Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Australia Sadap Indonesia: Karena “di Dalam Sadapan Itu Namaku Disebut”

21 November 2013   23:34 Diperbarui: 4 April 2017   17:15 8363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_279476" align="aligncenter" width="600" caption="Karikatur David Pope di Sidney Morning Herald (21/11/13)"][/caption]

Di antara semua negara yang disadap oleh Amerika Serikat (AS) dan Australia, Indonesia-lah yang paling heboh.

Awalnya, Indonesia kalah heboh dengan Spanyol, Perancis, Jerman, Brasil dan Mexico.Lima di antara sekian negara yang jadi “korban” penyadapan AS. September-Oktober 2013, para pimpinan negara itu bereaksi keras dan mengajukan protes langsung ke Presiden AS, Barrack Obama, begitu tahu negaranyanya disadap oleh National Security Agency (NSA) melalui bocoran mantan pegawainya yang paling dicari saat ini, Edward Snowden yang disalurkan lewat media-media besar di beberapa negara.

Oktober 2013 terungkap pemerintah Indonesia juga disadap oleh AS, bahkan penyadapan itu dilakukan di Kedutaan Besar AS di Jakarta (Harian Sydney Morning Herald, 29/10/2013 mengutip informasi dari Edward Snowden), namun waktu itu, Indonesia kelihatannya masih tenang-tenang saja. Cuma ada sedikit pemberitaan bahwa Menteri Luar Negeri Marty M. Natalegawa, telah mengajukan protes keras kepada perwakilan Kedutaan Besar AS di Jakarta itu.

Ketika itu muncul reaksi konyol dari anggota Komisi I DPR dari Partai Demokrat, Ramadhan Pohan, yang entah nalar mana yang dipakai, menyalahkan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi atas terjadinya penyadapan tersebut. Kata dia, karena Jokowi memberizin pembangunan dan renovasi gedung Kedutaan AS itu, maka AS bisa menggunakannya untuk menyadap Indonesia. Artikel tentang ini saya tulis di Kompasiana dengan judul Inteljen Negara Sibuk Ngurus Bunda Putri, Indonesia Disadap AS dan Australia. Sedangkan SBY belum berbunyi.

Awalnya, SBY Diam Saja

Berita susulan datang lagi pada 31 Oktober 2013, dari Sydney Morning Herald juga, bahwa selain AS, ternyata Kedutaan Besar Australia di Jakarta juga menjadi lokasi penyadapan terhadap pemerintah Indonesia.

Surat kabar tersebut mengutip dokumen rahasia Badan Keamanan Nasional AS (NSA) yang dimuat di majalah Jerman, Der Spiegel. Dokumen itu menyebut, Defence Signals Directorate (DSD) atau Direktorat Sinyal Pertahanan Australia telah mengoperasikan fasilitas program STATEROOM di Kedutaannya di Jakarta.

STATEROOM adalah nama sandi program penyadapan sinyal radio, telekomunikasi, dan lalu lintas internet yang digelar AS dan para mitranya yang tergabung dalam jaringan ”Lima Mata”, yakni Inggris, Australia, Kanada, dan Selandia Baru (Kompas.com).

Sampai di sini pun Presiden SBY masih belum terdengar suaranya. Meskipun banyak pihak, termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mendesak agar SBY mrenunjukkan reaksi keras pemerintah RI kepada AS dan Australia, tetapi, SBY masih diam. Orang pun bertanya-tanya, kenapa Presiden SBY masih diam, kenapa SBY kok lembek kepada AS dan Australia? Padahal, pimpinan-pimpinan negara lain “korban” penyadapan AS itu begitu cepat menujukkan reaksi kerasnya.

Pada 9 November 2013, jawaban datang dari Istana melalui Staf Khusus Presiden Bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah, kata dia SBY selama ini (29 Oktober – 9 November 2013) tidak berbunyi mengenai masalah tersebut karena semua itu telah disalurkan melalui Menteri Luar Negeri Marty M Natalegawa. Sikap dan pernyataan Marty itu berdasarkan pengarahan langsung dari SBY. Presiden SBY tidak perlu lagi menunjukkan sikapnya secara langsung.

“Karena yang dilakukan menlu merupakan hasil dari arahan presiden dan itu merujuk dalam proses evaluasi di dalam,” kata Faizasyah di Jakarta, Sabtu (9/11/2013)

“Beberapa kepala negara memang bereaksi, tapi mereka reaksi karena ada informasi Snowden bahwa alat-alat komunikasi mereka langsung disadap. Tentunya secara pribadi mereka merasa terusik karena menyangkut pribadi. Kalau Indonesia, bersumber dari akun diplomatik mereka, yang bertentangan dengan prinsip suatu perwakilan, karena perwakilan ada untuk menjalin hubungan baik, bukan untuk penyadapan,” katanya (Kompas.com).

Maksudnya, karena bukan SBY yang disadap secara langsung (ketika itu), maka Presiden SBY tidak perlu turun tangan sendiri untuk menangani kasus ini. Benarkah demikian?

Inteljen Inggris Juga Pernah Menyadap SBY

Menengok ke belakang, Sydney Morning Herald, edisi 26 Juli 2013, berdasarkan bocoran dari Edward Snowden juga melangsir berita bahwa agen inteljen Inggris pernah melakukan penyadapan juga kepada Presiden SBY secara langsung beserta anggota rombongannya ketika menghadiri pertemuan puncak G-20 di London, Inggris, pada 2009.

Tetapi pada waktu itu juga tidak terdengar Presiden SBY bersuara, apalagi murka seperti sekarang ini dengan Australia.

Maka orang pun menghubung-hubungkan sikap diamnya SBY itu, meskipun telah tahu ternyata pernah disadap inteljen Inggris, karena dia pada 21 Oktober 2012, telah menerima salah satu penghargaan tertinggi dari Kerajaan Inggris, yakni, Knight Grand Cross in the Order of the Bath, yang diserahkan langsung oleh Ratu Elizabeth II dan Pangeran Philips, di Blue Drawing Room. Istana Buckingham, London, Inggris.

[caption id="attachment_279477" align="aligncenter" width="346" caption="SBY ketika menerima Knight Grand Cross in the Order of the Bath dari Ratu Elizabeth II (setgab.go.id)"]

13850514391101860463
13850514391101860463
[/caption]

Mungkin SBY merasa sangat sungkan karena telah menerima penghargaan tersebut, tak enak hatinya untuk bersuara keras kepada Inggris, apalagi mengembalikan penghargaan yang paling didambakan tersebut.

Waktu itu, untuk “mengimbangi” sikap diamnya SBY terhadap Inggris meskipun diberitakan telah menyadapnya itu, Kepala BIN Marciano Norman pun angkat bicara. Katanya, dia belum  sepenuhnya percaya tentang kebenaran informasi tersebut, informasi tersebut belum tentu benar. BIN masih melakukan penyelidikan terhadap kebenaran informasi tersebut. Padahal informasi itu sumbernya juga dari Edward Snowden.

“Itu pemberitaan sepihak, memerlukan klarifikasi dari pihak lain. Kita berkomunikasi dengan counterpart kita yang ada di tiga negara tersebut untuk kita mencari informasi yang sebenarnya, menurut pandangan mereka seperti apa. Ini sedang dalam proses," kata Marciano di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/7/2013). (Kompas.com).

Inggris Menyadap Indonesia untuk Australia

Padahal dipemberitaan itu dijelaskan pula bahwa penyadapan yang dilakukan oleh agen inteljen Inggris itu juga untuk kepentingan pemerintahan Perdana Menteri Australia kala itu, Kevin Ruud.

Seorang sumber anonim yang dekat dengan Pemerintah Australia mengungkapkan bahwa pada April 2009, delegasi Australia mendapatkan dukungan informasi intelijen dari Inggris dan Amerika Serikat, untuk menyadap beberapa pimpinan di Asia, termasuk Indonesia.

''PM Kevin Rudd sangat berhasrat untuk memperoleh informasi intelijen, terutama yang menyangkut para pemimpin Asia Pasifik, termasuk di dalamnya Yudhoyono, PM India Manmoham Singh, dan (mantan Presiden China) Hu Jintao,'' kata sumber tersebut.

Sumber tersebut mengungkapkan bahwa melalui dukungan yang dilakukan intelijen Inggris dan AS, Australia ingin mendapatkan kursi di Dewan Keamanan PBB.

''Tanpa dukungan intelijen yang disediakan oleh AS, kami tidak akan memenangkan kursi,'' ujar sumber anonim itu, yang bekerja pada Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia.

Dokumen yang dirilis Fairfax Media juga menunjukkan bahwa mantan PM Australia Julia Gillard telah diberitahu oleh whistleblower intelijen AS, Edward Snowden, mengenai kegiatan mata-mata terhadap para pemimpin asing dan pejabat yang menghadiri pertemuan G-20 pada 2009 di London.

Sementara itu, Snowden dalam penjelasannya kepada Guardian beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa badan intelijen Inggris, melalui Government Communications Headquarters (Markas Komunikasi Pemerintah/GCHQ), telah menggunakan perangkat yang memungkinkan saluran komunikasi disadap.

Perangkat tersebut mampu menyadap layanan BlackBerry guna memantau e-mail dan panggilan telepon. Pada saat yang sama, instansi itu juga menyediakan layanan internet yang bisa melakukan intersepsi delegasi yang hadir sehingga seluruh aktivitas bisa dipantau.

Dari dokumen yang diungkapkan oleh Snowden terlihat bahwa perangkat intelijen GCHQ mampu menghasilkan gambar hidup yang terus update.

Sydney Morning Herald menjelaskan, meskipun laporan The Guardian tidak fokus pada Indonesia, sumber tersebut menjelaskan bahwa Australia selalu memprioritaskan Indonesia untuk dimata-matai.

Demikian yang masih bisa dibaca di Kompas.com, 28/07/2013.

SBY Sulit Memahami Australia, Kita Sulit Memahami SBY

Jadi, justru kita yang sulit memahami SBY,yang mengatakan, dia sulit memahami mengapa Australia sampai melakukan penyadapan itu. Pasalnya, SBY menganggap hubungan Indonesia-Australia selama ini berlangsung dengan baik. Seolah-olah kasus penyadapan seperti ini belum pernah terjadi sama sekali.

"Mengapa harus menyadap kawan dan bukan lawan?" kata SBY saat jumpa pers di Kantor Presiden di Jakarta, Rabu (20/11/2013) (Kompas.com).

Curahan hati SBY ini membuat dirinya sendiri kelihatan begitu naifnya. Mana ada di dunia ini, sebaik-baiknya hubungan antarnegara, suatu negara benar-benar tulus seperti malaikat dalam menjalani hubungan antarnegara itu. Bagaimana pun diam-diam mereka akan saling mengintai untuk mendapat informasi sebanyak-banyaknya demi kepentingan nasional mereka sendiri. Lihat saja, bagaimana negara-negara Eropa diperlakukan oleh AS.

Semboyan dari Defence Signals Directorate (DSD), inteljen Australia yang menyadap Indonesia, sudah menunjukkan hal itu. Semboyannya: “Reveal their secrets, protect our own,” atau “Bongkar rahasia mereka, lindungi rahasia kita.”

Jadi, meskipun namanya negara sahabat, kewaspadaan seharusnya tetap ada. Kecanggihan perangkat dan agen-agen inteljen negara sangat berperan besar di sini.

Di dalam negeri saja, di setiap negara, dalam dunia politik dikenal adagium, “Tidak ada yang namanya kawan abadi, tetapi yang ada adalah kepentingan politik yang abadi.”. Masa, iya, Presiden SBY bisa begitu saja percaya sepenuhnya kepada Australia? Apalagi mengingat pengalaman-pengalaman sebelumnya, seperti yang disebutkan di atas.

Indonesia juga pernah menyadap Australia. Harian The Australian, edisi Selasa (19/11/2013), mengutip pernyataan mantan Kepala BIN, Hendropriyono dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi Australia pada 2004. Dalam wawancara itu, Hendropriyono mengaku bahwa BIN pernah menyadap pembicaraan telepon para politisi, petinggi militer, bahkan warga biasa Australia (Kompoas.com).

Siapa yang berani menjamin, saat ini tidak ada lagi sadap-menyadap Antara Australia dengan Indonesia? Seperti yang dikatakan Kepala BIN Marciano Norman bahwa Australia sudah berjanji tidak akan lagi menyadap Indonesia. Percaya?

Karena “di Dalam Sadapan Itu Namaku Disebut”

Dari kronologis kasus penyadapan Australia terhadap Indonesia yang membuat SBY berang itu sesungguhnya terlihat bahwa SBY baru bereaksi keras ketika ketahuan dirinya secara pribadi bersama istrinya, Ibu Ani disadap oleh agen inteljen Australia itu. Sebelumnya, ‘kan kelihatanya dia tenang-tenang saja?

Ketika pertama kali terungkap, pada 29 Oktober 2013, AS menggunakan Kedutaan Besarnya di Jakarta untuk menyadap Indonesia, Presiden SBY masih tenang-tenang saja. Demikian juga ketika pada 31 Oktober-nya terungkap lagi, ternyata Australia juga menggunakan Kedutaannya di Jakarta untuk menyadap Indonesia, SBY masih belum terdengar suaranya. Banyak pihak sudah mendesak SBY untuk mengambil sikap keras terhadap AS dan Australia, tetapi tidak mendapat respon. Menurut keterangan Istana, kasus ini cukup ditangani oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, berdasarkan pengarahan juga dari SBY.

Baru ketika pada 18 November 2013, berdasarkan sejumlah dokumen rahasia yang dibocorkan Edward Snowden,  Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan harian Inggris The Guardian memuat rincian siapa saja pejabat tinggi Indonesia yang disadap agen inteljen Australia itu,  yakni, Presiden SBY, Ani Yudhoyono, Wapres Jusuf Kala, dan sejumlah menteri dalam kabinet SBY, barulah SBY berubah menjadi seperti harimau yang diganggu tidurnya. Sejak saat itulah kemarahan demi kemarahan diumbar SBY melalui beberapakali konferensi persnya. Seandainya nama SBY dan Ibu Ani tidak disebutkan, mungkin dia masih bersikap tenang seperti sebelumnya. Jangan-jangan di dalam sadapan itu juga ada pembicaraan mengenai kasus-kasus skandal tertentu, seperti Bank Century?

[caption id="attachment_279512" align="aligncenter" width="490" caption="(code-security.com)"]

13850779341956711528
13850779341956711528
[/caption]

SBY Hanya Berani Marah kepada Australia

Namun, demikian amarah SBY itu hanya ditujukan fokus kepada Australia. Padahal, biang sebenarnya adalah AS. AS yang terbongkar pertamakali ulahnya memata-matai Indonesia dari Kedutaan Besarnya di Jakarta saja tidak diusik SBY.

Padahal, dalam pemberitaan itu juga diungkapkan isi dokumen rahasia Badan Keamanan Nasional AS (NSA) yang dimuat di majalah Jerman, Der Spiegel. Dokumen itu dilaporkan jelas-jelas menyebut Defence Signals Directorate (DSD), atau Direktorat Sinyal Pertahanan Australia mengoperasikan fasilitas program STATEROOM, dengan dibekingi oleh AS.

Maka, sikap SBY yang  tak berani bersikap kepada AS, dan hanya marah besar kepada Australia itu pun mengundang tanda tanya, kenapa SBY sedemikian takut kepada AS? Ini seolah-olah seperti ada anak nakal yang mengguping pembicaraan orang lain atas suruhan ayahnya. Ketika orang itu mengetahui pembicaraannya dikuping si anak, dia hanya berani marah kepada anak itu. Padahal, dia tahu anak itu disuruh ayahnya itu.

Atau, mungkin SBY belum marah kepada AS, karena belum terungkap di dalam penyadapan itu ada juga nama SBY secara individu, seperti terungkapnya kasus dengan Australia ini?

Ramadhan Pohan, yang dalam kasus penyadapan dari Kedutaan Besar AS, telah membuat pernyataan konyolnya dengan menyalahkan Jokowi itu, belum sadar juga, terbukti dia kembali dengan pernyataan  konyolnya yang lain.

Dengan lantang dia bilang, sikap tegas pemerintah jangan hanya ditujukan untuk Australia, tetapi juga untuk Amerika Serikat, terkait penyadapan itu. Menurutnya, sebagai negara yang berdaulat, Indonesia tidak perlu gentar terhadap AS.

"Indonesia tidak perlu gentar kepada AS. Mengapa harus gentar? Ingat, kita negara berdaulat. Haram dicurangi dengan penyadapan," kata Pohan saat dihubungi Kompas.com, Selasa (19/11/2013).

Bagaimana tidak konyol, kalau pernyataan ini justru jelas-jelas menyerang Big Boss-nya sendiri, Presiden SBY. Karena SBY-lah yang sampai hari ini tidak berani mengusik AS, meskipun jelas-jelas AS juga melakukan penyadapan, bahkan biangnya. Kalau sampai SBY tidak pernah mengambil sikap keras kepada A, bukankah pernyataan Pohan ini menjadi bukti bahwa SBY gentar terhadap AS?

SBY Terlalu Mendramatisir Situasi

SBY pun terlalu mendramatisir kasus ini dengan membuat situasi dan kondisi sekarang ini sudah sangat mencekam. Dia menyerukan kepada semua warga negara Indonesia di Australia agar tetap tenang menyikapi penyadapan yang dilakukan Australia kepada dirinya dan sejumlah pejabat Indonesia.

SBY meminta mereka melakukan aktivitas seperti biasa, "Saya berpesan kepada warga Indonesia di Australia, apakah diplomat, pekerja, dan mahasiswa, untuk tetap tenang. Teruslah bekerja dan belajar. Pemerintah Indonesia bersama-sama Pemerintah Australia memiliki tugas dan kewajiban mengatasi masalah ini," katanya saat jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (20/11/2013) (Kompas.com).

Padahal, tanpa himbauan itu pun warganegara Indonesia di sana tetap tenang saja, sebagaimana juga warga Australia, karena memang tidak ada yang terlalu perlu dirisaukan, meskipun di antara pemerintahnya sedang bersitegang. Apalagi kalau mau dipikir-pikir, amarah SBY ini kan baru muncul ketika namanya dan Ibu Ani secara individu berada di dalam daftar penyadapan itu. Kalau tidak demikian, bisa jadi, dia masih belum juga mengambil sikap yang tegas.

Di Jakarta saja, orang Indonesia bersikap biasa-biasa saja. Menjalani aktivitas seperti biasa. Seruan membunyikan klakson tiga kali di depan Kedutaan Besar Australia, di Jalan H.R. Rasuna Said, sebagai tanda protes, yang ramai beredar di media sosial Twitter, tidak terwujud di dunia nyata.

Kompas.com melakukan pemantauan di depan Gedung Kedubes Australia itu, Rabu (20/11/2013) pagi. Selama 30 menit, bunyi klakson tiga kali yang tepat berasal dari depan gedung itu hanya terdengar dua kali.

Sisanya hanya bunyi klakson biasa yang memang lazim terdengar di jalan raya Ibu Kota. Petugas keamanan yang berjaga di depan gedung pun tidak mengetahui mengenai aksi klakson tiga kali itu. Mereka juga mengaku sejak kemarin tidak menyadari adanya bunyi klakson yang tidak lazim.

[caption id="attachment_279511" align="aligncenter" width="480" caption="(heraldsun.com.au / Mark Knight)"]

13850774341771755499
13850774341771755499
[/caption]

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun