Julian juga kelihatannya tidak membaca e-mail Romo Magnis dengan cermat, karena di dalam e-mail-nya itu Romo Magnis sama sekali tidak menyatakan dirinya mewakili atau mengatasnamakan komunitas atau golongan tertentu. Di e-mail itu dia hanya memperkenalkan dirinya sebagai seorang pastor Katholik dan filsuf yang tinggal di Indonesia.Bukan mewakili umat Katholik Indonesia, atau pihak manapun juga.
Saya merasa sangat heran dengan argumen Julian untuk membenarkan SBY layak menerima penghargaan tersebut. Dia bilang, “Award diberikan dalam konteks kenegarawanan seseorang yang dinilai berjasa dan berhasil bagi terciptanya perdamaian, toleransi beragama, dan demokrasi.”
Adakah SBY memenuhi unsur-unsur yang dia ucapkan itu. Tentang demokrasi, bisa dikatakan, oke. Tetapi untuk: “Seorang negarawaan yang berjasa dan berhasil (sukses) menciptakan perdamaian dan toleransi beragama di Indonesia?” Sedikit pun tidak!
SBY bukan seorang negarawan. SBY gagal total menciptakan toleransi beragama di Indonesia! SBY gagal melindungi rakyat pemeluk agama minoritas yang ditindas ormas-ormas garis keras yang mengatasnamakan agama.
Seorang negarawan itu harus tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil keputusan, harus tegas dan berani, mempertaruhkan dirinya pribadi dan golongannya (parpol-nya) demi kepentingan negara, dan demi kepentingan rakyatnya, dalam konteks ini demi melindungi rakyatnya yang memeluk agama minoritas. Karena itu juga dijamin dan ditugaskan kepada setiap presiden NKRI oleh Pancasila dan UUD 1945.
SBY takut citranya terganggu, SBY takut kehilangan dukungan politik jika dia menjalankan tugasnya melindungi kaum minoritas itu. Seorang negarawan tidak mementingkan citranya melebihi kepentingan rakyat dan negaranya. Seorang pimpinan yang lebih mementingkan citranya pasti tidak akan berbuat apa-apa ketika rakyatnya membutuhkannya.Karena citranya akan terganggu karenanya.
ACF memang pernah memberi World Statesman Award, kepada PM Inggris Gordon Brown, Presiden Korea Selatan, dan PM Kanada, dan Kanselir Jerman, tetapi ACF pasti akan melakukan kesalahan fatal yang akan mempermalukan mereka jika mereka menyerahkan penghargaan tersebut kepada SBY. Akan membuat mereka menjadi lembaga yang tidak kredibel. Tokoh-tokoh dunia itu layak menerimanya, tetapi SBY? Sudah pasti tidak. Rakyat Indonesia jauh lebih paham daripada segala macam lembaga internasional sekredibel apapun dia jika mengenai presidennya sendiri. Jadi, Julian tidak usah bangga dengan mengatakan ACF itu sebuah lembaga internasional yang kredibel.
Siapakah yang berpikiran sempit dan minus etika, yang dimaksud oleh Julian? Pasti yang dia maksudkan itu adalah Romo Magnis, tetapi bagi rakyat Indonesia, justru SBY-lah yang berpikiran sempit dan minus etika. Kenapa sudah tahu dirinya tidak layak menerima penghargaan itu, tetapi tetap memutuskan untuk menerimanya?
Hanya orang yang berpikiran sempit, karena telah disesaki mafsu untuk mengoleksi sebanyak mungkin gelar dan penghargaan dunia, yang minus etikanya. Orang yang positif etikanya, tidak mungkin melakukan hal ini.
Jadi, reaksi Istana atas protes Romo Magnis itu, hanya membuat orang tahu bahwa negara ini mempunyai presiden yang berpikiran sempit, dan minus etika. Kita berharap dengan e-mail dari Romo Magnis itu, dan suara-suara rakyat lainnya, ACF terbuka pikirannya, agar jangan melecehkan dirinya sendiri.
Reaksi Istana terhadap e-mail Romo Magnis itu sesungguhnya mencerminkan mereka juga sesungguhnya tidak percaya diri SBY layak menerima penghargaan itu, kalau tidak demikian, tentu saja mereka pasti yakin pihak ACF tidak akan terpengaruh hanya karena sebuah e-mail itu.
Apa artinya SBY menerima penghargaan itu kalau di negerinya sendiri, justru dengan penghargaan itu di tangannya, rakyatnya sendiri justru semakin tidak menghargainya? ***
Isi e-mail lengkap Romo Magnis kepada ACF (sumber Kompas.com):
Ladies and Gentlemen of the Appeal of Conscience Foundation (ACF),
I am a Catholic Priest and professor of philosophy in Jakarta. In Indonesia we learnt that you are going to bestow this year's World Stateman Award to our President Susilo Bambang Yudhoyono because of his merits regarding religious tolerance.
This is a shame, a shame for you. It discredits any claim you might make as a an institution with moral intentions. How can you take such a decision without asking concerned people in Indonesia? Hopefully you have not made this decission in response to prodding by people of our Government or of the entourage of the President.
Do you not know about the growing difficulties of Christians to get permits for opening places of prayer, about the growing number of forced closures of churches, about the growth of regulations tha make worshipping for minorities more difficult, thus about growing intolerance on the grassroot level?
And particularly, have you never heard about the shameful and quite dangerous attitudes of hardline religious groups towards so called deviant teachings, meaning members of the Achmadiyah and the Shia communities, and the government of Susilo Bambang Yudhoyono just doing nothing and saying nothing to protect them? Hundreds of their people have under Susilo Bambang Yudhoyono's presidentship been driven out of their houses, they still live miserably in places like sports halls, there have allready Achmadis and Shia people been killed (so that the question arises whether Indonesia will deteriorate to conditions like Pakistan dan Iran [favor of President G. W. Bush] where every months hundreds of Shia people are being killed because of religious motivations)?
Do you not know that President Susilo Bambang Yudhoyono during his up to now 8 1/2 years in office has not a single time said something to the Indonesian people, that they should respect their minorities? That he has shamefully avoided responsibility regarding growing violence towards Achmadiyah and Shia people?
Again, whom did you ask for information before making you award choice? What could be your motivation to bestow upon this President a reward for religious tolerance who so obviously lacks any courage to do his duty protecting minorities?
I have to add that I am not a radical, not even a "human right extremist" (if such exist). I am just appaled about so much hypocrisy. You are playing in the hands of those - still few - radicals that want to purify Indonesia of all what they regard as heresies and heathen.
Franz Magnis-Suseno SJ
--
Video contoh aksi intoleran yang dibiarkan negara yang dipimpin oleh Presiden SBY:
13 artikel saya di Kompasiana tentang sikap dan gagalnya Presiden SBY menjalankan toleransi beragama di NKRI: 1.Simpatisan FPI di Pemerintahan? 2. Fakta Menelanjangi Kepalsuan Pidato Natal Presiden SBY 3.SBY, Bapak Anti Pluralisme Indonesia 4. Lagi, Penatua dan Pendeta HKBP Diserang, Mau Dibunuh? 5. FPI: “Ahmadiyah Tidak Punya Hak Hidup di Indonesia” 6. Malam Ini, SBY Harus Memilih Berhenti atau Terus Berbohong 7. SBY, Timur Pradopo, Suryadharma Ali, Ratu Atun, dan Sri Sultan dalam Insiden Ahmadiyah Cikeusik 8. Seharusnya, SBY Tidak Menabuh Gong Perdamaian Itu 9. Semoga Presiden SBY Tidak Ciut Nyalinya 10. SBY VS FPI 11. Mengapa Pemerintah Tidak Juga Becus Menyelesaikan Masalah Ahmadiyah dan Ormas Anarkis?
12. Kasus GKI Yasmin, Putrusan Mahkamah Agung pun Tak Ada Artinya
13. Nilai Minus Pidatao Presiden SBY