Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Korban "Koboi Palmerah" Itu Seolah-olah Telah Menjadi Buronan Militer

5 Mei 2012   17:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:39 2323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_186463" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Aksi koboi yang dipertunjukkan oleh Kapten MA, Kepala Urusan Personel Markas Besar TNI Angkatan Darat terhadap seorang pengemudi Vespa di kawasan Palmerah, Jakarta Pusat, pada 30 April 2012 itu, ternyata mendapat perhatian besar di seluruh dunia. Lewat tayangan Youtube aksi koboi yang diunggah oleh UnpluggedTheTV pada 30 April 2012 itu, sampai tulisan ini dibuat (5 Mei 2012, pukul 23:48 WIB) telah dilihat sebanyak 571.568 kali dari berbagai negara di lima benua. Statistiknya seperti di bawah ini:

[caption id="attachment_175618" align="aligncenter" width="526" caption="(Sumber: You Tube)"]

1336236760333896162
1336236760333896162
[/caption]

Persoalan ini rupanya belum tuntas. Korban sang Kapten TNI, pengemudi Vespa berkaos biru yang bernama Soeng Simon Priadi (25) sampai hari ini masih dicari-cari pihak militer. Diberitakan oleh Kompas.com sudah sedikitnya 3-4 kali rumah Simon didatangi oleh orang-orang militer, baik yang berpakaian dinas, maupun preman. Mereka mencari Simon, konon untuk dipanggil ke Markas Besar TNI untuk dimintai keterangannya. Tetapi rupanya Simon memilih bersembunyi. Kemungkinan besar karena dia sedang dilanda ketakutan.

Apa yang membuat Simon ketakutan? Padahal di tayangan You Tube itu kita melihat bahwa dia cukup berani berhadapan langsung dengan seorang tentara, sang Kapten TNI itu, meskipun tidak melakukan perlawanan apapun. Walaupun dicaci-maki, diintimidasi dengan tembakan pistol ke atas, kepalanya yang masih memakai helm itu dan kakinya dipukul berkali-kali dengan pistol dan sebatang besi oleh Kapten MA itu, Simon yang mencoba mengelak itu tidak kelihatan ketakutan, sampai pertikaian tersebut dilerai.

Kemungkinan besar yang membuat Simon ketakutan adalah setelah mendengar pernyataan dari pihak Markas Besar TNI yang kelihatannya percaya sepenuhnya dan memegang kesaksian Kapten MA sebagai suatu kebenaran, yang kemudian dari situ mengeluarkan pernyataan yang bernada membela sang Kapten.

Seperti yang dikutip Kompas.com(02/05/2012), Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat Birgadir Jenderal Pandji Suko Hari Yudho kepada pers menjelaskan kronologis kejadian menurut versi Kapten MA bahwa kejadian tersebut berawal dari saat Kapten MA berusaha mengejar waktu menuju Bandara Soekarno-Hatta untuk menjemput ibunya yang sakit jantung.

"Awalnya dia mau ke tengah, terus dia ambil kiri ternyata di sana ada sepeda motor. Pengendara motor yang ngerasa kesenggol itu ketok-ketok mobil. Saat kaca dibuka sama anggota kami, pengendara itu marah-marah," ... Pengendara sepeda motor yang diketahui bernama SSP itu lalu berteriak, "Jangan mentang-mentang aparat bisa seenaknya!". Teriakan itu membuat Kapten A yang mengendarai kendaraan dinasnya Toyota Avanza warna hijau tua dengan pelat TNI 1394-00 langsung meminggirkan kendaraan di jalan. Ia pun turun dan menanyakan apakah SSP terluka.

"Ternyata setelah dia turun, enggak ada yang luka dan lecet juga. Berarti enggak ada masalah dan dia masuk lagi ke mobil. Saat kembali ke mobil itu, orang ini mendatangi anggota dan menendang mobil," ujar Pandji. Menurut Pandji, Kapten A juga sempat dicekik lehernya oleh SSP.

Mendapat perlakuan seperti ini, Kapten A pun naik pitam. Kapten A kembali ke mobilnya dan keluar menenteng besi kecil dan airsoft gun. Airsoft gun itu ia tembakkan ke udara sebanyak dua kali. "Itu naluri, insting. Kalau terjadi begitu, instingnya kita lari atau melindungi diri dan melihat saya punya apa," tutur Pandji.

Kutipan yang ditebalkan oleh saya itulah yang bisa jadi membuat Simon alias SSP menjadi takut. Karena kejadian sebenarnya tidaklah begitu. Kalau sampai dia dicari oleh pihak tentara untuk diberi kesaksian, maka kesaksiannya itu pasti bertentangan dengan cerita sang Kapten. Beranikah dia membantah, dan mengatakan versi sang Kapten adalah bohong di Markas Besar TNI Angkatan Darat itu, sementara atasan Kapten MA sendiri dalam pernyataan kepada media itu nadanya begitu percaya dengan versi anak buahnya? Ini tercermin dari komentar Brigjen Pandji: "Itu naluri, insting. Kalau terjadi begitu, instingnya kita lari atau melindungi diri dan melihat saya punya apa. “

Dengan berkomentar seperti ini,  bukankah  sama artinya   menuduh  Simon  telah melakukan penyerangan fisik terhadap seorang tentara?

Dari cara-cara pihak TNI mencari Simon saja sudah menimbulkan ketakutan tersendiri, karena rumahnya didatangi begitu saja tanpa melalui prosedur yang seharusnya. Yakni, dengan membawa surat tugas dan melalui Ketua RT setempat. Jangan-jangan pihak TNI yang datang mencarinya itu adalah oknum rekan sang Kapten yang hendak menyelesaikan kasus tersebut secara pribadi di luar prosedur. Misalnya, diculik dan diteror mental dan fisiknya? Bagaimanapun imej negatif perilaku tentara yang suka main hakim sendiri dengan cara kekerasan ala militer terhadap warga sipil belum bisa dilepas begitu saja dari persepsi publik pada umumnya.

Dari pihak Markas besar Angkatan Darat pun tidak memberi keterangan atau konfirmasi tentang pencarian terhadap Simon oleh tentara-tentara itu. Apakah memang resmi, ataukan tidak. Siapa yang tidak takut?

Terus terang kesaksian versi Kapten MA bagi saya meragukan. Apakah Simon sedemikian besar nyalinya, sudah tahu lawannya tentara, kok hebat sekali dia berani menendang mobilnya, bahkan mencekik leher si tentara di depan umum? Mungkin waktu menegur Kapten MA dengan kata-kata, :Jangan mentang-mentang aparat bisa seenaknya” itu benar dilontarkan Simon. Tetapi, kalau sampai setelah aparatnya turun dan “mengalah”, Simon kemudian malah menyerangnya secara fisisk seperti itu, kok, meragukan sekali, ya?

Lebih janggal lagi komentar dari Brigjen Pandji yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh bawahannya itu merupakan ekspresi spontan seseorang yang melindungi/membela diri (dari serangan). Padahal nyata-nyata lewat tayangan video selama dua menit itu, – menurut saksi mata langsung peristiwa itu berlangsung sekitar 20 menit -- semua orang bisa menyaksikan bahwa Kapten MA dengan sepucuk pistol dan sebatang besi di tangannya terus-menerus mencaci-maki Simon, dan berkali-kali menyerang, memukul bagian kepala dan kakinya. Simon hanya mencoba mengelak dan menangkis serangan bertubi-tubi itu. Masih untung Simon tetap mengenakan helmnya. Kalau tidak, tentu kepalanya sudah bocor berdarah. Apakah ini masuk akal kalau aksi Kapten MA itu dibilang bagian dari pembelaan dan melindungi diri (dari serangan)? Lihatlah potongan gambar-gambar di bawah ini yang diambil dari You Tube, apakah ini gambaran Kapten MA (berbaju putih) yang memegang pistol dan sebatang besi itu sedang membela dan melindungi dirinya (dari serangan)?

1336237283558939005
1336237283558939005
13362373141380506859
13362373141380506859
1336237340507776044
1336237340507776044
13362374031083665282
13362374031083665282

(Sumber semua gambar dari You Tube)

Ironisnya korban sang Kapten yang semula dikenal hanya dengan inisial SSP, yang lengkapnya adalah Soeng Simon Priadi (25) kini seolah-olah menjadi pesakitan. Seolah-olah menjadi buronan pihak Polisi Militer karena telah melakukan suatu kejahatan. Beberapa media internet dengan gaya pemberitaannya telah memposisikan Simon seperti itu. Padahal dia adalah korban. Bisa dikatakan sebagai korban penganiayaan dari seorang tentara yang arogan. Bergaya koboi menggunakan senjata api seenaknya sendiri. Salah satunya media itu adalah Kompas.com.

Sadar atau tidak, Kompas.com telah memposisikan Simon seperti itu. Setidaknya dalam tiga berita terakhirnya tentang Simon yang sedang dicari pihak tentara dan Polisi Militer itu.

Kompas.com begitu bersemangat untuk mencari tahu sejauh mana profil Simon tersebut dengan melakukan investigasi tentang nama sebenarnya dari SSP, di mana alamat rumahnya, dan apa latar belakang kehidupannya. Sementara itu, hal yang sama tidak dilakukan, atau tidak berani dilakukan Kompas.com terhadap Kapten MA. Sehingga sampai hari ini kita hanya bisa tahu inisialnya saja (MA), profil dan latar belakangnya masih gelap bagi publik. Kecuali jabatannya yang cukup penting di Markas Besar Angkatan Darat itu, Kepala Urusan Personel Markas Besar Angkatan Darat. Sebuah jabatan yang bertanggung jawab berkaitan dengan perilaku setiap personel TNI Angkatan Darat, yang harus senantiasa berdisplin tinggi, dan tidak melanggar sumpah jabatannya sebagai seorang tentara yang antara lain melindungi warga sipil.

Tiga berita Kompas.com yang dimaksud adalah berita-berita dengan judul:

Rumah Korban "Koboy Palmerah" Tertutup

Komentar saya: Emangnya yang menulis artikel ini rumahnya selalu terbuka? Ya, wajar, dong, kalau rumah orang itu tertutup. Masakan harus terbuka terus?

Warga Akui Korban "Koboy Palmerah" Temperamental

Komentar saya: Judul dan isi berita ini sangat tendensius dan sangat berlebihan. Persepsi Simon sebagai seorang temperamental itu hanyalah hasil wawancara Kompas.com dengan satu, ya hanya dengan satu orang warga di sekitar rumah yang pernah ditinggali Simon. Persepsi itu disimpulkan dari satu peristiwa ketika Simon datang di Kelurahan untuk pendaftar e-KTP. Oleh petugas Kelurahan dia tidak diperkenankan masuk karena bercelana pendek. Simon tidak terima, dan berdebat dengan petugas tersebut. Nah, apakah orang berani berdebat dengan petugas Kelurahan itu berarti dia temperamental?

Polisi Militer Kejar Korban "Koboy Palmerah" ke Kebayoran Baru

Komentar saya: Judul dan isi berita inilah yang terutama membuat seolah-olah korban koboi Palmerah itu kini menjadi buronan pihak Polisi Militer. Menjadi seorang buronon tentu saja konotasinya adalah negatif. Seoilah-olah Simon telah melakukan suatu kejahatan sehinggi dia kini dikejar-kejar pihak Polisi Militer. Penggunaan kata “dikejar-kejar” dalam konteks berita ini tentu saja tidak tepat. Karena konotasinya dan persepsinya bisa seperti yang saya katakan ini. Seharusnya cukup digunakan kata, seperti “dicari”.

Bagaimanapun, kita mengharapkan kasus yang kelihatannya seperti sepele, tetapi sebenarnya serius ini karena menyangkut rasa aman warga sipil dan sikap arogansi aparat militer, dan penyalahgunaan senjata api ini, dengan adanya sikap saling terbuka di antara kedua pihak, segera tuntas.***

Catatan:

Untuk melengkapi tulisan ini saya susulkan data kasus kekerasan yang pernah dilakukan aparat, baik tentara maupun polisi dari 27 Mei 2010 sampai dengan 30 April 2012, yang diambil dari Harian Kompas, Senin, 07 Mei 2012:

1336357232507721590
1336357232507721590

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun