mencapai tujuan.

Bangsa yang hebat adalah "a driver nation". “Driver nation” sendiri hanya bisa dihasilkan oleh pribadi-pribadi yang disebut “driver”, yang menyadari bahwa ia adalah mandataris kehidupan, dan pemimpin-pemimpinnya sadar bahwa ia mendapatkan mandataris dari rakyat untuk melakukan perubahan.

Jadi, ada tiga hal yang harus dilakukan, yaitu bagaimana men-drive diri sendiri (drive yourself), men-drive orang lain (drive your people), dan men-drive bangsa (drive your nation).

Demikian yang  ditulis Rhenald Kasali di bukunya: Self Driving, Menjadi Driver atau Passenger? (Mizan, 2014).

Keburukan ini semakin tampak ketika kita membandingkan Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), karena semua alasan tersebut di atas (sebagai pembenaran kenapa Indonesia sulit maju) terpatahkan oleh kemajuan luar biasa yang dialami Tiongkok sampai hari ini.

RRT yang sekarang dideklarasikan hanya berselang 4 tahun dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia, secara wilayah dan penduduk RRT sangat jauh lebih banyak daripada Indonesia.

Deng Xiaoping Meniru Lee Kuan Yew

Dulu, negara-negara di dunia, termasuk Indonesia memandang remeh Tiongkok. B.J. Habibie  di masa dia menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi pada 1990-an pernah sesumbar menyatakan teknologi penerbangan Tiongkok tertinggal 50 tahun dibandingkan dengan Indonesia.

Sekarang, Tiongkok sudah sangat jauh menyalib Indonesia di segala bidang, mereka sudah bisa bikin dan mengorbitkan satelit sendiri, sudah mengirim astronotnya ke luar angkasa, dan sebagainya. RRT telah menjadi negara maju, dan menjadi nomor satu di dunia. Bahkan Amerika Serikat pun tak berani lagi main-main dengan negara yang sekarang dipimpin oleh Presiden Xin Jiping itu.

Jumlah penduduk (1,4 miliar orang, terbanyak di dunia) dan luas wilayah Tiongkok (9.596.961 km2)  sangat jauh lebih banyak dan luas daripada Indonesia. Tiongkok juga mengalami tragedi politik, sosial, dan kemanusiaan yang sangat parah, sebelum akhirnya bisa bangkit dan maju melebihi negara-negara maju lainnya yang sebelumnya memandang remeh mereka, termasuk Amerika Serikat.

Pasca perang saudara antara kaum komunis yang dipimpin oleh Mao Zedong dengan kaum nasionalis Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-sek, Tiongkok dengan nama Repulik Rakyat Tiongkok yang berpaham komunis baru diproklamasikan pada 1 Oktober 1949 oleh Mao Zedong.

Di bawah kepimpinan Mao Zedong yang diktator selama hampir 30 tahun (sampai dengan 1976), dengan berbagai ambisinya yang sangat besar untuk menjadikan RRT nomor satu di dunia, dengan berbagai programnya yang sangat ambisius terutama "Lompatan Jauh ke Depan", dan Revolusi Kebudayaannya, malah membuat rakyat Tiongkok hidup dalam penuh kesengsaran dan terbelakang dengan kemiskinan yang sangat parah,  jutaan darinya mati kelaparan. Meskipun berhasil memperkuat rasa persatuan rakyatnya, Tiongkok di bawah Mao Zedong menjadi salah satu negara terbelakang dan miskin pada masa itu, mirip atau lebih parah daripada Korea Utara sekarang. Banyak rakyatnya yang tak kuat menahan penderitaan terpaksa mengemigrasi mencari kehidupan yang lebih baik di berbagai negara, termasuk di Indonesia, dengan mengarungi samudera luas menentang maut.

Pasca kematian Mao Zedong pada 1976, dan kekuasan atas Tiongkok diambil-alih oleh Deng Xiaoping, Tiongkok mulai melakukan berbagai reformasi mendasar dari berbagai aspek, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Semua itu dilakukan oleh Deng Xiaoping dengan landasan pemerintahannya yang sangat tegas tanpa kompromi terhadap semua bentuk penyelewengan terutama korupsi, tingkat disiplin yang tinggi, dan sangat keras terhadap rakyatnya yang membangkang (ingat tragedi Tiananmen 1989?).

Untuk mencapai cita-cita menjadikan Tiongkok negara yang paling maju dan disegani dunia, Deng Xiaoping mau belajar dari mana pun dan dari siapa pun juga, asalkan itu dianggap bisa membawa kebaikan bagi masa depan negaranya. Termasuk belajar dari negara sekecil Singapura, belajar dari pendiri dan Bapak Bangsa negara itu: Lee Kuan Yew, yang meninggal dunia pada 23 Maret 2015 dalam usia 91 tahun itu.

Sejarah bahkan membuktikan, dan para pemimpin Tiongkok pun tak malu mengakui bahwa Singapura dan Lee Kuan Yew mempunyai peran penting dalam sejarah majunya Tiongkok sehingga menjadi seperti sekarang ini. Padahal populasi Singapura hanya 0,4 persen dari Tiongkok, dan luas wilayah negaranya hanya separoh ukuran distrik Pudong, di Tiongkok.

**

Pada November 1978 Deng Xiaoping mengunjungi Singapura disambut langsung oleh Perdana Menteri Lee Kuan Yew di tangga turun pesawat. Menyaksikan sendiri kemajuan Singapura yang luar biasa ketika itu, Deng secara terus terang memuji Lee  atas keberhasilannya mendirikan dan memajukan negara itu (tanpa mempunyai sumber daya alam sama sekali itu). Deng tanpa malu mengatakan Tiongkok harus belajar dari Singapura, bahwa ia harus bel;ajar dari Lee Kuan Yew untuk bisa menjadikan negaranya maju seperti Singapura.

Dalam pertemuan tersebut, Deng mengatakan kepada Lee bahwa Tiongkok membutuhkan waktu yang lama untuk bisa pulih dari reruntuhan Revolusi Kebudayaan ciptaan Mao Zedong itu, dan Lee menjawab bahwa ia yakin bahwa suatu ketika Tiongkok akan bisa lebih maju daripada Singapura.

Mr Lee said in reply that he believed China would rebound quickly and even do better than Singapore because it had the "progeny of the scholars, mandarins and literati". (stasiareport.com).

[caption id="attachment_359093" align="aligncenter" width="560" caption="November 1978, Deng Xiaoping disambut Lee Kuan Yew sendiri langsung di tangga turun pesawat (sumber: ecnc.cn)"]

14281574802009159848
14281574802009159848
[/caption]

Prediksi Bapak Bangsa Singapura tentang Tiongkok itu pun kemudian sekarang terbukti benar.

Deng tidak beretorika ketika mengatakan Tiongkok akan belajar dari Singapura, dari Lee Kuan Yew. Sebab sepulangnya dari Singapura, Desember 1978, Deng langsung membentuk sebuah komite yang merancang proyeksi pembangunan ekonomi Tiongkok untuk 30 tahun ke depan dengan meniru konsep-konsep pembangunan ekonomi yang telah diterapkan Lee Kuan Yew saat membangun Singapura. Termasuk di dalamnya dalam ketegasan pemberantasan korupsinya, karena hal itu merupakan salah satu penghalang utama kemajuan suatu negara.

Pemimpin RRT sejak Deng sampai sekrang beranggapan untuk menghadapi koruptor tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang kompromi, tetapi harus dengan cara yang sangat keras tanpa kompromi, yakni hukuman mati.

Zhu Rongji ketika dilantik sebagai Perdana Menteri Tiongkok, pada 1998, dalam kata sambutannya menyatakan,  "Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor. Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu." Zhu tidak hanya asal bicara. Tidak lama setelah dia menjadi Perdana Menteri, koleganya di Partai Komunis Tiongkok, yaitu Wakil ketua Kongres Rakyat Nasional, Cheng Kejie  dihukum mati karena terbukti menerima suap 5 juta Dollar AS.   Zhu benar-benar "mengirim peti mati"  kepada pejabat negara koruptor, sekalipun itu koleganya sendiri.

Hu Chang-ging, Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, pun kebagian "peti mati" itu. Ia ditembak mati setelah terbukti menerima suap berupa mobil dan permata senilai Rp 5 miliar. Dan seterusnya, sampai sekarang, setiap pejabat tinggi negara yang terbukti melakukan korupsi, apalagi dalam jumlah yang besar, harus siap menerima "peti mati khusus koruptor" itu.

Berita terkini, Jumat, 3 April 2015, mantan anggota Komite Politbiro Tiongkok, suatu badan paling berkuasa di Tiongkok, Zhou Yongkang (72), secara resmi telah dituduh terlibat kasus penyuapan, penyalahgunaan wewenang, dan mengungkapkan rahasia negara. Zhou hampir dapat dipastikan akan menjadi pejabat korup yang kesekian kali yang dipaksa pemerintah untuk menerima lagi peti matinya, alias dieksekusi.

Rupanya, si Tiongkok, sebesar apapun jasa seorang pejabat negara, setinggi apa pun jabatannya, tetapi kemudian korupsi, tiada ampun baginya. Sekadar remisi saja pun tidak bakal ada.

Bloomberg.com pada 23 Maret 2015 menulis bahwa berbagai negara di dunia begitu memuji model Singapura, negara yang diperintah oleh hanya satu partai, ditegaskan dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, tingkat kejahatan rendah dan kebersihan yang menakjubkan yang membuat dikenal dunia karena kepimpinaan Lee Kuan Yew, tetapi tidak ada negara di dunia ini yang seserius Tiongkok dalam belajar dari negara kota itu. Setelah kembali ke Tiongkok, Deng lalu setiap tahun mengirim ratusan kader komunis terbaik negaranya ke Singapura untuk belajar

Waktu kemudian membuktikan kebenaran ucapan Lee Kuan Yew bahwa dengan modal sumber daya manusia dan keseriusan para pemimpin Tiongkok dalam membangun negaranya, Tiongkok bukan hanya lebih maju daripada Singapura, tetapi bahkan segera menjadi nomor satu di dunia, menggeser Amerika Serikat.

Deng kemudian membawa Tiongkok membangun ekonomi dengan konsep kapitalis seperti Singapura, tetapi tetap berpegang teguh kepada ideologi dan identitas bangsa Tiongkok. Jadi, meskipun ia terkenal dengan slogan pembangunan ekonominya: “Tidak penting kucingnya berwarna hitam atau putih yang penting bisa menangkap tikus”, tetapi itu tidak berarti juga dengan mengabaikan identitas bangsanya. Metode pembangunan ekonominya meniru konsep kapitalis Singapura tetapi tetap berlandaskan ideologi dan identitas bangsa.

Empat prinsip dasar yang menjadi fandasi pembangunan ekonomi Tiongkok yang dipelopori oleh Deng itu adalah tetap mempertahankan sosialisme, mempertahankan diktatur proletar, mempertahankan partai komunis yang memimpin, mempertahankan Marxisme-leninisme, dan pemikiran Mao Zedong (jurnaltodduppuli.wordpress.com).

Seperti Deng Xiaoping, Ahok Juga Ingin Meniru Lee Kuan Yew

Singapura dan Tiongkok telah membuktikan bahwa untuk menjadi negara maju itu syarat utamanya memang  adalah harus punya pejabat pemerintah yang bersih dari korupsi dan perbuatan tercela lainnya, berintegritas tinggi dalam mengabdi kepada kepentingan rakyatnya, tegas dan berwibawa, dan ia juga harus tidak punya kepentingan apapun, termasuk tidak takut kehilangan jabatannya demi perjuangan pemberantasan korupsi.

Kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya dilandasi dengan tingkat disiplin dan kepatuhan terhadap hukum yang tinggi. Selain itu pemimpin negara itu juga harus mau belajar secara serius, berkesinambungan dan konsekuen tentang konsep-konsep pemerintahan yang telah diterapkan di negara-negara yang telah lebih dulu maju. Bukan malah mencari-cari alasan pembenaran kenapa negaranya tidak bisa maju-maju.

Saat semua kondisi tersebut belum ada, maka diperlukan suatu perubahan perilaku yang drastis, dan tak jarang menyakitkan. Apalagi jika kondisi tersebut (yaitu kondisi tingkat kedisiplinan dan kepatuhan kepada hukum yang sangat rendah, pejabat negara yang koruptif, dan sebagainya) sudah berlangsung sangat lama sehingga membuatnya seolah-olah semua itu merupakan hal yang wajar, maka diperlukan kerja keras dan upaya pantang menyerah yang luar biasa dari  pemimpin yang hendak melakukan perubahan tersebut. Ia pasti akan mendapat banyak sekali perlawanan luar biasa dengan berbagai cara dari berbagai pihak, terutama dari pejabat-pejabat negara korup yang selama ini sudah merasa nyaman dan menikmati keuntungan dari status quo kondisi negara atau daerahnya.

Pemimpin itu harus benar-benar seorang yang mempunyai karakter  "drive" sejati, yang berani melawan arus demi mencapai perubahan yang signifikan, yang berintegritas tinggi, bersih dari korupsi, dan sebagainya,  ia harus bersikap sangat tegas tanpa kompromi dalam melaksanakan perubahan-perubahan tersebut, bilamana perlu sangat keras.

Dalam sebuah wawancara, Lee Kuan Yew berkata, "Saya melakukan hal keras dan tajam untuk membuatnya benar. Mungkin sebagian orang tidak setuju, tetapi banyak hal yang dipertaruhkan dan saya ingin itu berhasil. Itu saja."

Ia juga pernah menyatakan, "Masalah yang sering muncul adalah manusia belum mampu mengerti apa yang dimaksud dengan karakter. Kamu dapat mengukur IQ atau kepintaran setiap orang dengan segala macam tes.... Sungguhlah mencengangkan, di dunia ini, banyak sekali orang ber-IQ tinggi yang tidak berbuat apa-apa untuk menolong sesama. Karakter adalah sebuah kualitas yang tidak dapat diukur. Karakter yang baik ditambah mental yang kuat, kepintaran, dan kedisiplinan-lah yang melahirkan kepemimpinan yang baik”  (Kompas.com).

Singapura, dan Tiongkok,  dan negara mana pun yang telah mencapai tahapan kemajuan yang luar biasa, semuanya pasti diawali dengan suatu langkah pertama yang penuh tekad baja untuk maju, karena di dalam perjalanan pun pasti akan dihadang dengan berbagai badai masalah. Beberapa dasa warsa kemudian barulah hasilnya bisa dirasakan dan dinikmati.

Konfisius (551-479) memberi nasihat kepada kita: "Perjalanan panjang ribuan li akan ditentukan oleh langkah pertama."

Jadi, kalau tidak ada langkah pertama, tidak ada kemajuan. Mau maju, tetapi tidakmau mulai melangkah dengan penuh tekad baja, mau maju, tapi tidak mau mengubah perilaku, maka silakan saja anda bermimpi seumur hidup. Sementara itu para koruptor dan oportunislah yang akan menikmati kondisi status quo tersebut.

Jika Indonesia benar-benar ingin berubah menjadi Indonesia baru yang jauh lebih baik, menjadi negara maju dengan manusia-manusianya yang berkarakter, seperti Singapura, bahkan melebihinya, maka kita semua harus mau dipimpin oleh pemimpin yang tegas, bahkan keras. Bukankah semakin parah suatu penyakit semakin sulit dan menyakitkan cara pengobatannya?

Tidak mungkin suatu penyakit yang sudah parah diobati dengan obat-obatan ringan dan cara penanganan yang sederhana saja, tidak mungkin suatu negara yang sudah rusak oleh budaya korupsi yang parah bisa ditangani dengan cara-cara yang lemah-lembut, penuh sopan santun kepada para koruptornya.

Pemimpin yang baik saja tidak cukup, karena ia harus didukung juga oleh sebagian besar rakyatnya. Pemimpin yang baik harus tegar dalam menghadapi semua perlawanan dari mereka yang terusik kepentingan dan kenikmatannya selama ini. Ia harus mampu menyingkirkan semua pejabat penggarong uang rakyat, pejabat pemalas yang hanya mau makan gaji buta, dan sebagainya, dan selanjutnya ia juga harus mampu menularkan integritasnya itu kepada semua anak buahnya, lalu kepada sebagian besar rakyatnya. Itulah yang terjadi dan dialami negara-negara maju seperti Singapura dan Tiongkok, sebelum mereka meraih prestasi luar biasa saat ini yang diakui seluruh dunia itu.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah menyatakan tekadnya untuk meniru cara Lee Kuan Yew, cara Singapura membangun negaranya. Ahok mungkin akan seperti Deng Xiaoping dalam skala yang jauh lebih kecil, tetapi pada intinya adalah sama, dalam mengurus dan membangun DKI Jakarta bertekad untuk  belajar dari falsafah-falsafah pembangunan yang diterapkan Bapak Singapura itu saat membangun Singapura.

Tetapi, sehebat apa pun Ahok, ia tak mungkin bisa berhasil jika tidak didukung oleh sebagian besar warga DKI Jakarta sendiri, dengan tidak membiarkannya sendirian dikeroyok oleh para garong negara, yang mempunyai trik-trik licik yang sangat licin, halus dan penuh kesantunan, untuk menutupi, dan melanggengkan eksistensi mereka.

Ahok sudah menyatakan tekadnya membangun DKI Jakarta dengan meniru Lee Kuan Yew membangun Singapura. Anda sendiri, khususnya warga DKI, apakah punya keinginan dan tekad yang sama? Ingat, tekad saja tidak cukup, karena harus disertai dengan perbuatan yang nyata dan kuat. Tidak membiarkan Ahok sendirian, tidak sama dengan hanya sebatas meramaikan hastag #SaveAhok dan sejenisnya di dunia maya, tetapi yang paling penting juga adalah bertindak secara nyata, yaitu anda sendiri harus mendisiplinkan diri sendiri, taat kepada hukum, tidak membuang sampah sembarangan, dan sebagainya, serta bersama-sama mendukung Ahok secara nyata saat ia harus berhadapan dengan para koruptor.

Jangan menyia-nyiakan cahaya Basuki Tjahaja Purnama padam sia-sia disaat ia berupaya menerangi DKI Jakarta.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun