[caption id="attachment_244411" align="aligncenter" width="654" caption="Ratusan jemaat dari beberapa gereja yang telah dibongkar melakukan perayaan paskah di depan Istana Merdeka, Minggu (31/3/2013) Beritanya baca di Kompas.com : http://megapolitan.kompas.com/read/2013/03/31/15352149/Gereja.Dibongkar.Ibadah.Paskah.di.Depan.Istana "][/caption]
Di dalam rapat kabinet pada Selasa, 7 Mei 2013, Presiden SBY menyatakan bahwa hatinya merasa tidak nyaman berkaitan dengan ditetapkan dia sebagai penerima World Statesman Award 2013 (Penghargaan Kenegarawan) dari Appeal of Conscience Foundation (ACF), New York, Amerika Serikat, karena sampai saat ini masih terjadinya konflik sosial di negara ini. Tetapi, anehnya dia tetap memutuskan untuk menerima penghargaan tersebut yang rencananya akan diserah-terimakan pada akhir Mei ini di New York, ketika dia melakukan lawatan kenegaraannya ke Amerika Serikat.
Penolakan, kritik dan kecaman bertubi-tubi segera datang menerpa dari berbagai pihak di Indonesia, sebagai respon dari rencana pemberian penghargaan tersebut. Rakyat Indonesia sepakat SBY bukan saja tidak layak, tetapi sangat tidak layak menerima penghargaan tersebut. Rakyat Indonesia sama sekali tidak bangga Presidennya bisa menerima penghargaan yang bernama “World Statesman” tersebut, sebaliknya merasa sangat malu. Ironisnya, Presiden SBY sendiri tidak merasa malu.
Pakar Etika Politik Sekolah Tinggi Filsafat Diyarkara, Romo Franz Magnis Suseno SJ, adalah salah satu rakyat Indonesia yang merasa sangat tidak setuju, dan malu mendengar kabar Presiden SBY akan menerima penghargaan tersebut. Dia langsung mengirim e-mail kepada ACF, memproteskan, meminta ACF membatalkan rencana pemberian World Statesman Award 2013 itu kepada SBY.
"Presiden mau diberi penghargaan saya tidak ada komentar. Tapi kalau disebut penghargaan karena jasanya memajukan toleransi, saya sangat keberatan. Selama hampir 10 tahun toleransi keagamaan di Indonesia berkurang," kata Magnis kepada Kompas.com, Jumat, 17 Mei 2013.
Dalam e-mail yang dikim pada 15 Mei 2013 (belum dibalas sampai sekarang), Magnis antara lain mempertanyakan dasar ukuran moral apa yang digunakan ACF memutuskan memberi penghargaan tersebut kepada Presiden SBY. Dia juga heran, kenapa ACF dalam menentukan pilihannya tersebut tidak mengacu kepada pandangan rakyat Indonesia sendiri.
Katanya, “Presiden bahkan tidak pernah memberikan seruan sepatah kata pun kepada rakyatnya untuk menghormati hak-hak kaum minoritas. SBY tidak pernah berseru kepada rakyatnya agar menghormati hak-hak asasi (pemeluk agama) minoritas.”
[caption id="attachment_244098" align="aligncenter" width="493" caption="appealofconscience.org/"]
Magnis juga mengatakan bahwa pemberian penghargaan itu justru akan mempermalukan ACF, karena selama 8,5 tahun di bawah kepimpinaan Presiden SBY kaum minoritas Indonesia justru berada pada situasi yang paling tertekan.
“This is a shame, a shame for you. It discredits any claim you might make as a an institution with moral intentions.
How can you take such a decision without asking concerned people in Indonesia? Hopefully you have not made this decission in response to prodding by people of our Government or of the entourage of the President.”