Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

MUI Gerah dengan Hiasan Natal

21 Desember 2010   17:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:31 23711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1292952967382240133

[caption id="" align="alignleft" width="300" caption="Pohon Natal terbuat dari 500.000 permen. Lenmarc Mall, Surabaya. Koleksi Pribadi"][/caption] Beberapa tahun lalu, di sebuah radio interaktif di Surabaya, saya mendengar pernyataan seorang pendengar yang dari pembicaraannya kelihatannya adalah seorang Muslim. Dia mempermasalahkan hiasan Pohon Natal di Tunjungan Plaza, Surabaya, yang waktu itu dihiasi dengan Pohon Natal "raksasa." Intinya dia mengatakan bahwa sebaiknya pengelola plaza terbesar di Surabaya itu agar tidak berlebihan dalam menghiasi Pohon Natalnya, "Agar jangan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan ..," katanya waktu itu. Saya yang mendengar sampai geleng-geleng kepala. Apa sebenarnya yang dia maksudkan dengan kalimatnya itu? Apa yang menjadi tolok pikir orang ini mengeluarkan pernyataan seperti itu? Apakah ini suatu ancaman, suatu bentuk intoleransi, phobia, atau apa? Kenapa di era sekarang koq masih ada saja orang yang berpikiran sempit demikian? Kalau orang per orang punya pola pikir sempit seperti ini mungkin masih bisa kita "maklumi", tetapi bagaimana kalau itu datang dari suatu institusi besar keagamaan dan berpengaruh? MUI adalah institusi yang dimaksud. Rupanya pola pikir sempit yang bernuansa antipluralisme dan intoleransi masih saja kuat melekat di lembaga ini. Setelah melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen, kini MUI melangkah lebih jauh lagi. Dalam siaran persnya melalui Ketuanya KH Muhyiddin Junaidi, Selasa, 21/12, MUI menyatakan pengelola mal, hotel, tempat rekreasi, dan tempat-tempat bisnis lainnya telah terlalu berlebihan dalam menghiasi tempatnya dengan pernik-pernik Natal. "Berdasarkan laporan dari masyarakat dan pengamatan langsung di lapangan bahwa dalam rangka perayanan Hari Raya Natal bagi kaum Nasrani  di beberapa mal, hotel, tempat rekreasi, dan tempat-tempat bisnis lainnya, telah menampilkan simbol-simbol Natal secara berlebihan, ... Demi menjaga perasaan umat Islam dan umat lainnya, serta kerukunan antarumat beragama, maka MUI mengingatkan kepada para pengelola mal, hotel, tempat rekreasi, dan tempat-tempat bisnis lainnya agar arif dan peka menjaga perasaan umat beragama." Ditambahkan Muhyiddin,  MUI mengingatkan kepada pengelola mal, hotel, tempat rekreasi, dan tempat-tempat bisnis lainnya agar tidak memaksa karyawannya yang beragama Islam untuk memakai simbol-simbol dan ritual Natal. Demikian bunyi siaran pers MUI yang diwartakan Republika.online 21/12/2010. Fenomena Natal sebenarnya sudah lama menjadi suatu fenomena umum di seluruh dunia. Apalagi hanya selisih enam hari dengan perayaan malam tahun baru. Tidak hanya di negara-negara yang mayoritas Kristen, tetapi juga di negara-negara yang mayoritas Islam, bahkan di negara-negara komunis pun fenomena dan eforia Natal terjadi. Fenomena Natal tersebut berwujud menghiasi rumah, tempat-tempat publik, Pohon Natal dan sejenisnya dengan segala macam bentuk kreatifitas, mulai dari yang paling sederhana dan murah, sampai dengan yang paling unik dan paling mahal, disertai dengan aneka bentuk eforia seperti pawai, konvoi, dan nyanyian-nyanyian sejenis "We Wish You A Merry Christmas and Happy New Year." Fenomena ini tentu berbeda dengan bentuk perayaan Natal secara agama Kristen yang lazim dilakukan di gereja-gereja dalam bentuk peribadatan pada setiap tanggal 24 Desember malam. Yang mengutamakan perenungan dan kontemplasi makna kehidupan berlandaskan kesederhanaan, berbagi kasih dengan sesama manusia dengan berlandaskan semangat cinta kasih yang merupakan inti ajaran Kristen sebagaimana yang diajarkan Yesus Kristus. Rupanya MUI yang berpikiran sempit dan antipluralisme tidak melihat perbedaan, atau tidak mau tahu tentang ini. Sehingga lahirnya pernyataan persnya seperti disebutkan di atas. Baru tahun ini MUI selangkah lagi "lebih maju" lagi dengan mempermasalahkan hiasan Natal di mal, hotel, dan tempat-tempat publik lainnya, yang dinilai berlebihan itu. Selain juga mempermasalahkan pemakaian busana Sinterklas oleh karyawan/karyawati muslim/muslimah, yang kemudian dikait0kaitan dengan perasaan ketersinggungan umat Islam. Padahal yang memakai busana tersebut sama sekali tidak mempermasalahkannya. Di masyarakat pada umumnya pun tidak ada yang mempermasalahkan fenomena yang telah berlangsung sejak lama itu. Kok entah dapat ide dari mana, tiba-tiba MUI mengeluarkan pernyataan ini? Alasan MUI bahwa hal demikian dapat menggangu kerukunan umat beragama merupakan alasan yang terlalu mengada-ada. Justru pernyataan MUI melalui pernyataan pers seperti itulah yang sebenarnya dapat menjadi semacam provokasi untuk meretakkan hubungan antarumat beragama di Indonesia yang selama ini sudah berlangsung dengan sangat baik. Masyarakat pada umumnya sudah menganggap ini hal biasa, dan menerimanya. MUI saja, yang kelihatannya menjadi gerah sendiri dengan hiasan-hiasan Natal itu. Lalu seolah-olah hendak menarik pihak lain untuk ikut-ikutan gerah. Bertolak pada pola pikir dan argumen MUI ini, maka seharusnya sebagai sesama Islam MUI juga berani menyampaikan semacam himbauan/pernyataan sikap untuk mengingatkan kepada pemerintah Uni Emirat Arab, karena telah begitu toleirir dengan sebuah hiasan Pohon Natal di Hotel Emirate Palace, Abu Dhabi. Tahun ini, sebuah Pohon Natal di hotel tersebut mungkin merupakan Pohon Natal termegah, termewah dan termahal di dunia. Pohon Natal setinggi 13 meter itu dihiasi dengan pita-pita, ornamen-ornamen, kalung-kalung, anting-anting, dan lampu-lampu yang terbuat dari emas dan permata, mutiara, berlian, batu safir, dan batu-batu mulia lainnya. Biaya pembuatannya mencapai 11 juta dollar AS, atau sekitar Rp 99 miliar! Kalau yang begini, jelas sangat berlebihan, MUI. Tetapi, apa urusannya MUI dengan hal-hal seperti ini? Apa urusannya kita dengan hal seperti ini? Apa kurang kerjaan? *** http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/12/21/153605-mui-simbol-natal-berlebihan http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/12/21/153672-pakai-baju-sinterklas-karyawan-mall-ditanya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun