[caption id="attachment_353990" align="aligncenter" width="546" caption="Taufiequrachman Ruki (Kompas.com)"][/caption]
Selasa pagi, 3 Maret 2015, ratusan pegawai KPK melakukan unjuk rasa menentang sikap Ketua KPK sementara Taufiequrachman Ruki yang terlalu kompromis dengan kasus korupsi. Puncaknya, belum genap dua minggu menjabat sebagai Ketua KPK, Senin, 2 Maret 2015, ia buru-buru bersama dengan sejolinya: Indriyanto Seno Adji -- pengacara pembela koruptor dan anti-KPK, yang secara ajaib diangkat sebagai salah satu wakil ketua KPK oleh Presiden Jokowi – didampingi Wakil Kapolri Badrodin Haiti, Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, mendatangi Gedung Kantor Kejaksaan Agung untuk bertemu dengan Jaksa Agung M Prasetyo.
Di sanalah, Ketua KPK sementara pengganti Abraham Samad itu, di hadapan publik menyatakan: KPK menyerah kalah terhadap tersangka korupsi Budi Gunawan!
Kemarahan
Jelas sekali, ini bukan sikap asli, bahkan sangat bertentangan dengan prinsip yang selama ini dipegang teguh KPK, terutama sekali di era Abraham Samad, yang tidak pernah kompromi, zero tollerance, dan tak mengenal kata kalah apalagi menyerah kepada (tersangka) koruptor, siapa pun dia. Maka, di era Abraham Samad-lah bupati koruptor, walikota koruptor, gubernur koruptor, menteri koruptor, ketua partai politik koruptor, dan Jenderal polisi koruptor pun dipenjarakan.
Unjuk rasa damai seratusan pegawai KPK secara terbuka menentang pemimpinnya itu merupakan kejadian pertama dalam sejarah KPK, sejak didirikan 13 tahun lalu. Sikap ini merupakan kumulatif dari rasa kecewa dan kegusaran yang menumpuk selama satu bulan lebih mereka menyaksikan lembaga dan dua pemimpinnya; Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, yang begitu dicintai dan dibangga-banggakan dimanipulasi, dan diamputasi secara terstruktur, sistematis, dan masif justru oleh para petinggi (hukum) negara ini yang seharusnya menjadi partner dan pelindungnya.
Rasa kecewa dan amarah itu tak terbendungkan lagi, ketika orang yang baru datang sebagai atasan barunya itu justru memerankan dirinya seperti “kuda toya”, ikut menonjok dari dalam “ulu hati” KPK yang sudah sekarat itu, merendahkan dan mempermalukan KPK secara sedemikian rupa; dari sebuah lembaga antikorupsi yang sangat ditakuti para koruptor, menjadi bahan tertawaan para koruptor.
Kumulatif rasa kecewa, amarah, dan melihat keadilan yang juga ikut diinjak-injak oleh pemimpinnya itulah yang membuat ratusan pegawai KPK itu mengekspresikan rasa gusarnya secara sedemikian rupa beraninya, meskipun di sana ada dua orang pemimpinnya itu: Taufiequrachman Ruki dan Indriyanto Seno Adji. Justru itu lebih baik, karena sasarannya langsung ada di tempat! Meskipun, mereka pura-pura tidak tahu bahwa merekalah yang menjadi obyek utama unjuk rasa para pegawainya itu sendiri.
Berikut ini adalah beberapa pernyataan-pernyataan keras dan pedas yang diucapkan oleh beberapa orang pegawai KPK itu secara bergantian, yang ditujukan kepada siapa lagi, kalau bukan terutama kepada Taufiequrachman Ruki:
"Hari-hari ini hantu-hantu didatangkan ke gedung ini. Hantu-hantu yang takut Bareskrim. Kita tidak pernah takut! Gedung ini tidak pernah takut! Hentikan semua hantu yang datang ke gedung ini!"
"Pagi ini, seluruh rakyat akan saksikan bahwa KPK lagi mati suri. Perlawanan tidak kelihatan lagi. Apa ini yang kita butuhkan?"
"Jika ada satu juta pemberantas korupsi pastikan kita adalah salah satunya, jika ada 1.000 pemberantas korupsi, kita adalah salah satunya. Jika kita adalah 100 pemberantas korupsi pastikan kita adalah salah satunya. Jika hanya ada satu pemberatas korupsi, itu adalah kita!"
"Kalau teman-temanmu bertanya, kenapa bapakmu dicari polisi, jawab saja karena bapakmu pemberani," orasi salah satu pendemo yang berkata tentang pesannya kepada anak-akannya, jika ia tiba-tiba ditangkap polisi.
"Kami lihat semua bisa dibarterkan. Entah apalagi yang mereka lakukan nanti. Kolaborasi apa yang dilakukan selanjutnya?"
Demikian beberapa kutipan pernyataan di dalam orasi-orasi yang dilakukan para pengunjuk rasa yang merupakan pegawai KPK itu dengan gagah berani.
Kolaborasi
Melihat aksi yang ditampilkan oleh mereka secara bersama-sama, yaitu: Taufiquerachman Ruki, Indriyanto Seno Adji, Badrodin Haiti, Tedjo Edhy Purdijatno, dan M Prasetyo di Gedung kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin, 2 Maret itu, disertai dengan konferensi pers yang berisi pernyataan kalah KPK terhadap tersangka korupsi Budi Gunawan oleh Ruki itu, memang terasa menyakitkan bagi siapa saja yang antikorupsi.
Kehadiran mereka bersama di sana ketika itumemang lebih tampak sebagai suatu kolaborasi untuk melindungi tersangka koruptor sekaligus membuat KPK semakin sekarat ketimbang sebaliknya.
Penilaian bahwa yang terjadi di Kejaksaan Agung, Senin, 2 Maret 2015 itu lebih pas disebut sebagai kolaborasi para pejabat tinggi negara di bidang hukum, politik, dan keamanan itu untuk melindungi tersangka korupsi Budi Gunawan sekaligus membuat KPK semakin sekarat itu, juga semakin kuat dengan melihat latar mereka mereka masing-masing.
Taufiequrachman Ruki: Iamemang adalah Ketua KPK periode pertama, tetapi reputasi dia selama menjadi Ketua KPK itu tak pernah menonjol. Dia pernah mengatakan, selama dia menjadi Ketua KPK, tidak pernah membuat KPK berseteru dengan Polri. Padahal selama dia menjadi Ketua KPK, KPK tidak pernah mengusik polisi koruptor, bagaimana bisa ada perseteruan tersebut? Setelah tidak di KPK lagi, dia malah sering mengkritik KPK periode kedua, dan terutama sekali KPK periode ketiga dengan Ketuanya Abraham Samad saat menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka.
Ruki juga sudah melakukan kesepakatan dengan Wakapolri Badrodin Haiti bahwa Polri akan mengdrop 50 penyidik dari Mabes Polri ke KPK, sehingga nantinya penyidik KPK didominasi oleh polisi, yang tampaknya akan membuat KPK itu seperti Mabes Polri berjubah KPK saja.
Indriyanto Seno Adji: Sebelumnya dikenal sebagai pengacara yang sering membela koruptor-koruptor kakap melawan KPK. Ia juga ikut andil dalam upaya-upaya melemahkan KPK melalui uji materi undang-undang tentang KPK di MK. Ia juga membuat beberapa pernyataan membela Budi Gunawan, saat mantan calon tunggal Kapolri itu berseteru dengan KPK.
(Selengkapnya tentang Ruki dan Seno Adji, silakan baca artikel saya:Taufiequrachman Ruki Kembali, Budi Gunawan Senang?
Jangan terkejut lagi, kalau nantinya dari Kejaksaan Agung, berkas perkara Budi Gunawan itu akan dilimpahkan lagi ke Polri! Kemungkinan untuk itu ada, karena belum apa-apa, Jaksa Agung M Prasetyo sudah mengatakan hal itu, kata dia, adalah lebih efektif, jika kasus Budi Gunawan itu ditangani Polri daripada Kejaksaan Agung. Dan, Wakapolri Badrodin Haiti pun menimpalinya dengan mengatakan, jika ditangani Polri, ada peluang kasus itu ditutup, alias di-SP3-kan! (Kompas.com).
Jangan lupa pula, M Prasetyo adalah kader setia dari Partai NasDem, sedangkan pendiri sekaligus Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh adalah salah satu tokoh penting pendukung Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, dan pernah menyatakan Budi tidak terlibat korupsi.
Sekalipun tanpa pelimpahan lagi berkas Budi Gunawan kepada Polri, Praseto juga menyatakan ada peluang kasus tersebut di-SP3-kan olehnya sebagai Jaksa Agung.
Tedjo Edhi Purdijatno dan Yasonna Laoly: Sejak kasus Budi Gunawan mulai mengemuka sudah berkali-kali secara terang-terangan membuat pernyataan-pernyataan yang membela Budi Gunawan. Bahkan sempat beredar isu bahwa dua orang menteri ini, bersama dengan petinggi PDI-P Hasto Kristiyanto yang menyeting sidang praperadilan Budi Gunawan, dengan hasil kemenangan berada di pihak Budi.
Dengan latar belakang seperti disebut di atas, sangat pantas membuat sejumlah pegawai KPK itu pun tak mampu lagi menahan amarah mereka, lalu mengekspresikan sikapnya langsung di hadapan dua orang atasan mereka itu: Ruki dan Seno Adji, yang saat itu hadir di sana.
Tak Sudi Merendahkan Diri
Mereka sama sekali tidak memperdulikan pernyataan kecaman dan ancaman yang memang konyol dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Yuddy Chrisnandi, yang mengatakan akan menjatuhkan sanksi kepada para pegawai KPK itu, karena telah membangkang kepada atasan mereka. Menurut Yuddy, para pegawai KPK itu harus menjalankan keputusan pimpinan mereka itu, jika tidak, itu merupakan bentuk pembangkangan, yang akan diajatuhi sanksinya.
"Dia (Yuddy) siapa? Apa urusan dia dengan KPK?" ujar Penasihat Wadah Pekerja Komisi Pemberantasan Korupsi Nanang Farid Syah menilai, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (3/3/2015).
Nanang lantas mempertanyakan kapasitas Yuddy untuk memberikan sanksi kepada para pegawai. Apa kapasitas dia memberikan sanksi pada pegawai KPK? Dia paham KPK itu undang-undangnya apa?" kata Nanang. Menurut Nanang, pegawai KPK tidak akan menggubris pernyataan Yuddy. Ia menegaskan, pegawai KPK memang membangkang pada manusia, tetapi tidak dengan kebenaran. "Kami membangkang pada manusia iya, tapi tidak pada kebenaran". (Kompas.com).
Pernyataan Yuddy itu memang konyol dan ngawur. Selain ia memang tidak punya wewenang untuk melakukan tindakan apapun terhadap pegawai KPK, “perintahnya” agar pegawai KPK harus menuruti langkah yang dilakukan oleh Ruki itu sebenarnya sama saja dengan menyuruh semua pegawai KPK itu sama-sama mengaku kalah, bertekuk lutut kepada tersangka korupsi, dan bersama-sama juga turut dalam kolaborasi merendahkan lembaga yang mereka cintai sendiri, KPK!
Yang namanya bawahan, atau pegawai itu tidak berarti harus serta-merta menuruti apa saja yang dilakukan atau diperintahkan atasannya. Kalau atasannya melakukan perbuatan yang salah, melanggar hukum, merendahkan harga diri, sesat, dan sebagainya, lalu menyuruh mereka ikut membantu melakukannya, tidak mungkin pegawai yang punya harga diri dan berintegritas tinggi akan mau melakukannya. Apalagi jika ia adalah penegak hukum, disuruh turut atasannya melemahkan hukum dan lembaga penegak hukumnya.
Pegawai KPK yang benar-benar telah berkomitmen sejak mereka mulai bekerja di KPK, yaitu berani mati dalam menjalankan tugasnya untuk memberantas korupsi, tentu tak sudi ikut menyatakan KPK takluk, menyerah kalah kepada pihak yang kepada siapa KPK sendiri telah menetapkan dia sebagai tersangka korupsi. Bagi mereka itu adalah perbuatan hina!
Tindakan para pegawai KPK yang melakukan unjuk rasa menentang atasan mereka sendiri itu demi membela kebenaran dan keadilan itu jauh lebih terhormat daripada sikap pejabat tinggi negara, atau dia yang memilih lebih setia kepada ketua umum partainya ketimbang kepada rakyat banyak. Sikap mana yang kini menjadikan kasus Budi Gunawan yang semula sebenarnya dapat diselesaikan secara mudah dan cepat tanpa merusak sendi-sendi hukum nasional, tanpa melumpuhkan KPK, dan tanpa membuat suhu perpolitikan menjadi semakin panas itu, kini justru menjadi seperti itu.
Sikap Menteri PAN-RB Yuddi Chrisnandi itu semakin memperkuat persepsi publik bahwa pemerintahan Jokowi lebih memilih berlawanan dengan KPK ketimbang memperkuatnya. Masuknya Taufiequrachman Ruki dan Indrayanto Seno Adji tidak menolong KPK, sebaliknya justru dari dalam membuat KPK semakin terpuruk. Pemerintahan Jokowi dinilai mulai mengingkari program antikorupsi yang tercantum di Nawa Cita yang dibuatnya sendiri, khususnya pada poin 4-nya yang berbunyi: Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Ruki, Ketua KPK yang Penuh Kontradiktif
Di dalam konferensi persnya di Kejaksaan Agung, Senin, 2 Maret 2015, setelah menyatakan pengakuan kekalahan KPK, dan melimpahkan perkara Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung itu, Ruki kemudian mengatakan bahwa pelimpahan kasus tersebut bukan kiamat bagi KPK. Ia memastikan pemberantasan korupsi harus terus berlanjut dan pihaknya masih mengantongi 36 kasus lainnya untuk diselesaikan.
"Tapi tidak berarti (kami) harus menyerah. Masih banyak kasus di tangan kami. Masih ada 36 kasus yang harus diselesaikan. Kalau terfokus pada kasus ini, yang lain jadi terbengkalai," terang pensiunan polisi bintang dua itu (Kompas.com).
Sudah mengaku kalah, kok masih bisa bilang “tidak berarti (kami) menyerah”? Mengaku kalah, ya itu, idem ditto dengan menyerah, Pak!
Kalimatnya yang menjelaskan: “Masih banyak kasus di tangan kami. Masih ada 36 kasus yang harus diselesaikan. Kalau terfokus pada kasus ini, yang lain jadi terbengkalai", itu adalah seperti hendak membujuk dan menipu anak kecil saja, supaya percaya tindakannya itu benar.
Memangnya, baru sekarang KPK menangani banyak kasus, yang sampai 36 itu? Memangnya kasus Budi Gunawan itu kasus ecek-ecek yang boleh begitu saja dikesampingkan KPK? Apalagi baru dua minggu kurang dia menjabat sebagai Ketua KPK, pasti belum mendalami kasus-kasus tersebut, kok sudah bisa membuat pernyataan konyol seperti ini? Kok baru melihat ada 36 kasus saja sudah pening? Ketua KPK macam apa ini, yang begitu mudah patah semangatnya?
Siapa sih sebenarnya yang mengrekomendasikan orang ini menjadi Ketua KPK? Apa sebenarnya yang menjadi pertimbangan utama Presiden Jokowi melantiknya sebagai Ketua KPK, apalagi di saat kritis seperti sekarang ini?
Awas, jangan sampai KPK kepanjangannya berubah menjadi Komisi Pelindung Koruptor!
[caption id="attachment_353993" align="aligncenter" width="560" caption="Ruki turut mendukung aksi para pegawai KPK menentang apa yang sehari sebelumnya dia lakukan sendiri: Mengaku KPK kalah, dan melimpahkan perkara Budi Gunawan dari KPK kepada Kejaksaan Agung. Pikun kah Ruki? (Tribunnews.com)"]
Apa sebutan yang paling tepat untuk menyebutkan sikap dan tindakan Taufiequrachman Ruki sebagai Ketua KPK sementara saat ini? Kontradiktif, penuh dengan kontradiksi. Seorang Ketua KPK yang seharusnya sangat tegas dan tanpa kompromi dalam pemberantasan korupsi justru bersikap sangat kompromi, bahkan terlalu cepat menyerah kalah sebelum pertarungan benar-benar mencapai puncaknya. Ruki sesungguhnya sudah kadaluarsa untuk menjadi Ketua KPK di era sekarang, di saat semakin banyak pejabat tinggi negara yang nyaris tak dapat disentuh hukum, yang sangat canggih dalam menyembunyikan perbuatannya, san sangat berani untuk melawan KPK secara frontal. Ketua KPK yang sekarang seharusnya adalah dari mereka yang masih muda, berpegang teguh pada prinsip kebenaran dan keadilan, enerjik, idealis, dan punya nyali super besar, disamping syarat-syarat dasar mutlak lainnya, seperti pengetahuan dan pengalaman luas di bidang hukum, berintegritas tinggi, jujur, bersih, dan seterusnya.
Sikap kontradiktisi yang lucu dan konyol juga diperlihat Ruki di saat menghadapi seratusan pegawai KPK yang sesungguhnya berunjuk rasa kepadanya, tetapi kelihatannya dia pura-pura tidak merasakannya demikian.
Para pengunjuk rasa itu jelas-jelas menentang sikapnya sebagai Ketua KPK, yang sehari sebelumnya telah mendatangi Kejaksaan Agung, membuat pernyataan: KPK mengaku takluk kalah, serta melimpahkan perkara Budi Gunawan itu kepada Kejaksaan Agung, kok bisa dia juga turut mendukung aksi tersebut?! Ikut mengepal tinju ke udara bernyanyi dan berteriak menentang pelimpahan perkara Budi Gunawan itu kepada Kejaksaan Agung, turut juga menandatangani spanduk yang berisi petisi tersebut. Petisi yang isinya melawan sikapnya itu sendiri!
Setelah aksi unjuk rasa itu selesai, dia berkata kepada semua pegawai KPK itu, bagi yang masih merasa sebagai pegawai KPK harap masuk ke auditorium. Maksudnya apa dengan frasa “bagi yang masih merasa sebagai pegawai KPK” itu? Kelihatan, di balik kalimat itu tersembunyi kegusarannya kepada para pegawainya yang sudah berani melawan sikapnya itu.
Setelah itu Ruki pun membuat pernyataan persnya di hadapan para wartawan, katanya: "Saya senang, saya terharu karena mereka jadi begini adalah bentukan kami jilid satu!"
Ge-er amat!
Kata siapa?
Itu kan kata Ruki sendiri, kan?
Justru antara sikap dan keberaniannya melawan korupsi sangat kontradiktif dengan sikap dan keberanian para pegawai KPK itu.
Ruki begitu gampang melakukan kompromi, dan begitu cepatnya menyerah kalah terhadap tersangka korupsi. Untuk pertama kali dalam sejarah KPK, Ketua KPK-nya sendiri, belum apa-apa sudah secara terbuka mengaku kalah dalam perang melawan korupsi!
Bagaimana bisa Ruki mengaku bahwa keberanian luar biasa para pegawainya itu dalam perang melawan korupsi, tak sudi berkompromi, apalagi mengaku kalah dalam perang melawan korupsi itu sebagai hasil dari bentukan dia saat menjadi Ketua KPK jilid satu? Padahal dia sendiri malah begitu melempem?
Dalam petisinya, para pegawai KPK menuntut tiga hal yang harus dilaksanakan pemimpin KPK, yaitu: Pertama, menolak putusan Pimpinan KPK yang melimpahkan kasus BG ke Kejaksaan. Kedua, meminta pimpinan KPK mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas putusan praperadilan kasus BG. Dan, ketiga, meminta pimpinan menjelaskan secara terbuka strategi pemberantasan korupsi KPK kepada pegawai KPK.
Dari petisi ini saja jelas semuanya menentang sikap dan keputusan yang sudah diambil Ruki. Jadi, masuk akalkah kalau dia mengaku bahwa keberanian dan sikap pegawai KPK seperti ini adalah hasil bentukan dia di kala memimpin KPK jilid satu? Ataukah, Jokowi tanpa sadar sudah menjadikan, -- maaf, orang tua yang mulai pikun menjadi Ketua KPK?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H