Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Berpikiran Sempit, Minus Etika, SBY Tetap Mau Menerima World Statesman Award

18 Mei 2013   16:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:23 2147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_244411" align="aligncenter" width="654" caption="Ratusan jemaat dari beberapa gereja yang telah dibongkar melakukan perayaan paskah di depan Istana Merdeka, Minggu (31/3/2013) Beritanya baca di Kompas.com : http://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/31/15352149/Gereja.Dibongkar.Ibadah.Paskah.di.Depan.Istana "][/caption]

Di dalam rapat kabinet pada Selasa, 7 Mei 2013,  Presiden SBY menyatakan bahwa hatinya merasa tidak nyaman berkaitan dengan ditetapkan dia sebagai penerima World Statesman Award 2013 (Penghargaan Kenegarawan) dari Appeal of Conscience Foundation (ACF), New York, Amerika Serikat, karena sampai saat ini masih terjadinya konflik sosial di negara ini. Tetapi, anehnya dia tetap memutuskan untuk menerima penghargaan tersebut yang rencananya akan diserah-terimakan pada akhir Mei ini di New York, ketika dia melakukan lawatan kenegaraannya ke Amerika Serikat.

Penolakan, kritik dan kecaman bertubi-tubi segera datang menerpa  dari berbagai pihak di Indonesia, sebagai respon dari rencana pemberian penghargaan tersebut. Rakyat Indonesia sepakat SBY bukan saja tidak layak, tetapi sangat tidak layak menerima penghargaan tersebut. Rakyat Indonesia sama sekali tidak bangga Presidennya bisa menerima penghargaan yang bernama “World Statesman” tersebut, sebaliknya merasa sangat malu. Ironisnya, Presiden SBY sendiri tidak merasa malu.

Pakar Etika Politik Sekolah Tinggi Filsafat Diyarkara, Romo Franz Magnis Suseno SJ, adalah salah satu rakyat Indonesia yang merasa sangat tidak setuju, dan malu mendengar kabar Presiden SBY akan menerima penghargaan tersebut. Dia langsung mengirim e-mail kepada ACF, memproteskan, meminta ACF membatalkan rencana pemberian World Statesman Award 2013 itu kepada SBY.

"Presiden mau diberi penghargaan saya tidak ada komentar. Tapi kalau disebut penghargaan karena jasanya memajukan toleransi, saya sangat keberatan. Selama hampir 10 tahun toleransi keagamaan di Indonesia berkurang," kata Magnis kepada Kompas.com, Jumat, 17 Mei 2013.

Dalam e-mail yang dikim pada 15 Mei 2013 (belum dibalas sampai sekarang), Magnis antara lain mempertanyakan dasar ukuran moral apa yang digunakan ACF memutuskan memberi penghargaan tersebut kepada Presiden SBY. Dia juga heran, kenapa ACF dalam menentukan pilihannya tersebut tidak mengacu kepada pandangan rakyat Indonesia sendiri.

Katanya, “Presiden bahkan tidak pernah memberikan seruan sepatah kata pun kepada rakyatnya untuk menghormati hak-hak kaum minoritas. SBY tidak pernah berseru kepada rakyatnya agar menghormati hak-hak asasi (pemeluk agama) minoritas.”

[caption id="attachment_244098" align="aligncenter" width="493" caption="appealofconscience.org/"]

13688650832113033605
13688650832113033605
[/caption]

Magnis juga mengatakan bahwa pemberian penghargaan itu justru akan mempermalukan ACF, karena selama 8,5 tahun di bawah kepimpinaan Presiden SBY kaum minoritas Indonesia justru berada pada situasi yang paling tertekan.

“This is a shame, a shame for you. It discredits any claim you might make as a an institution with moral intentions.

How can you take such a decision without asking concerned people in Indonesia? Hopefully you have not made this decission in response to prodding by people of our Government or of the entourage of the President.”

Tulis Magnis di e-mail-nya itu.

Isi lengkap e-mail Magnis itu saya sertakan di bagian akhir tulisan ini, atau anda mengklik di sini, untuk melihat sumber aslinya.

Pengakuan SBY bahwa hatinya merasa tidak nyaman ketika mengetahui dirinya dipilih ACF sebagai penerima World Statesman Award 2013 itu, sesungguhnya menunjukkan bahwa hati nuraninya itu masih bekerja. Hati nuraninya itu memberitahu kepada pemiliknya, bahwa dia (SBY) tidak layak menerimanya penghargaan itu, oleh karena itu harus ditolak dengan lapang dada. Karena memang seperti yang dikatakan oleh Romo Magnis di atas, justru di bawah kepimpinan Presiden SBY selama 8,5 tahun ini pemeluk agama minoritas berada di dalam kondisi yang paling tertekan

Namun, meskipun hati nuraninya itu masih bekerja, rupanya, Presiden SBY memilih untuk tak menurutinya. Terbukti dengan dia tetap memutuskan untuk menerima penghargaan tersebut. Aneh, katanya sangat tidak nyaman, tetapi, kok tetap mau menerima penghargaan tersebut? SBY rupanya sudah ketagihan untuk menerima berbagai gelar kehormatan dan penghargaan dari seluruh dunia. Dia ingin menjadi kolektor sebanyak-banyaknya gelar dan penghargaan itu, tanpa memperdulikan apakah dia memang layak menerimanya ataukah tidak.

World Statesman Award itu akan diberikan oleh Appeal of Conscience (Yayasan Hati Nurani), sebuah organisasi yang mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antarkepercayaan, berbasis di New York, Amerika Serikat.

Di laman resmi Appeal of Conscience Foundation ini tertulis filosofinya sebagai berikut: The Appeal’s philosophy is that freedom, democracy and human rights are basic principles.”

Sedangkan slogannya adalah: "A crime committed in the name of religion is the greatest crime against religion.”Suatu kejahatan yang dilakukan atas nama agama adalah kejahatan terbesar terhadap agama.

13688650191661903400
13688650191661903400

Dari filosofi dan slogan yayasan ini saja, SBY sudah tidak memenuhi kriterianya.

Anehnya juga, kenapa yayasan tersebut, yang katanya kredibel, bisa memilih SBY sebagai penerima penghargaan tersebut? Apa kriterianya dan alasan mereka itu? Apakah ada sesuatu di balik pemberian penghargaan itu? Ada kabar yang mengatakan penghargaan tersebut diberikan atas rujukan dari pihak Istana sendiri, tetapi, informasi itu dibantah pihak Istana.

Kelihatannya SBY adalah orang yang terobsesi untuk mendapat gelar dan penghargaan sebanyak-banyaknya. Semakin banyak gelar dan penghargaan itu semakin membuat dia merasa terpuaskan secara bathin, Meskipun itu semu. Oleh karena itulah, demi mencapai ambisinya sebagai seorang kolektor itu, SBY pun mengabaikan hati nuraninya.

Di bawah kepimpinan Presiden SBY justru kelompok masyarakat dan ormas-ormas yang intoleran mendapat kesempatan yang paling luas untuk melancarkan berbagai aksi anarkisnya dengan mengatasnamakan agama Islam, melarang beribadah orang lain dari pemeluk agama minoritas, menutup paksa, menyegel, merusak, dan membakar rumah-rumah ibadah mereka.

Ketika negara terus-menerus tak hadir untuk melindungi hak-hak asasi kaum minoritas itu sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945, ormas-ormas itu pun semakin berani dan brutal. Dengan mengatasnamakan agama Islam juga, mereka bertindak semakin anarkis untuk menindas, meneror, menyerang, bahkan membunuh pemeluk agama minoritas, atau pihak yang tidak sepaham dengan mereka. Umat Kristiani, jemaat Ahmadiyah, dan Syiah adalah korban-korban langganan ormas-ormas dan kelompok-kelompok masyarakat intoleran tersebut. Atas nama agama, mereka merasa sah untuk melakukan apa saja terhadap kaum minoritas itu, termasuk membunuh mereka!

Semua itu dilakukan dengan terang-terangan, karena aparat polisi yang ada di setiap kejadian pun selalu melakukan pembiaran dengan alas-alasannya yang tidak masuk akal. Bukan hanya melakukan pembiaran, aparat keamanan itu justru tak jarang mengfasilitasi terjadi aksi anarkis tak beradab itu. Pemerintah daerah setempat yang kepala daerahnya mempunyai pemahaman yang sama bahkan ikut mendukung, atau menjadi pelaku intoleran tersebut. Bahkan Menteri Agama pun secara tak langsung mendukung aksi-aksi seperti itu.

Di manakah Presiden SBY?

Presiden SBY pun tak memperdulikannya. Yang dia lakukan hanya terus berpidato yang muluk-muluk tentang pluralisme dan kebebasan beragama. Pura-pura bersikap tegas, tetapi implementasinya nol besar. Sementara peristiwa anarkis intoleran mengatasnamakan agama itu terus terjadi dan semakin masif saja. SBY sampai hari ini pun tak mengubah sikapnya yang tetap tak perduli terhadap nasib kaum pemeluk agama minoritas itu.

Sebagai contoh, bahkan ketika jemaat GKI Yasmin, Bogor, dan HKBP Tamansari, Kecamatan Setu, Bekasi yang terusir dari tanah dan rumah ibadah miliknya sendiri oleh pemerintah daerah setempat dan ormas-ormas itu, mencoba menggugah nurani SBY dengan melakukan ibadah setiap Minggu di depan Istana Negara, sedikitpun tak membuat SBY terusik untuk sekadar mendengar langsung curahan hati mereka, apalagi mau mengatasinya.

Ketika Walikota Bogor membangkang hukum negara ini, dengan tidak mau memenuhi putusan Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung untuk mengembalikan hak kepada GKI Yasmin untuk menggunakan gerejanya kembali yang sebelumnya disegel Pemkot Bogor, membakangnya dengan tetap menyegel gedung gereja itu, sedangkan pendeta dan jemaatnya diusur paksa dari tanahnya sendiri. Presiden SBY pun diam seribu bahasa.

Lalu, sekarang, tiba-tiba secara tak tahu malu SBY hendak menerima Statesman World Award yang hanya diberikan kepada pimpinan-pimpinan negara yang berhasil menjalankan toleransi beragama di negaranya.

Dalam konteks kebijakan pemerintahan SBY yang sangat toleran terhadap ormas-ormas intoleran terhadap kebebasan beragama di negeri ini, dari tahun 2010-2013, saya telah menulis sedikitnya 13 artikel di Kompasiana yang menggambarkan bagaimana sikap dan kegagalan SBY selama ini dalam menjalankan toleransi antar umat beragama di negeri ini. SBY bahkan beberapa kali ciut nyali kena gertak ormas-ormas intoleran itu yang mengancamnya akan menggulingkannya jika dia membubarkan organisasi mereka.

Daftar artikel-artikel tersebut saya sertakan di bagian akhir artikel ini, yang bisa diakses untuk dibaca.

*

E-mail Romo Franz Magnis Suseno SJ kepada ACF itu pun tak mampu membuat SBY melakukan introspeksi, apakah dia memang layak menerima penghargaan tersebut. Kalau dia merasa layak menerimanya, kenapa dia merasa tidak nyaman? Sebaliknya, e-mail itu rupanya membuat SBY tersinggung berat. Dia merasa bahwa e-mail itu telah mencoba menghalanginya menikmati enaknya menerima penghargaan internasional untuk kesekian kalinya itu.

Merespon isi e-mail Romo Magnis itu, mewakili ketersingungan SBY, Juru Bicara Presiden SBY, Julian Aldrin Pasha mengatakan semua pihak hendaknya menilai penerimaan penghargaan itu dengan obyektif. Penilaian hendaknya tidak menggunakan penafsiran filsafat yang salah, katanya.

"Awarddiberikan dalam konteks kenegarawanan seseorang yang dinilai berjasa dan berhasil bagi terciptanya perdamaian, toleransi beragama, dan demokrasi," kata Julian, Kamis (16/5/2013) malam. Ia mengatakan, ACF merupakan lembaga independen dan mempunyai kredibilitas yang baik (Kompas.com)

Kompas.com menulis:

ACF, kata Julian, juga memberikan penghargaan serupa, World Statesman Award, kepada PM Inggris Gordon Brown, Presiden Korea Selatan, dan PM Kanada. "Lembaga ini telah beberapa kali memberikanawardskepada kepala negara seperti PM Kanada, Presiden Korsel, Kanselir Jerman, dan PM Inggris Gordon Brown," katanya.

Namun, Julian menyayangkan apabila ada pihak yang mengatasnamakan golongan kemudian menyampaikan protes atas pemberian penghargaan tersebut dan memaksa agar pihak ACF mengurungkan niatnya. "Namun, apabila pandangan yang mengatasnamakan wakil suatu komunitas kemudian memprotes dengan memaksa untuk menolak rencana pemberianawardoleh ACF, yang disampaikan secara terbuka seolah dirinya mewakili semua, maka itu jelas satu cara pandang yang sempit didasari penafsiran fisafat politik minus etika," kecam dia.

Masih menurut Julian, "Jadi sesungguhnya protes atas rencana pemberianawarddimaksud hanya membuat orang tahu bahwa di sini masih ada orang yang berpikiran sempit kepada kepala negaranya." Julian berharap pihak ACF tidak merasa dilecehkan atas protes tersebut dan dapat memakluminya.

--

Isi pernyataan Julian ini lebih cocok ditujukan kepada SBY, bukan kepada publik yang menolak SBY menerima penghargaan itu. Khususnya kepada Romo Magnis.

Julian juga kelihatannya tidak membaca e-mail Romo Magnis dengan cermat, karena di dalam e-mail-nya itu Romo Magnis sama sekali tidak menyatakan dirinya mewakili atau mengatasnamakan komunitas atau golongan tertentu. Di e-mail itu dia hanya memperkenalkan dirinya sebagai seorang pastor Katholik dan filsuf yang tinggal di Indonesia.Bukan mewakili umat Katholik Indonesia, atau pihak manapun juga.

Saya merasa sangat heran dengan argumen Julian untuk membenarkan SBY layak menerima penghargaan tersebut. Dia bilang, “Award diberikan dalam konteks kenegarawanan seseorang yang dinilai berjasa dan berhasil bagi terciptanya perdamaian, toleransi beragama, dan demokrasi.”

Adakah SBY memenuhi unsur-unsur yang dia ucapkan itu. Tentang demokrasi, bisa dikatakan, oke. Tetapi untuk: “Seorang negarawaan yang berjasa dan berhasil (sukses) menciptakan perdamaian dan toleransi beragama di Indonesia?” Sedikit pun tidak!

SBY bukan seorang negarawan. SBY gagal total menciptakan toleransi beragama di Indonesia! SBY gagal melindungi rakyat pemeluk agama minoritas yang ditindas ormas-ormas garis keras yang mengatasnamakan agama.

Seorang negarawan itu harus tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil keputusan, harus tegas dan berani, mempertaruhkan dirinya pribadi dan golongannya (parpol-nya) demi kepentingan negara, dan demi kepentingan rakyatnya, dalam konteks ini demi melindungi rakyatnya yang memeluk agama minoritas. Karena itu juga dijamin dan ditugaskan kepada setiap presiden NKRI oleh Pancasila dan UUD 1945.

SBY takut citranya terganggu, SBY takut kehilangan dukungan politik jika dia menjalankan tugasnya melindungi kaum minoritas itu. Seorang negarawan tidak mementingkan citranya melebihi kepentingan rakyat dan negaranya. Seorang pimpinan yang lebih mementingkan citranya pasti tidak akan berbuat apa-apa ketika rakyatnya membutuhkannya.Karena citranya akan terganggu karenanya.

ACF memang pernah memberi World Statesman Award, kepada PM Inggris Gordon Brown, Presiden Korea Selatan, dan PM Kanada, dan Kanselir Jerman, tetapi ACF pasti akan melakukan kesalahan fatal yang akan mempermalukan mereka jika mereka menyerahkan penghargaan tersebut kepada SBY. Akan membuat mereka menjadi lembaga yang tidak kredibel.  Tokoh-tokoh dunia itu layak menerimanya, tetapi SBY? Sudah pasti tidak. Rakyat Indonesia jauh lebih paham daripada segala macam lembaga internasional sekredibel apapun dia jika mengenai presidennya sendiri. Jadi, Julian tidak usah bangga dengan mengatakan ACF itu sebuah lembaga internasional yang kredibel.

Siapakah yang berpikiran sempit dan minus etika, yang dimaksud oleh Julian? Pasti yang dia maksudkan itu adalah Romo Magnis, tetapi bagi rakyat Indonesia, justru SBY-lah yang berpikiran sempit dan minus etika. Kenapa sudah tahu dirinya tidak layak menerima penghargaan itu, tetapi tetap memutuskan untuk menerimanya?

Hanya orang yang berpikiran sempit, karena telah disesaki mafsu untuk mengoleksi sebanyak mungkin gelar dan penghargaan dunia, yang minus etikanya. Orang yang positif etikanya, tidak mungkin melakukan hal ini.

Jadi, reaksi Istana atas protes Romo Magnis itu, hanya membuat orang tahu bahwa negara ini mempunyai presiden yang berpikiran sempit, dan minus etika. Kita berharap dengan e-mail dari Romo Magnis itu, dan suara-suara rakyat lainnya, ACF terbuka pikirannya, agar jangan melecehkan dirinya sendiri.

Reaksi Istana terhadap e-mail Romo Magnis itu sesungguhnya mencerminkan mereka juga sesungguhnya tidak percaya diri SBY  layak menerima penghargaan itu, kalau tidak demikian, tentu saja mereka pasti yakin pihak ACF tidak akan terpengaruh hanya karena sebuah e-mail itu.

Apa artinya SBY menerima penghargaan itu kalau di negerinya sendiri, justru dengan penghargaan itu di tangannya, rakyatnya sendiri justru semakin tidak menghargainya? ***

Isi e-mail lengkap  Romo Magnis kepada ACF (sumber Kompas.com):

Ladies and Gentlemen of the Appeal of Conscience Foundation (ACF),

I am a Catholic Priest and professor of philosophy in Jakarta. In Indonesia we learnt that you are going to bestow this year's World Stateman Award to our President Susilo Bambang Yudhoyono because of his merits regarding religious tolerance.

This is a shame, a shame for you. It discredits any claim you might make as a an institution with moral intentions. How can you take such a decision without asking concerned people in Indonesia? Hopefully you have not made this decission in response to prodding by people of our Government or of the entourage of the President.

Do you not know about the growing difficulties of Christians to get permits for opening places of prayer, about the growing number of forced closures of churches, about the growth of regulations tha make worshipping for minorities more difficult, thus about growing intolerance on the grassroot level?

And particularly, have you never heard about the shameful and quite dangerous attitudes of hardline religious groups towards so called deviant teachings, meaning members of the Achmadiyah and the Shia communities, and the government of Susilo Bambang Yudhoyono just doing nothing and saying nothing to protect them? Hundreds of their people have under Susilo Bambang Yudhoyono's presidentship been driven out of their houses, they still live miserably in places like sports halls, there have allready Achmadis and Shia people been killed (so that the question arises whether Indonesia will deteriorate to conditions like Pakistan dan Iran [favor of President G. W. Bush] where every months hundreds of Shia people are being killed because of religious motivations)?

Do you not know that President Susilo Bambang Yudhoyono during his up to now 8 1/2 years in office has not a single time said something to the Indonesian people, that they should respect their minorities? That he has shamefully avoided responsibility regarding growing violence towards Achmadiyah and Shia people?

Again, whom did you ask for information before making you award choice? What could be your motivation to bestow upon this President a reward for religious tolerance who so obviously lacks any courage to do his duty protecting minorities?

I have to add that I am not a radical, not even a "human right extremist" (if such exist). I am just appaled about so much hypocrisy. You are playing in the hands of those - still few - radicals that want to purify Indonesia of all what they regard as heresies and heathen.

Franz Magnis-Suseno SJ

--

Video contoh aksi intoleran yang dibiarkan negara yang dipimpin oleh Presiden SBY:

13 artikel saya di Kompasiana tentang sikap dan gagalnya Presiden SBY menjalankan toleransi beragama di NKRI: 1.Simpatisan FPI di Pemerintahan? 2. Fakta Menelanjangi Kepalsuan Pidato Natal Presiden SBY 3.SBY, Bapak Anti Pluralisme Indonesia 4. Lagi, Penatua dan Pendeta HKBP Diserang, Mau Dibunuh? 5. FPI: “Ahmadiyah Tidak Punya Hak Hidup di Indonesia” 6. Malam Ini, SBY Harus Memilih Berhenti atau Terus Berbohong 7. SBY, Timur Pradopo, Suryadharma Ali, Ratu Atun, dan Sri Sultan dalam Insiden Ahmadiyah Cikeusik 8. Seharusnya, SBY Tidak Menabuh Gong Perdamaian Itu 9. Semoga Presiden SBY Tidak Ciut Nyalinya 10. SBY VS FPI 11. Mengapa Pemerintah Tidak Juga Becus Menyelesaikan Masalah Ahmadiyah dan Ormas Anarkis?

12. Kasus GKI Yasmin, Putrusan Mahkamah Agung pun Tak Ada Artinya

13. Nilai Minus Pidatao Presiden SBY

[caption id="attachment_244100" align="aligncenter" width="465" caption="Aksi jemaat gereja GKI Yasmin di depan istana negara (Kompas.com)"]

1368865875491134259
1368865875491134259
[/caption] [caption id="attachment_244101" align="aligncenter" width="366" caption="AFP PHOTO / ADEK BERRYPanjaitan, pendeta Gereja Huria Kristen Batak Protestan Tamansari, Setu, Bekasi, serta anggota jemaat lainnya menangis menyaksikan pembongkaran gereja, 21 Maret 2013. Pemda mengatakan gereja tidak memiliki izin pendirian bangunan dan memiliki persoalan dengan masyarakat sekitar (Kompas.com)"]
13688659491824206681
13688659491824206681
[/caption] [caption id="attachment_244102" align="aligncenter" width="459" caption="Aparat kepolisian hadir untuk melancarkan jalannya pembongkaran gereja HKBP Taman Sari, Bekasi (Kompas.com)"]
13688660731591909447
13688660731591909447
[/caption] [caption id="attachment_244152" align="aligncenter" width="462" caption=" AFP PHOTO / ADEK BERRYOrmas Islam berada di area pembongkaran Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tamansari, Kecamatan Setu, Bekasi, 21 Maret 2013. pemerintah setempat mengatakan gereja tidak memiliki izin pendirian bangunan dan memiliki persoalan dengan masyarakat sekitar.(Kompas.com)"]
13688953131371047721
13688953131371047721
[/caption] [caption id="attachment_244103" align="aligncenter" width="462" caption="Masji Ahmadiyah yang dirusak (Kompas.com)"]
1368866267499439479
1368866267499439479
[/caption] [caption id="attachment_244104" align="aligncenter" width="467" caption="(Kompas.com)"]
1368866359982391603
1368866359982391603
[/caption] [caption id="attachment_244105" align="aligncenter" width="478" caption="Anggota jemaah Ahmadiyah Cikeusik, yang dikeroyok dan dianiaya sampai tewas, 6 Februari 2011 (news.viva.co.id)"]
13688665531988087036
13688665531988087036
[/caption] [caption id="attachment_244106" align="aligncenter" width="461" caption="Pengungsi Syiah di Sampang, madura, Agustus 2012 (voa.indonesia)"]
1368866862800829119
1368866862800829119
[/caption]
1368867078805259719
1368867078805259719

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun