Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Filter Kotor dalam Penjaringan Calon Pimpinan KPK

23 Agustus 2011   04:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:32 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_126339" align="alignleft" width="419" caption="Bambang Widjojanto, salah satu calon pimpinan KPK yang diisukan akan disingkirkan DPR (antaranews.com)"][/caption] Lagi-lagi Ketua DPR Marzuki Alie membuat pernyataan yang kontroversial. Terkait dengan pemilihan pimpinan KPK, dia bilang bahwa dalam menentukan pilihan itu DPR tidak akan bisa independen. Karena DPR adalah lembaga politik, bukan terdiri dari orang-orang yang berpengalaman dalam melakukan penyeleksian dan audit pejabat dari lembaga independen. Maka itu yang akan dilakukan dalam menentukan 4 pimpinan KPK itu DPR hanya akan melakukan pendekatan politik.

"Saya waktu itu menyampaikan pada panitia Pansel KPK, jangan terlalu berharap banyak dengan DPR akan menentukan siapa yang terbaik berdasarkan pertimbangan profesionalisme. Karena apa, DPR itu kan lembaga politik, yang melakukan seleksi di DPR ini bukan yang mengerti tentang audit, yang tidak berpengalaman auditor, gimana mau seleksi," ujar Marzuki di Gedung DPR RI, Jumat (Kompas.com, 19/8/2011).

Pernyataannya kali ini didukung sepenuhnya oleh teman sefraksinya, yang juga adalah Ketua Komisi III (Bidang Hukum, yang akan melakukan pemilihan itu), Benny K. Harman.

Bahkan dengan nada pongah dia menegaskan bahwa dalam seleksi uji kelayakan dan kepatutan pimpinan KPK nanti, DPR tidak akan mendengar masukkan dari mananpun. Termasuk dari rakyat, dan kalangan LSM! DPR hanya akan menentukan pemilihan tersebut berdasarkan kepentingan politikmasing-masing fraksi di DPR.

Menurut Benny, DPR adalah lembaga politik. Sehingga dipandangnya sangat wajar jika DPR menggunakan pertimbangan politik untuk memilih calon pimpinan KPK yang dipandang satu visi dengan parpol.

"Seleksi fit and proper test menjadi sangat penting. Pertimbangan DPR dalam memilih 4 pimpinan KPK dengan pertimbangan politik. Tentu setiap fraksi akan memilih yang searah dengan visi politik partainya bukan hanya soal bersih dan integritasnya," kata Benny (detik.com, 20/8/2011).

*

Sebenarnya sudah lama saya merasa heran, DPR adalah salah satu lembaga yang paling tidak dipercaya oleh rakyat sampai dengan saat ini. Karena lembaga ini selain berisi orang-orang oportunis-pragmatis, pemalas, suka berkeliaran ke luar negeri dengan alasan-alasan konyol, juga, yang paling penting adalah lembaga ini merupakan salah satu lembaga yang dikenal paling korup di negeri ini.

Lalu, kenapa bisa, lembaga ini dilibatkan bahkan ikut menentukan begitu banyak (pimpinan) puncak lembaga-lembaga independen yang sangat mengutamakan kejujuran dan integritas tinggi. Bahkan mereka juga ikut menentukan siapa yang menjadi orang nomor satu di lembaga-lembaga penegakan hukumyang salah satu tugas utamanya adalahpemberantas korupsi, seperti Kapolri, Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Ketua KPK, dan sejenisnya. Termasuk 4 calon pimpinan KPK, sekarang ini.

Apakah ini bukan sesuatu yang sangat kontradiksi? Bagaimana bisa sebuah lembaga yang hanya mementingkan dirinya sendiri, dan salah satu sarang koruptor, malah ikut menjadi penentu utama pimpinan KPK?

Seperti menggunakan filter kotor untuk menyaring air bersih saja. Tentu saja hasilnya bukan air yangbenar-benar bersih.

Namun demikian apa yang dikatakan oleh Marzuki Alie dan Benny K Harman tersebut di atas, bolehlah kita nilai sebagai suatu pernyataan DPR yang paling jujur selama ini.

Marzuki Alie dengan jelas mengakui bahwa sebetulnya DPR bukan sebuah lembaga yangtepat untuk ikut menentukan siapa saja 4 pimpinan KPK yang akan mendampingi Ketua KPK Busryo Muqoddas. Karena lembaga itu tidak bisa obyektif, dan tidak punya kemampuan yang cukup untuk itu.

Benny K Harman, yang namanya sempat ikut disebut-sebutkan Nazaruddin, pun menjabarkan lebih terang.

Benny mengatakan bahwa dalam menentukan pilihannya tersebut DPR sama sekali tidak akan mendengar suara rakyat, maupun LSM. Mereka akan mempertimbangkan dan menentukan sendiri berdasarklan kepentingan politik masing-masing fraksi di DPR.

Jelaslah suatu bahwa selama ini beredar sinyalemen yang mengatakan bahwa sesungguhnya DPR itu bukan mewakili rakyatnya, tetapi mewakili kepentingan politik masing-masing partainya, kini mendapat pembenaran yang tegas dan terang-benderang langsung dari pihak DPR sendiri. DPR memang bukan wakil rakyat, tetapi wakil dari partai-partai politik. Maka tidak heran selama ini, rakyat tidak pernah merasa aspirasinya didengar DPR.

Bukan hanya dalam pemilihan pimpinan KPK ini saja, tetapi juga berlaku dalam pemilihan ketua/pimpinan/kepala lembaga negara lainnya yang ikut menjadikan DPR sebagai salah satupenentunya. Termasuk dalam penentuan pemilihan kepala/ketua lembaga tertentu yang seharusnya sudah menjadi hak prerogatif presiden, tetapi digerogoti oleh kepentingan politik setiap parpol di DPR, dengan cara menentikan bahwa mereka juga harus ikut menentukannya.

Ketika sekarang femomena ini menjadi jelas, maka apakah kita masih bisa berharap adanya indepedensi sepenuhnya dari KPK? Tanpa ada intervensi kepentingan politik apapun?

*

Siapa yang berani menjamin bahwa di balik proses pemilihan pimpinan KPK sekarang ini tidak ada manuver-manuver politik di baliknya? Membuat para pimpinannya, bahkan ketuanya diam-diam tersandera oleh kekuatan-kekuatan dan kepentingan-kepentingan politik tertentu di DPR.

Bercermin pada pengalaman dalam proses pemilihan Ketua KPK pada tahun 2007 yang menghasilkan terpilihnya Antasari Azhar sebagai Ketua KPK, beredar cerita bahwa di balik terpilihnya Antasari Azhar ternyata penuh dengan manuver-manuver politik dari parpol-parpol di DPR.

Seperti yang dikisahkan Marwan Effeny, di majalah Tempo edisi14 Agustus 2011. Marwan yang iktu seleksi calon pimpinan KPK di tahun 2007, dan disebut-sebut yang paling berpeluang itu, akhirnya tersingkir di detik-detik terakhir menjelang uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III (Bidang Hukum) DPR.

Saat uji kelayakan dan kepatutan dimulai, pekan pertama Desember 2007. Marwan mengaku dihubungi dua pimpinan fraksi parpol besar di DPR. “Saya diminta mundur,” katanya. “Sebab ada instruksi mengalihkan dukungan kepada Antasari.”

Antasari ternyata telahbergerilya di belakang layar. Disponsori pengusaha Sigit Haryo Wibowo, ia menemui para petinggi fraksi. Dalam persidangan kasus terbunuhnya Direktur PT Putra Rajhawali Banjaran Nazaruddin Zulkarnaen, terungkap peran Sigit yang mempertemukan Antasari dengan Suripto, politikus PKS, yang adalah Wakil Ketua Komisi Hukum DPR.

Sigit juga disebut-sebut membawa Antasari bertemu dengan pemimpin partai besar menjelang uji kelayakan dan kepatutan.

*

Selanjutnya, Tempo menulis bahwa melobi politikus Senayan alias anggota DPR, khususnya di Komisi Hukum itu merupakan hal penting dalam proses seleksi calon pemimpin KPK. Halmana terjadi juga sekarang ini.

Sementara para calon digodok panitia seleksi,sejumlah orang sudah bertemu intensif dengan para anggota KPK. Berbagai jalan dilakukan agar bisa berhubungan dengan para politikus itu. Ada yang makan malam bersama, ada juga yang mengutus penghubung.

Upaya menghubungi anggota Komisi Hukum DPR itu tidak sulit. Di komisi itu ada sejumlah anggota yang mewakili fraksi-fraksi di DPR tergabung dalam sebuah kelompok. Mereka disebut “Tim Mawar.”

Pembicaraan intensif dilakukan oleh tim ini. Saat panitia seleksi sudah memutuskan 17 nama yang terpilih masuk seleksi tahap berikutnya, para anggota Komisi Hukum itu sudah mengelus-elus 4 nama pimpinan KPK yang akan mendampingi Busyro Muqoddas. Muncul nama, Bagindo Fachmi, Wayan Sudirta, Aryanto Sutadi, dan Jaksa Zulkarnain.

Selain itu anggota Komisi Hukum juga sudah menentukan siapa saja yang harus disingkirkan. Mereka antara lain Bambang Widjojanto dan Yunus Husein. Alasannya, Bambang dinilai sulit dipegang, dan Yunus dinilai terlalu dekat dengan Istana. Karena Yunus ini adalah selain sebagai Ketua PPATK, juga adalah anggota Satgas Mafia Hukum. Dia dinilai sebagai “orang-nya SBY.”

Demikian yang ditulis Tempo.

Sinyalemen itu secara tak langsung diakui pula anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat. Martin antara lainmengatakan, seperti yang dikutip Kompas, 23 Agustus 2011,bahwa memang DPR adalah lembaga politik sehingga ukuran yang digunakan untuk memilih calon pimpinan KPK juga bersifat politis.

Tetapi hendaknya dalam menentukanpilihannya itu DPR jangan hanya menggunakan pertimbangan politis itu. Apalagi di tengah-rtengah begitu rendahnya kepercayaan rakyat kepada DPR. “Anggota DPR diharapkan memilih jangan hanya tergantung pada perintah partai, tetapi juga harus menggunakan hati nuraninya,” katanya.

Sesuatu yang hampir tidak mungkin dilakukan, mengingat perintah partai itu sering sekali malah bertentangan dengan hati nurani manusia yang bersih. Banyak pihak juga meragukan bahwa para manusia yang katanya terhormat di Senayan itu masih punya hati nurani.

Martin menyampaikan kekhawatirannya, akan ada arahan dari partai untuk memilih calon tertentu bukan didasari alasan rasional, melainkan lantaran ada kesepakatan politik antara partai dengan calon itu. Yakni, partai akan mendukungseorang calon pimpinan KPK dengan kompensasi calon pimpinan yang didukung melindungi politikus dari jerat hukuman pidana korupsi.

“Deal politik itu informasinya terjadi pada pemilihan (pimpinan KPK) lalu. Ke depan jangan sampai ada deal seperti itu,” katanya.

Bisakah semua harapan Martin itu terkabul? Dengan melihat semua rekam jejak anggota DPR saat ini kita pantas pesimis. Bahkan harapan-harapan seperti itu sebenarnya tidak lebih dari suatu retorika semata. Bahkan suatu utopia.

Dengan adanya sinyalemen-sinyalemen seperti ini, menjadi masuk akal tuduhan-tuduhan yang pernah dilontarkan Nazaruddin tentang adanya pertemuan-pertemuan dan deal-deal tertentu antara Chandra M Hamzah, Ade Raharja, dan Johan Budi dengan Anas Urbaningrum dan dengan dirinya sendiri.

Setidaknya sudah terjadi adalah panitia seleksi calon pimpinan KPK pun terpengaruh. Mereka akhirnya memutuskan mencoret ketiga namanya dari daftar calon. Padahal, katanya ketiganya termasuk yang punya skor penilaian tertinggi.

Mungkin karena faktor-faktor inilah yang membuat sejumlah anggota DPR dari Komisi III bisa sedemikian sombong dan berani memaksa kehendaknya. Pada 15 Agustus lalu, meraka dipimpin oleh Nudirman Munir, memaksa masuk di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, menjenguk Nazaruddin di luar jam bezuk dan tanpa seizin KPK. Dan, apakah KPK tidak berani berkomentar atas tindakan tak terpuji itu?

Kalau memang DPR “sekotor” ini dalam proses pemilihan pimpinan KPK, lalu apakah yang bisa kita harapkan lagi? Filternya saja kotor, bagaimana bisa mengharapkan hasil saringannya bersih? ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun