[caption id="attachment_166261" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]
Masyarakat geram kepada Afriyani Susanti, pengemudi Xenia yang menabrak sampai mati sekaligus 9 orang dan melukai 4 orang pejalan kaki di trotoar di Jalan Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat (22/01/2012) itu. Sumpah serapah, kutukan, sampai meminta yang bersangkutan dihukum mati bertebaran di berbagai media.
Tidak ketinggalan para pejabat tinggi negara, dan pakar pun ikut-ikutan berseru agar kelak di pengadilan, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan diterapkan kepada Afriyanti. Karena kalau hanya menggunakan pasal-pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, hukumannya ringan; maksimal 6 tahun penjara. Meskipun Afriyani kelak dituduh dengan pasal-pasal yang berlapis-lapis, mulai dari ketentuan di dalam UU Lalu-Lintas (mengemudi dalam keadaan mabuk, tidak membawa surat-surat mobil, tidak ber-SIM, sampai dengan menyebabkan orang lain mati) ditambah dengan pasal penggunaan narkoba di dalam Pasal 127 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotik, plus Pasal 359 KUHP tentang kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia, tetap saja semua kumulatif dari ancaman maksimal hukuman tersebut tidak akan bisa lebih dari 8 tahun. Karena dalam sistem hukum Indonesia ada ketentuan bahwa bagi seorang pelaku yang sama melakukan lebih dari satu pelanggaran atau tindak pidana, maka yang akan dipakai adalah ancaman hukuman yang tertinggi ditambah sepertiganya.
Selain itu juga yang biasa dilakukan adalah mengawasi sopir-sopir bus antarkota/pariwisata agar selalu patuh dengan durasi jam kerjanya setiap hari. Maksudnya agar sopir bus yang membawa banyak nyawa manusia itu selalu dalam kondisi segar, tidak kecapekan dan mengantuk. Caranya adalah dengan menerapkan aturan lamanya jam kerja si sopir dengan ketat. Mulai dari jam berapa sopir tersebut keluar dari terminalnya, sampai dengan jam berapa sudah harus kembali ke terminalnya. Tidak boleh melebihi ketentuan yang telah ditetapkan. Pelanggarannya dapat mengakibatkan sopir bus, dan perusahaan busnya mendapat sanksi yang berat.
* Bagaimana juga dengan fungsi trotoar/pedesterian di Indonesia? Terutama sekali di kota-kota besarnya? Selain jumlahnya sangat minim yang layak, juga sangat banyak pula yang beralih fungsi menjadi tempat para pedagang kaki lima, maupun toko berjualan, atau tempat parkir kendaraan bermotor; sepeda motor, maupun mobil. Memaksa para pejalan kaki harus berjalan di bahu jalan dengan risiko sewaktu-waktu bisa disambar kendaraan yang lewat. Tidak jarang juga di kala terjadi kemacetan, banyak sepeda motor yang naik sampai di atas trotoar, membuat pejalan kaki terpaksa menyingkir, kalau tidak mau ditabrak mereka. Berbicara tentang sepeda motor, semakin lama semakin menjadi pemandangan biasa, ketika lampu lalu-lintas menyala merah, belasan sampai puluhan sepeda motor sekaligus ramai-ramai berhenti jauh melewati garis batas berhenti bagi kendaraan bermotor. [caption id="attachment_157484" align="aligncenter" width="400" caption="Trotoar yang beralihfungsi menjadi tempat jualan PKL"]
Semua fenomena ini sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa. Padahal ada Undang-Undang Lalu Lintas dengan tegas melarangnya. Ironisnya polisi lalu lintas dan aparat berwenang lain juga nyaris tidak pernah melakukan tindakan hukum terhadap semua pelanggaran tersebut. Membuat semua bentuk pelanggaran tersebut seolah-olah sudah bukan pelanggaran lagi. Padahal tentu saja semua itu juga membahayakan nyawa manusia.
[caption id="attachment_157466" align="aligncenter" width="299" caption="Fenomena sejumlah sepeda motor berhenti jauh melewati marka jalan ketika lampu lalu-lintas menyala merah, sudah lama merupakan pemandangan biasa"]
Di banyak negara, juga telah diberlakukan peraturan yang melarang mengemudi kendaraan bermotor sambil menggunakan telepon selular (HP), tetapi di Indonesia sampai hari ini peraturan tersebut masih sebatas tertulis di atas kertas. Pemandangan orang mengemudi mobil sambil mengemudi masih merupakan pemandangan biasa. Bahkan di jalan tol sekalipun.
Lebih parah lagi, pengendara sepeda motor pun banyak yang dengan berani mati melakukan hal yang sama. Tangan yang satu memegang setir motornya, tangan yang satu memegang HP-nya. Jadi, hanya dengan satu tangan dia mengendarai sepeda motornya. Atau, biasa juga diselip di antara helm-nya. Padahal mengemudi sambil mengendarai itu jelas-jelas sangat berbahaya. Karena pecahnya konsentrasi. Apalagi di Indonesia dengan lalu-lintasnya yang semrawut, pejalan kaki menyebarang seenaknya, anak-anak bersepeda pancal bebas berlalu-lalang di jalan raya, dan sebagainya. Beberapa kali sudah terjadi kecelakaan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa dikarenakan pengemudi mobil, maupun sepeda motor mengemudikan kendaraannya sambil menggunakan HP. [caption id="attachment_157459" align="aligncenter" width="480" caption="Sangat berbahaya, mengemudi sambil menggunakan HP"]
Hal-hal ini bertambah buruk dengan minimnya rasa tanggung jawab dari instansi atau penyelenggara jalan lainnya yang bertanggung jawab dengan kualitas suatu jalan raya. Terdapat banyak ruas jalan raya yang rusak, dan biasanya sangat lama diperbaiki. Selama itu pula banyak terjadi kecelakaan lalu-lintas karena rusaknya jalan tersebut. Mulai dari yang ringan sampai dengan yang berat. Apalagi kalau sampai turun hujan. Tetapi jarang sekali ada kompensasi yang diberikan kepada korban, maupun keluarganya.
Padahal di Undang-Undang Lalu Lintas pun ada aturan yang mewajibkan setiap penyelenggara jalan untuk segera dalam tempo yang patut memperbaiki jalan yang rusak. Jika belum diperbaiki dan tidak memberi tandanya ada sanksinya (denda Rp 1,5 juta atau penjara 1 bulan).. Apabila belum juga diperbaiki sampai mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan korban luka dan/atau kendaraannya rusak, mulai dari ringan sampai dengan berat ada sanksinya yang lebih berat. Mulai dari pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 12 juta, sampai dengan terberat (korban meninggal dunia), ancaman pidana penjaranya adalah maksimal 5 tahun, atau denda Rp 120 juta. Tetapi dalam praktek, apakah kita pernah mendengar penyelenggara jalan yang seharusnya bertanggung jawab itu dijatuhi sanksi tersebut? Padahal cukup banyak jalan yang rusak, dan cukup banyak pula terjadi kecelakaan di sana. Hampir tidak pernah, bukan? Demikian juga dalam upaya pemerintah melindungi warganya dari kecelakaan lainnya di jalan raya, seperti tertimpa pohon yang tumbang. Adalah kewajiban pemerintah setempat untuk selalu menjaga dan merawat semua pohon yang berada di dalam wilayahnya agar sedapat mungkin jangan sampai terjadi ada pohon yang tumbang. Hal yang sama seharusnya juga diberlakukan bagi pihak swasta yang memiliki pohon di dalam tanah haknya. Untuk membuat efek pemerintah dalam hal ini instansi yang berwenang (Dinas Pertamanan) benar-benar serius dengan tugas dan kewajibannya itu seharusnya dibuat ketentuan hukum dengan sanksi yang berat, supaya ada efek jeranya. Kenyataannya adalah di DKI Jakarta, misalnya, sanksi hukuman yang dibuat hanyalah membayar santunan kepada korban yang tertimpa pohon tumbang sampai meninggal dunia hanya maksimal sebesar Rp 10 juta. Betapa murahnya nyawa manusia di mata pemerintah provinsi DKI Jakarta ini. Akibatnya rasa tanggung jawab dari Dinas Pertamanan itu bisa dikatakan kurang. Itulah fakta-fakta bahwa sampai dengan detik ini kita belum juga mau membiasakan diri untuk melakukan langkah-langkah preventif mencegah terjadinya suatu kecelakaan lalu-lintas. Sementara itu pihak pemerintah dan instansi berwenang lainnya pun tidak bisa bertindak tegas untuk tegaknya suatu aturan berlalu-lintas yang sejatinya untuk mencegah terjadinya kecelakaan-kecelakan lalu-lintas yang mengancam jiwa manusia itu. Kita baru berteriak keras, dengan geram bereaksi ketika sudah terjadi kecelakaan-kecelakan itu. Contoh teraktual saat ini adalah bagaimana reaksi kita ketika terjadi musibah Xenia yang dikemudikan Afriyani Susanti itu menerobos trotoar dan menabrak sejumlah pejalan kaki di sana. Sembilan orang tewas sekaligus, dan empat lainnya menderita luka-luka cukup parah. Kita berteriak, memaki, menyumpahi, meminta Afriyanti dihukum seberat-beratnya. Tetapi, bersamaan dengan itu kita tidak perduli dengan langkah-langkah preventif guna mencegah terjadinya kejadian-kejadian yang serupa atau yang lebih parah lagi. Kapan kita semua mau dengan serius belajar untuk hal ini? *** (Sumber gambar-gambar diambil berdasarkan pencarian di Google)