[caption id="attachment_147355" align="alignleft" width="322" caption="(Pos Kota)"][/caption]
Kesombongan amat dekat dengan kejatuhan, jadilah pribadi rendah hati dan sukseslah
Mario Teguh
Sangat jarang orang yang diberhentikan dengan tidak hormat, malah merasa lega. Yang normal adalah dia akan merasa resah. Karena predikat “tidak dengan hormat” berkaitan erat dengan harga diri dan nama baik, plus masa depan.
Tetapi itulah yang diekspresikan oleh Norman Kamaru. Yang sebelumnya adalah seorang polisi berpangkat Briptu yang mendadak menjadi terkenal (dan “kaya”) secara instan hanya karena video lipsync-nya muncul di Youtube.
Fenomena instannya Norman Kamaru mendadak menjadi terkenal dengan seabrek kontrak untuk tampil menyanyi di berbagai even dengan sejumlah bayaran yang tentu saja jauh lebih besar daripada gajinya sebagai seorang polisi berpangkat Briptu itu sesungguhnya merupakan suatu fenomena janggal, yang menarik untuk dikaji oleh para pakar psikologi sosial.
Namun lepas dari fenomena janggal tersebut, dari sisi seorang manusia, tentu saja adalah hak Norman untuk akhirnya harus memilih antara meneruskan kariernya sebagai seorang polisi (dengan gaji pas-pasan) tetapi relatif terjamin secara profesional masa depannya, ataukah menjadi artis dadakan dengan bayaran puluhan kali lipat dari gaji seorang polisi dengan pangkat Briptu seperti dirinya. Tetapi untuk ke depannya masih merupakan tanda tanya.
Tanda tanya, karena sudah banyak terbukti bahwa sesuatu yang instan itu biasanya tidak pernah bertahan lama. Apalagi hanya berbekal suatu keunikan sesaat yang akan berlalu cepat seiring berjalannya waktu.
Suatu keunikan sesaat yang saya maksudkan adalah contoh pada diri Norman Kamaru adalah ciri khasnya dengan sebutan “Briptu” di depan namanya, dan seragam polisinya. Apakah sekarang tanpa keduanya itu dia akan bisa tetap eksis?
Prestasi instan yang begitu cepat berlalu telah terbukti banyak di dunia musik. Bagaimana dengan nasib para juara Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, Akademi Fantasi Indosiar (AFI), dan program televisi sejenisnya, sudah memperlihatkannya. Mereka hanya tenar dan bergelimang uang dalam tempo singkat. Setelah itu seiring berlalunya waktu juga berlalu dari berbagai popularitas berikut kekayaannya yang didapat secara instan itu. Bahkan ada beberapa acara televisi pemandu bakat yang menentukan pemenangnya dari hasil pooling SMS itu juga ikut punah.
Mereka yang bernasib lebih baik biasanya karena kebetulan memang punya bakat, pintar dalam memanajamenkan profesinya, pintar mengelola penghasilannya, dan tak kalah penting adalah tetap rendah hati, dan tidak sombong. Tidak berperilaku bak kacang lupa kan kulitnya.
Karena kesombongan akan membawa seseorang kepada sosoknya yang lupa daratan, tidak akan pernah mau mendengar nasihat orang lain, tidak berpikir rasional, merasa diri paling hebat dan suka memandang rendah orang lain. Dengan kondisi seperti ini seseorang akan mudah terperosok ke dalamjurang kegagalan. Biasanya setelah jatuh barulah dia sadar, tetapi semua itu sudah terlambat.
Apalagi sebutan “kaya” yang dimaksud di sini juga relatif maknanya. Kekayaan yang jumlahnya satu-dua miliar rupiah apakah sudah layak disebut kaya dalam arti yang sebenarnya? Apalagi kalau perilakunya yang boros, tidak bisa menabung, dan berfoya-foya. Lupa daratan bahwa semua itu ada waktunya.
Mario Teguh pernah berkata, “Kesombongan amat dekat dengan kejatuhan, jadilah pribadi rendah hati dan sukseslah.”
Apakah Norman memang mempunyai bakat yang bagus dalam bidang tarik suara? Apakah memang dia akan relatif dalam tempo lama akan tetap tenar dan berprestasi seperti sekarang, atau malah lebih? Ataukah dia akan bernasib sama buruknya dengan nasib sejumlah artis yang tenar secara instan? Waktulah yang akan memberitahukan kepada kita. Norman akan menjadi pengecualian, ataukah menambah daftar mereka yang gagal dan terpuruk karena terkenal dan kaya secara mendadak dan instan tanpa memiliki sesuatu yang bisa diandalkan.
Namun saat ini yang cukup menarik dilihat adalah perilaku Norman Kamaru yang seperti diberitakan media massa mengutip teman-teman lamanya, berbeda 180 derajat. Kalau dulu orangnya supel, lugu, dan ramah, sekarang mendadak menjadi sangat sombong.
Kebetulan saya melihat juga di berita televisi, ketika diwawancara, cara menjawab pertanyaan wartawan dan mimik mukanya juga memperlihatkan sosok manusia yang sombong. Berbeda jauh dengan ketika di masa awal-awal dia mulai terkenal.
Tindakannya yang disersi sebelum dipecat dari Kepolisian, sengaja memelihara rambut gondrong padahal dia masih dalam status sebagai seorang polisi biasa, dan dengan sengaja tidak menghadiri sidang indisiplinernyasampai tiga kali berturut-turut juga mengindikasinya bagaimana karakter seorang Norman Kamaru, yang saking tinggi hatinya sampai seolah-olah memandang rendah komandan dan korpsnya itu.
Ada yang berpendapat bahwa bukankah Norman sebelumnya sudah minta mengundurkan diri, tetapi kenapa pihak Polda Gorontalo menolaknya?
Harus dilihat cara Norman minta mundur pada waktu itu. Jelas dia minta mundur dari kepolisian hanya gara-gara kariernya sebagai artis dadakan tidak terganggu. Motif itu adalah haknya. Tetapi bagaimanapun itu ada etika dan prosedurnya serta kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi.
Di setiap perusahaan saja, seorang pegawai/staf yang hendak mengundurkan diri harus mengajukan minimal satubulan sebelumnyadengan alasan yang jelas serta harus memenuhikewajiban-kewajiban yang mungkin ada. Terutama sekali kalaudia terikat dalam kontrak kerja, tidak seenaknya bisa mundur begitu saja.
Bukankah Norman Kamaru juga terikat dengan ikatan dinas di Kepolisian? Apa bisa seenaknya dan segampang itu mundur?
Argumen yang menyinggung-nyinggung korps kepolisian yang buruk namanya di mata masyarakat untuk membenarkan tindakan Norman sebenarnya tidak relevan. Itu merupakan pokok persoalan lain lagi. Apakah gara-gara nama yang jelek di mata publik, lalu kita dapat membenarkan setiap tindakan disersi atau yang sejenisnya dari seorang anggota polisi?
Sekali lagi, adalah hak seseorang untuk menentukan pilihan hidupnya. Kalau saya dalam posisi seperti Norman, mungkin saya juga akan memilih karier sebagai artis daripada tetap menjadi polisi. Karena dari segi penghasilan (ekonomi) tentu jauh lebih terjamin. Asalkan pintar-pintar mengelola keuangan, dan menjaga diri (tahu diri, tidak lupa daratan dan sombong). Saya tidak akan berperilaku seperti Norman yang disersi dan dengan sengaja tidak menghadiri sidang tersebut.
Kembali pada pernyataan saya di atas, sangat aneh, kalau ada orang yang dipecat tidak dengan hormat, malah merasa lega. Karena ini jelas berkaitan erat dengan harga diri dan masa depan. Orang yang dipecat dengan tidak hormat pasti adalah orang yang telah dicap sebagai orang yang berperilaku tak patut. Sedangkan orang seperti ini seharusnya sulit diterima dan berkarier di masyarakat kalau tidak memperlihatkan penyesalan dan niatnya memperbaiki diri.
Seorang selebritis, seperti artis dan olahragawan normalnya akan selalu menjaga imej terhadap jatidirinya. Hanya karena predikat yang positiflah kariernya akan menjanjikan. Menjadi idola orang banyak, dan akan mendapat kontrak komersial yang mumpuni. Baik kontrak komersial yang berkaitan langsung dengan profesinya itu, maupun kontrak komersial lainnya, seperti iklan-iklan dari perusahaan-perusahaan (besar).
Dan selama ini perusahaan-perusahaan (besar) dalam menjalin kontrak seperti itu sangat mementingkan imej positif dari setiap orang yang (akan) menjadi bintang iklannya. Maka itu tidak heran kalau sampai ketika ada bintang iklannya yang dinilai berperilaku tidak terpuji, maka kontraknya akan langsung diputus. Klausul tentang ini biasanya selalu ada di setiap kontrak seperti ini. Logikanya adalah perusahaan itu tidak mau menggunakan bintang iklan dari seseorang yang mempunyai perilaku tidak terpuji. Perilaku buruk sang bintang akan berdampak pula pada perusahaan yang bersangkutan. Baik secara komersial, maupun secara psikologis.
Dalam kasus video porno yang melibatkan Ariel Peter Pan dan Luna Maya pada Juni 2010 lalu, misalnya. Membuat kontrak iklan mereka (Luna Maya) dengan Sabun Lux diputus di tengah jalan oleh pihak Unilever. Karier mereka ke depan pun meredup. Kalau tidak mau dikatakan sudah mati.
Atau kasus yang menimpa pemain sepakbola (striker) terkenal dari Manchester United, Wayne Rooney, yang kehilangan kontrak iklannya dengan Coca-Cola sebesar setara dengan Rp 8,4 miliar, gara-gara dia terlihat mengucapkan kata-kata kotor di depan kamera dalam suatu pertandingan sepakbola, setelah sebelumnya juga diisukan tidur dengan pelacur padahal istrinya sedang hamil. Meskipun memang ada perusahaan raksasa lain, Nike, yang tetap mempertahankan Rooney sebagai bintang iklannya dengan alasan sudah menjalin kerjasama yang lama(tujuh tahun) dengan Rooney, dan bahwa perkara selingkuhnya itu merupakan urusan pribadi Rooney. Lagipula Rooney telah menunjukkan penyesalannya, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
[caption id="attachment_147356" align="alignleft" width="468" caption="Coca-Cola memutuskan kontrak iklannya dengan Rooney karena dinilai berperilaku tidak terpuji"][/caption]
Demikian juga dengan bintang golf dunia, Tiger Wood, yang juga gara-gara perkara perselingkuhan, serentak beberapa perusahaan besar yang mementingkan etika bagi setiap bintang iklannya memutuskan kontrak kerjasama mereka.
Tentu saja Norman Kamaru sangat tidak bisa disejajarkan dengan bintang-bintang kelas dunia itu (lebih dari “bagaikan bumi dengan langit”), dan perkaranya pun juga berbeda. Tetapi yang saya mau kemukakan di sini adalah substansi soal etika dan soal imej dari seorang bintang atau selebriti dikaitkan dengan karier, reputasi, dan kontrak bisnis yang biasa diperhatikan oleh suatu perusahaan.
Nah apakah dengan reputasi sebagai seorang mantan polisi yang dipecat dari profesinya dengan tidak hormat itu masih mau terus dipakai oleh perusahaan di bidang hiburan tertentu, termasuk perusahaan rekaman? Apalagi sesuatu yang menjadi “jati dirinya” kini sudah harus ditanggalkan. Apakah tanpa gelar “briptu” dan tanpa seragam polisi, dia masih bisa laku dijual?
Mungkin di Indonesia soal yang begini masih belum dipikirkan. Persoalan etika di negara Pancasila yang selalu mengumandangkan diri sebagai bangsa yang berbudi luhur ini acapkali mengabaikan soal etika kalau uang sudah bicara. Maka masalah Norman Kamaru yang telah dipecat dengan tidak hormat itu, pun bukan masalah.
Lihat saja dengan apa yang terjadi dengan dua bintang yang juga mendadak terkenal gara-gara tampil di Youtube dengan gaya lipsync-nya, Shinta dan Jojo. Mereka dua mendadak terkenal ketika ber-lypsinc-ria di Youtube dengan lagu Keong Racun.
Ajaib, sama seperti Norman Kamaru, entah apa daya tariknya yang membuat mereka pun langsung terkenal dan mendadak bergelimbangan uang dari berbagai panggilan tampil di atas panggung, dan menjadi bintang iklan pula.
Tetapi seiring berlalunya waktu, hanya sekitar satu tahun, bintang mereka sebagaimana yang biasa terjadi pada selebritis dadakan dan instan, pun perlahan namun pasti mulai redup.
Yang menimbulkan tanya adalah ketika Shinta dan Jojo itu juga kembali tampil di Youtube dengan gaya lipsync-nya, “menyanyikan” lagu berjudul Hamil Duluan. Sebuah lagu yang liriknya sangat tidak patut dan menjijikkan. Singkatnya: Lagu Sampah. Tetapi waktu itu karier mereka sama sekali tidak terganggu.
Lirik lagu itu menceritakan seorang anak perempuan yang karena kebablasan dalam berpacaran mengakibatkan dia hamil. Tetapi bukan membuat dia sedih, tetapi senang dan sepertinya bangga dengan kehamilannya itu.
Hal itu diperparah dengan gaya yang mereka tampilkan. Mungkin supaya lebih menghayati mereka membuat seolah-olah mereka dalam kondisi hamil ketika “meyayikan” lagu tersebut, tak lupa dengan gaya seperti seorang perempuan yang senang dan bangga karena hamil duluan.
Simak saja liriknya:
Awalnya aku cium-ciuman akhirnya aku peluk-pelukan tak sadar aku dirayu setan tak sadar aku ku kebablasan *courtesy of LirikLaguIndonesia.net reff: ku hamil duluan sudah tiga bulan gara-gara pacaran tidurnya berduaan ku hamil duluan sudah tiga bulan gara-gara pacaran suka gelap-gelapan repeat reff ** o ow aku hamil duluan o ow sudah tiga bulan
Bukannya simpatik dan pujian yang mereka dapatkan seperti ketika tampil dengan Keong Racun, tetapi caci maki yang memenuhi komentar di Youtube, maupun berita tentang gaya mereka itu. Seperti yang pernah diberitakan Kompas.com, yang dapat dibaca di sini.
Bahkan sebelumnya Komisi Penyiaran Indonesia di beberapa daerah sudah melarang lagu ini diperdengarkan di tempat umum, bersama dengan beberapa lagu lain sejenisnya.
Namun, sama ajaib dengan ketenaran mendadak dan instan yang Shinta dan Jojo dapatkan. Penampilan menjijikan itu ternyata sedikitpun tidakmempengaruhi karier dan kontrak iklan mereka di sebuah perusahaan sosis. Meskipun mendapat banyak kecaman akibat tampilan mereka di Youtube tersebut. Iklan mereka tetap saja ditayangkan di televisi-televisi swasta.
Baru sekarang ini iklan sosis tersebut terlihat tidak lagi memakai Shinta dan Jojo. Kemungkinan besar karena ketenaran mereka sudah dianggap sirna, maka kontraknya tidak lagi diperpanjang.
Sekarang, Shinta dan Jojo sudah hampir dipastikan menambah daftar mereka yang mendadak terkenal secara instan, tetapi secara instan pula bintangnya mati. Apakah Norman Kamaru akan menyusul segera, atau merupakan pengecualiannya?
Kita lihat saja nanti. Paling lama satu tahun dari sekarang. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H