Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mencoba Memahami Perasaan Singapura

11 Februari 2014   23:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:55 1401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_295021" align="aligncenter" width="500" caption="Firemen removing an injured person from the side entrance of MacDonald House following the bombing by Indonesian saboteurs in March 1965. The Indonesian navy s decision to name a frigate KRI Usman Harun in memory of the saboteurs has provoked strong responses from the Singapore authorities. Straitstimes.com"][/caption]

Seandainya dulu dua prajurit KKO itu, Usman dan Harun mengebom fasilitas militer Singapura, dan yang menjadi korban adalah tentara-tentaranya, mungkin penamaan kapal perang baru Indonesia itu tidak akan menjadi seheboh sekarang. Ketika hubungan Indonesia-Singapura menjadi panas gara-gara Singapura protes, Indonesia (TNI-AU) menamakan salah satu dari tiga kapal perang (frigate) yang baru dibeli dari Inggris itu dengan nama KRI Usman-Harun. Padahal, bagi Singapura Usman dan Harun adalah teroris. Sebaliknya, Indonesia menganggap kedua orang prajurit KKO adalah pahlawan. Maka, Indonesia bersikap, tidak akan merespon protes  Singapura itu dengan mengganti nama kapal perangnya itu.

Kenapa saya bilang, seandainya dulu Usman dan Harun mengebom fasilitas militer Singapura, mungkin Singapura tidak akan melakukan protes seperti sekarang? Karena, mungkin Singapura akan memahami bahwa pada waktu itu (1965) hubungan Indonesia dengan Malaysia (ketika itu Singapura masih menjadi negara bagian dari Malaysia) berada dalam keadaan siaga perang (konfrontasi). Jadi, demi hubungan baik kedua negara, Singapura bisa “memaksakan” dirinya untuk memaklumi, mengapa dulu fasilitas militer mereka dibom.

Tetapi, faktanya adalah bukan fasilitas militer yang dibom, tetapi fasilitas umum sipil, yaitu, sebuah hotel (The MacDonald House) yang terdapat banyak rakyat sipilnya. Akibatnya, yang menjadi korban tewas dan luka-luka kebanyakan dari rakyat sipil pula. Ditambah dengan rusaknya puluhan toko dan kendaraan bermotor sipil.

Pada waktu itu juga, Indonesia dengan Singapura tidak berada dalam keadaan perang, tetapi “hanya” dalam suasana konfrontasi, karena Presiden Soekarno sedang melancarkan semangat ”ganyang Malaysia”-nya. Jadi, sebenarnya tak ada alasan yang cukup untuk membuat kedua tentara itu menyerang dengan meledakkan bom seberat 12,5 kilogram itu di Singapura.

Jadi, Singapura berpikir, sangat tidak layak, di dalam keadaan demikian, ada tentara Indonesia yang melakukan serangan bom, apalagi akibatnya menyebabkan sedemikian banyak korban warga sipil, baik korban jiwa, maupun materi dari kalangan sipil. Keluarga dari korban-korban bom The MacDonald House inilah yang dimaksud Pemerintah Singapura, Indonesia menyakitkan hati mereka dengan penamaan kapal perang itu. Pemerintah Singapura mengatakan, mereka tidak akan protes kalau nama Usman-Harun itu dipakai sebagai nama jalan atau gedung di Indonesia, tetapi tidak demikian dengan nama untuk kapal perang, yang akan melintasi antarnegara.

Bagaimana jika KRI Usman-Harun itu digunakan dalam latihan bersama militer Singapura-Indonesia? Bagaimana jika KRI itu memasuki wilayah perairan Singapura, bersandar di pangkalan militer Singapura? Sebuah kapal perang dengan nama "teroris" yang pernah pengebom di Singapura, dan membunuh warga Singapura? Singapura bisa saja akan menolaknya, tetapi apakah penolakan dengan alasan "teroris" itu bisa diterima dengan lapang dada oleh Indonesia?

Menyindir Indonesia, seperti yang ditulis Harian Kompas (11/02/14), Menteri Pertahanan Kedua Singapura Chan Chun Sing, saat berbicara di Konferensi Keamanan Asia Pasifik, seperti yang dimuat di surat kabar The Straits Times, menekankan, sebuah negara dinilai menjadi negara kuat yang sejati bukan pada saat negara itu menggunakan keperkasaannya untuk mencapai tujuannya.

Sebuah negara menjadi negara kuat yang sesungguhnya saat ia bisa menahan diri untuk tidak menggunakan kekuatannya, tetapi tetap bisa meyakinkan pihak lain untuk mendukungnya.

Chan juga menyebutkan setiap negara membutuhkan seorang pemimpin yang berani dan tak mudah tunduk pada tekanan dalam negeri atau langkah-langkah nasionalistis yang bertentangan dengan kepentingan yang lebih besar di kawasan.

*

Bertolak dari pemikiran Singapura, bagaimana jika mereka menyampaikan analogi ekstrem, seperti ini: Ada sebuah negara yang bersimpatik dengan “perjuangan” para pengeboman hotel dan tempat hiburan di Indonesia beberapa waktu lalu, lalu negara itu mengnamakan kapal perangnya yang diambil dari nama-nama Amrozy, Imam Samudera, dan Mukhlas, yaitu trio pengebom yang menghancurkan Paddy’s Cafe dan Sari Club di Kuta Bali, dan menewaskan 202 prang, pada tengah malam di 12 Oktober 2002. Apakah Indonesia, terutama sekali masyarakat Bali tidak protes?

Indonesia pasti protes karena menganggap trio pengebom itu adalah teroris, sedangkan negara itu menolak protes Indonesia itu, karena menganggap Amrozy, Imam Samudera, dan Mukhlas itu adalah pahlawan yang telah mati syahid.

Bukankah dalamhal ini sama-sama sasaran pengebomannya adalah fasilitas umum sipil dan yang menjadi korban adalah warga sipil juga?

Tentu saja tidak tepat membandingkan Amrozy, Imam Samudera, dan Mukhlas dengan Usman-Harun, karena tiga nama pertama itu jelas-jelas adalah teroris yang mengatasnamakan agamanya melakukan teror melawan negara dan pemerintahnya yang sah dengan tujuan mengubah dasar negara Indonesia.

Sedangkan Usman dan Harun adalah dua prajurit yang secara sah bertugas atas nama negaranya untuk melawan “musuh negara” ketika itu, hanya saja mungkin sasaran mereka itu salah. “Seharusnya” yang dibom itu fasilitas militer Singapura, bukan The MacDonald House.

Saya teringat dengan cerita berdasarkan kisah nyata di film Lone Survivor (2013); Empat anggota pasukan khusus Angkatan Laut Amerika Serikat, Navy Seal, diterjunkan di suatu tempat di Afghanistan untuk mengintai keberadaan Ahmad Shahd, seorang pimpinan Al-Qaeda. Secara tak sengaja mereka kepergok tiga orang warga sipil Afghanistan, yaitu seorang penggembala tua bersama dua orang remajanya. Hanya ada dua pilihan bagi empat anggota pasukan khusus Angkatan Laut Amerika itu: membunuh penggembala dan dua  remaja atau melepaskan mereka dengan segala konsekuensinya.

Pilihan membunuh disingkirkan  dengan pertimbangan sangat tak pantas dan sangat memalukan pasukan elit sehebat Navy Seal membunuh warga sipil yang tak berdaya, tak bersenjata, dan yang terdiri dari seorang kakek dan dua remaja itu, dengan alasan apapun juga.

Pengembala dan dua remaja itu akhirnya dilepaskan, kemudian salah satu dua remaja itu melaporkan keberadaan  pasukan Navy Seal itu ke Taliban, dan keempat anggota Navy Seal itu pun dikepung oleh ratusan anggota Taliban, dan terjadilah pertempuran yang sangat tak seimbang.

*

Kecil kemungkinan Indonesia akan mengorbankan gengsinya dengan menurut tuntutan Singapura mengganti nama kapal perangnya itu dengan nama lain pengganti nama Usman-Harun, maka hubungan Indonesia dengan Singapura dalam konteks ini mungkin akan menjadi seperti hubungan Tiongkok dan juga Korea Selatan dengan Jepang, dalam konteks Kuil Yasukuni, sebuah kuil perang di Tokyo, yang setiap tahunnya dikunjungi oleh Perdana Menteri Jepang untuk menghormati para pahlawan Jepang yang dikuburkan di sana. Sedangkan menurut Tiongkok dan Korea Selatan, pimpinan-pimpinan Jepang itu tidak layak melakukan hal itu (mengunjungi Kuil Yasukuni), karena di sana terdapat banyak kuburan tentara Jepang yang melakukan kejahatan perang di kedua negara, ketika Jepang menduduki negara mereka di tahun 1940-an. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun