Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sebaiknya, Partai Demokrat Tidak Usah Ikut Pemilu 2014

2 Maret 2013   23:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:25 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1362241400684106883

[caption id="attachment_230377" align="aligncenter" width="566" caption="Amir Syamsuddin (sumber: citraindonesia.com)"][/caption] Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu ada untuk mengatur jalannya pemilu, termasuk partai-partai politik sebagai pesertanya (berdasarkan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu). Bukan sebaliknya, partai politik yang mengatur KPU. Tetapi, itulah yang ingin dilakukan Partai Demokrat. Gara-gara sampai hari ini mereka belum bisa memilih Ketua Umumnya yang baru, menggantikan Anas Urbaningrum yang sudah menyatakan berhenti sebagai Ketua Umum pada Sabtu, 23 Februari lalu. Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Amir Syamsuddin meminta KPU membuat peraturan baru yang memperhatikan kondisi kekosongan jabatan Ketua Umum Partai Demokrat. Partai penguasa ini meminta KPU membuat aturan yang memberi kewenangan Majelis Tinggi Partai Demokrat yang menandatangani daftar calon sementara (DCS) untuk Pemilu Legislatif 2014. Bukan hanya oleh Pimpinan Partai Politik sebagaimana diisyaratkan oleh UU Pemilu saat ini. UU tersebut menyatakan yang dimaksud dengan Pimpinan Partai Politik adalah Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal, atau sebutan lain yang diatur di AD/ART parpol bersangkutan. Hanya Pimpinan Partai Politik inilah yang berwenang menandatangani DCS untuk Pemilu Legislatif itu.  Sekarang, maunya Partai Demokrat adalah aturannya diubah, ditambah, selain Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal yang berwenang menandatangani DCS untuk Pemilu Legislatif, juga boleh oleh Majelis Tinggi Parpol. Supaya sesuai dengan kondisi Partai Demokrat saat ini. “Saya kira KPU pun menyadari bahwa seharusnya ada aturan-aturan yang mereka bisa buat sesuai keperluan yang ada. Tidak mungkin situasi kekosongan hukum terjadi dan semua diam berpangku tangan,” kata Amir Syamsuddin, seusai pertemuan ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dengan Majelis Tinggi Partai Demokrat, di Puri Cikeas, Bogor, Sabtu, 2 Maret 2013 (Kompas.com)

Kalau sampai sekarang, Demokrat belum bisa memilih Ketua Umumnya yang baru, tentu saja itu bukan urusan KPU. Hal ini juga sama sekali bukan berarti telah terjadi kekosongan hukum seperti yang diutarakan Amir Syamsuddin itu. Tetapi adalah kekosongan kursi Ketua Umum di Partai Demokrat. Itu adalah urusan mereka sendiri.

Katanya, Demokrat itu parpol santun dan patuh hukum. Ini, kok, malah maunya hukumlah yang partuh kepada Demokrat?

Kalau memang Ketua Umum suatu parpol mengalami kekosongan, seperti yang sekarang dialami Demokrat itu, tentu saja yang harus dilakukan oleh mereka adalah segera memilih Ketua Umumnya yang baru. Bukan malah mengalihkan bebannya kepada KPU.

Keinginan Partai Demokrat untuk “mengatur” KPU, dengan meminta KPU mengakomodir masalah internal parpol-nya yang belum bisa menentukan Ketua Umumnya yang baru itu, menunjukkan kemanjaan parpol ini. Seperti anak manja yang ketika ada masalah bukannya mengatasinya sendiri, tetapi minta orangtuanya, atau orang lain untuk mencari solusinya.

Kisruh hebat di internal Partai Demokrat pasca berhentinya Anas sebagai Ketua Umum Partai, membuat mereka sampai sekarang belum juga mampu memilih Ketua Umumnya yang baru, sementara itu KPU telah menentukan batas waktu terakhir penyerahan DCS untuk Pemilu Legislatif itu adalah di April 2013 ini.

Besar kemungkinan karena masih terdapatnya faksi-faksi di Demokrat membuat mereka sulit untuk memilih Ketua Umumnya yang baru. Mereka sedang bingung, bagaimana cara terbaik untuk memilih Ketua Umum baru itu. Kalau lewat mekanisme Kongres Luar Biasa (KLB), kubu SBY cs takut risikonya besar. Karena di KLB pasti akan muncul kekuatan-kekuatan pendukung Anas. Selain KLB juga membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Sementara batas waktu penyerahan DCS itu tinggal sebulan lagi.

Karena panik dikejar waktu itulah muncul “desakan” kepada KPU untuk membuat aturan baru yang isinya memberi kewenangan kepada Majelis Tinggi Partai Demokrat untuk menandatangani DCS, mengganti kewenangan Ketua Umum yang sedang kosong itu. Demokrat sudah berhitung, sampai April nanti bisa jadi, mereka belum bisa menetapkan Ketua Umumnya yang baru. Agar bisa menandatangani DCS dari Partai Demokrat.

Kalau tidak ada apa-apanya, tentu seharusnya Demokrat bisa segera menentukan Ketua Umumnya yang baru, begitu Anas menyatakan dirinya berhenti. Seperti halnya yang mampu dilakukan oleh PKS. Ketika Presidennya, Lutfi Hasan Isaac (LHI) ditangkap KPK, segera mereka memilih Anis Matta sebagai pengganti LHI. Kenapa Demokrat tidak mampu melakukan hal yang sama?

Kalau memang saking kisruhnya di internal Partai Demokrat, sampai-sampai untuk memilih Ketua Umumnya yang baru saja belum bisa juga sampai sekarang, sebaiknya Partai Demokrat tidak usah ikut Pemilu 2014 saja. Betapa tidak, untuk memilih Ketua Umumnya tepat waktunya saja belum mampu, kok, mau ikut Pemilu?

Lagipula rakyat sudah semakin muak dengan apa yang terjadi di Partai Demokrat ini. Janganlah mereka mimpi di siang hari bolong bahwa dalam kondisi seperti sekarang, dalam tempo singkat (hanya beberapa bulan), bisa meningkatkan elektabilitasnya, yang katanya 15 persen itu. Dasarnya apa target itu ditetapkan? Sebab baik Anas, maupun SBY, sebenarnya sama-sama biang kerok merosotnya elektabilitas Partai Demokrat. Kini, ditambah lagi dengan nama Ibas, Sekjen Partai, yang disebut-sebut ikut menikmati dana korupsi Hambalang. Apakah bukan membikin Demokrat semakin runyam?

Bukan 15 persen, tetapi 1,5 persen, mungkin angka yang lebih realistis untuk menyebut tingkat elektabilitas Partai Demokrat nanti. Alias, nama Partai Demokrat kemungkinan besar akan berakhir di Pemilu 2014 nanti. Karena pencapaian suara yang diperolehnya kurang dari 3,5 persen untuk bisa bertahan sebagai parpol peserta Pemilu berikutnya. maka nama Partai Demokrat bisa jadi hanya akan tinggal kenangan. Kenangan yang hitam. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun